MODEL DAN TEORI
KEPEMIMPINAN
A.
Model
Getzel dan Guba
Pada model ini, Getzel
dan Guba mengadakan analisis perilaku pemimpin dalam sistem sosial.
Dikemukakannya dua dua kategori perilaku yang menetapkan arah penekanan pada
pemimpin, Yang pertama, perilaku yang bergaya normative (dimensi nometetis) di
mana usahanya meliputi tuntutan organisasi. Dimensi ini menunjukan kepada
lembaganya yang ditandai dengan peranan-peranan dan harapan-harapan tertentu
sesuai dengan tujuan sistem itu. Dimensi ini dikatan pula, dimensi psikologis.
Yang kedua ialah perilaku kepemimpinan
yang bergaya personal (dimensi idiografis) yaitu mengutamakan kebutuhan
dan ekspektasi anggota organisasinya (guru/dosen). Dimensi ini mengacu pada individu-individu yang menempati sistem,
masing-masing dengan kepribadian dan disposisi kebutuhan tertentu. Organiisasi
sebagai sistem sosial, memiliki kedua dimensi
tersebut yang berbeda satu sama lain, bahkan saling mempengaruhi. (Dalam
Oteng Sutisna, 1982: 267 a).
DIMENSI NOMOTESIS
LEMBAGA
PERANAN HARAPAN
SISTEM PERILAKU
YANG
SOSIAL NAMPAK
INDIVIDU KEPRIBADIA DISPOSISI KEBUTUHAN
B. Model Kepemimpinan Kontingensi
Fred Fiedler, menyatakan
bahwa seseorang menjadi pemimpin bukan hanya karena kepribadian yang
dimilikinya, tetapi juga karena berbagai factor situasi dan saling berhubungan
antara pemimpin dengan situasi. Keberhasilan kepemimpinan tergantung
(“contingent”) baik kepada keadaan diri pemimpin,maupun kepada keadaan
organisasi. Pemimpin yang cenderung berhasil dalam situasi tertentu, belum
tentu berhasil pula pada situasi yang lain. Sebagai dasar penelitian, ditemukan
tiga dimensi kritis dalam situasi yang mempengaruhi gaya kepemimpinan efektif,
ialah:
1.
Kekuatan
yang berasal dari organisasi (position power). Ini berarti sejauh mana pemimpin
mendapatkan kepatuhan anak buahnya, dengan menggunakan kekuatan yang bersumber
dari organisasi (bukan yang berasal dari kharisma atau keahlian). Dikatakannya
bahwa pemimpin yang memiliki kekuatan yang jelas dari organisasi akan lebih
mendapat kepatuhan dari anak buahnya.
2.
Tatanan
tugas (task structure). Tatanan ini adalah ketentuan tentang tugas dan tanggung
jawab setiap orang yang ada dalam organisasi. Apabila tugas cukup jelas, maka
prestasi setiap orang lebih mudah dikontrol dan tanggung jawab seriap orang
lebih pasti.
3.
Hubungan
pemimpin dengan anak buah. Dimensi ini menurut Fiedler adalah sangat penting
bagi pemimpin, karena menentukan sejauh mana pemimpin diterima oleh anak buahnya.
Berdasarkan ketiga
dimensi tersebut di atas, dikeluarkan beberapa jenis gaya kepemimpinan dan dua
tingkat yang menyenangkan (favorableness).
a.
Gaya
kepemimpinan yang mengutamakan tugas (task oriented), di mana pemimpin merasa
puas jika tugas bisa dilaksanakan. Di sini kekuasaan posisi dan tatanan tugas
terumus dengan jelas.
b.
Gaya
kepemimpinan yang mengutamakan pada hubungan kemanusiaan (human relationship)
c.
Gaya
kepemimpinan Jepang. Terdapat lima aspek, manajemen Jepang dalam memberikan
sesuatu pemahaman tentang kepemimpinan. (Tidak semua pemimpin di Jepang
menerapkannya, beberapa pemimpin, tetap dikenal otoriter)
1.
Keputusan berdasarkan kesepakatan
bersama. Proses suatu
kesepakatan yang diterapkan oleh pemimpin di Jepag berdasar metode partisipasi.
Dalam pendekatan menurut gaya mereka, suatu keputusan penting, seperti merubah
proses produksi harus melibatkan seluruh bagian atau staf yang mungkin akan
turrut dipengaruhi. Istilah di Jepang, disebut “memawashi”. Secara harfiah, ini berarti proses penanaman pohon yang
bertakar pada lahan subur sehingga akan tumbuh.
2.
Memaksimalkan pengembangan sumber daya
manusia. Sebagian
besar pelaksanaan kepemimpinan di Jepang disesuaikan dengan minat mereka dalam
pengembangan sumber daya manusia.
3.
Menghargai bawahan sebagai ahli. Para pemimpin menganggap bahwa
bawahan cukup mampu melaksanakan tugas-tugasnya tanpa pengawasan dan peraturan
yang lebih. Langkah pertama yang ditempuh dalam memperbaiki produktivitas
adalah memperoleh pendapat karyawan tentang bagaimana hal ini dapat dicapai.
Lingkaran mutu adalah teknik yang pada umumnya digunakan dan dipakai
dasar/konsep. Hal ini menjadikan cirri khas manajemen dan filosofi orang Jepang.
4.
Manajemen yang aktif. Para pimpinan sangat memeprhatikan
tentang menajemen yang aktif, mereka berbaur bebas dengan bawahan seperti di
kantor dan dalam kegiatan sosial di luar kantor. Memanfaatkan waktu sebanyak
mungkin untuk berhubungan dengan bawahan, hal ini untuk meningkatkan komunikasi
yang lebih transparan.
5.
Mengarahkan pasda hasil-hasil
jangka panjang. Gaya kepemimpinan menekankan pada kesabaran, menunggu
hasil. Para pimpinan eksekutif memiliki kemauan untuk mendengarkan ide-ide yang
sepertinya akan terasa menguntungkan dalam jangka panjang. Namun demikian,
hasil jangka pendek menjadi prioritas utama. Bahwa filosifi kerja jangka
panjang akan mengurangi keresahan mengenai keamanan kerja. Hal ini terbukti
para pekerja sedikit sekali yang menolak adanya peningkatan teknologi yang
terus berkembang.
Dari segi positif,
manajemen gaya Jepang ini, membawa hasil utama yang baik terbukti keberhasilan Jepang
di kancah Dunia. Pendapat kontroversional tentang Gaya kepemimpinan Jepang ini
adlah keleluasaan dalam berfikir dan berperilaku. Tetapi kreativitas berkurang
karena harmonisnya bentuk kerja kelompok, kepatuhan dan consensus dalam
pembuatan keputusan. Gaya ni cocok karena budayanya praktis homogen.
C. TEORI Kepemimpinan Tiga Dimensi
Teori Gaya kepemimpinan
3 – D Reddin, mengungkapkan bahwa dua perilaku kepemimpinan yang penting adalah
penganjuran (initiating) dan
pertimbangan (consideration) (Dalam William J. Reddin, 1970: 361-379), tergerak
untuk memperkenalkan kombinasi gaya dalam empat empat jenis situasi pokok
sebagaimana gambar berikut:
Situasi
I – pekerjaan dengan orientasi kemanusiaan, misa, departemen personalia.
Situasi
II – pekerjaan dengan orientasi terpadu, missal manajemen puncak
Situasi
I – pekerjaan yang agak terpisah, missal, pemrosesan data, keuangan
Situasi
I – pekerjaan yang sangat berorientasi pada tugas, missal, produksi
Pembagian seluruh bidang
ke dalam empat sel menghasilkan situasi di mana manajer dapat menjadi: (1)
Terpisah, baik dari pertimbangan kemanusiaan maupun tugas; (2) Sangat
mengutamakan tugas dan kurang memperhatikan pada manusia; (3) Sangat
memperhatikan manusia dengan perhatian yang berbalas pada tugas dan (4) sangat
memperhatikan pemaduan antara tugas dan sasaran-sasaran kemanusiaan.
Skema di atas diberi
nama “3 – D” karena dalam setiap sel dari
keempat sel yang ada dikenali dua jenis gaya satu yang paling efektif dalam
berhubungan dengan situasi dan yang satunya lagi kurang efektif.
Situasi 1, Gaya Pengajur (missionary) adalah
terlalu ekstrim dan gaya yang lebih efektif
adalah “pembangun (developer)”
di mana orientasinya lebih diarahkan untuk membantu manusia mengembangkan
keterampilan yang akan berguna dalam penyelesaian tugas. Para manajer yang
bekerja dalam unit-unit personalia cenderung mempunyai gaya yang terleta dalam
bidang ini. Situasi II, adalah khas untuk posisi teratas dalam organisasi. Di
sini, prestasi jangka panjang menuntut terpadunya tugas dan nilai-nilai
kemanusiaan. Gaya “eksekutif” yang
lebihefektif mencoba memaksimalkan kedua perangkat nilai, sementara seorang
“pembuat kompromi” (compromiser) mau merencanakan suatu pertukaran politis
melalui pendekatan tukar menukar dan pendekatan untuk “memperkecil perbedaan”.
Pekerjaan yang
berhubungan dengan penegakan prosedur, pemrosesan data, dan keuangan cenderung
lebih menekankan cara daripada tujuan. Ini semua dicakup dalam situasi III,
dengan gaya yang lebih efektif disebut “birokrat”
dan yang kurang efektif disebut “pembelot”
(deserter). Situasi IV, berhubungan
dengan pekerjaan di mana yang diutamakan adalah penyelesaian tugas. Gaya
“otokrat yang penuh kebaikan” (benevolent autocrat) mencoba ‘membeli” kerjasama
melalui himbauan, paternalism, tunjangan, dan keadilan eksekutif. Gaya
“otokrat” yang lebih ekstrim cenderung menimbulkan perlawanan dan
ketidakpatuhan.
D.
Teori
Rustom S. Daver dan Dougles Mc. Gregor
Rustom S. Daver
(1994), menyatakan tentang Filosofi dan Gaya Kepemimpinan. Bahwasanya seorang
pemimpin tidak lahir dengan sendirinya, kepemimpinan tersebut terdiri dari
hubungan beberapa unsure yang yang cukup komplek sebagaimana diperlihatkan
dalam rumusan:
Di mana :
LE = Munculnya
kepemimpinan
LPA = Filosofi dan kebijakan atau mutu pimpinan itu sendiri yang
merupakan refleksi Gaya kepemimpinan.
F =
Jenis pengikut
S =
Situasi di mana, kepemimpinan tersebut dilaksanakan.
Gaya kepemimpinan,digambarkan dengan
berbagai cara. Pada umumnya tergantung dari prilaku pimpinan terhadap orang
lain. Ini merupakan factor dari LFA atau filosofi dan kebijakan
dalam kepemimpinan. Berikut disampaikannya gaya kepemimpinan:
1.
The Feudal Type. Ini adalah gaya feudal, dalam gaya
ini,karyawan atau seseorang dianggap sebagai bagian paling penting dalam
institusi dan diberikan keleluasaan untuk melaksanakan tugasnya secara segera.
Hubungan yang ada adalah antara penguasa dan subyeknya.
2.
The Paternal Type. Ini adalah gaya kebapakan,di sini
karyawan atau seseorang dianggap sebagai anggota keluarga oleh sebab itu ia
dinamakan faternal/kebapakan. Hubungan yang terjadi seperti seorang bapak dan
anak. Bentuk seperti ini sangat berhasil di Jepang.
3.
The Dictatorial Type. Ini gaya dictator, gaya ini memberi
kesan jelas sekali tentang seseorang yang suka memberikan perintah yang harus
dilaksanakan dengan patuh dan keputusannya tidak menghiraukan pendapat bawahan.
4.
The Contibutory Type. Ini gaya yang bersifat mendukung, di
sini perilaku pimpinan membantu
mengembangkan dan meningkatkan partisipasi karyawan atau bawahannya.
5.
The Development Type. Ini merupakan gaya pengembang,
disini seorang pimpinan merasa bahwa sudah menjadi tugasnya untuk mengembangkan
semua orang. Dia menganggap mereka
memiliki potensi yang sangat besar bagi peningkatan. Untuk itu ia menekankan
tujuan utamanya sebagai seorang pemimpin, yaitu untuk mengembangkan bawahannya.
6.
The Bureaucratis or “Rule-Centered”
Type. Ini gaya
birokrat atau yang terpaku pada aturan, dalam hal ini seorang pimpinan sangat
tergantung pada aturan, undang-undang dan prosedur dan lain sebagainya. Secara
tegas setiap bawahan harus mematuhinya. Jadi setiap bawahan harus melakukan
sesuatu dengan cara yang telah ditentukan. Untuk itu peraturan ini lebih
mengarah pada keharusan, akibatnya akan menimbulkan kebencian pada karyawan.
7.
The Manipulative Type. Ini gaya yang bersifat menggerakan, seorang pimpinan merasa bahwa karyawan
harus didorong oleh dia untuk memperoleh tujuannya sendiri. Gaya kepemimpinan
seperti ini akan berhasil apabila seorang pemimpin dapat mendorong bawahannya
untuk beranggapan bahwa dia memahami kebutuhan – kebutuhan mereka dan membantu
mewujudkannya untuk kepentingan mereka sendiri. Namun apa bila hal ini telah
diketahui, kepemimpinannya yang bersifat memanifulasi menjadi jelas terlihat dan
karyawan menyadari bahwa mereka telah diperdaya. Dan kebencian akan timbul
dengan sendirinya.
Cara pengelompokan diatas, apabila
dipersingkatmenjadi :
1.
Autocratic or Authoritaria;
2.
Democratizet or Participative;
3.
Laissez – faire or free-rain;
4.
Paternalistic and
5.
“job-centered” as against
“employee-centered” supervision.
Dari lima pengelompokan kemudian
dijadikan tiga dasar bentuk kepemimpinan:
1.
The Autocratic or Authorian leader, termasuk di dalamnya: “feudal” dan “dictator”;
2.
The Democratic or participate leader, termasuk di dalamnya: “paternalistic”, “contributory” dan developmental;
3.
The laissez-faire or free-rein leader.
Gaya kepemimpinan otoriter atau
“authoritarian”. Dalam kepemimpinan yang otoriter, pemimpin bertindak sebagai
dictator terhadap anggota-anggota kelompoknya. Baginya pemimpn adalah
menggerakkan dan memaksa kelompok. Kewajiban bawahan atau anggota hanyalah
mengikuti dan menjalankan perintah dan tidak boleh membantah atau mengajukan
saran. Mereka harus patuh dan setia kepada pemimpin secara mutlak. Pemimpin
yang otoriter tidak menghendaki rapat atau musyawarah. Berkumpul atau
musyawarah hanyalah berarti untuk menyampaikan instruksi-instruksi. Setiap
perbedaan di antara anggota kelompoknya dinyatakan sebagai kelicikan,
pembangkangan atau pelanggaran disiplin terhadap perintah atau instruksi yang
telah diberikan. Dalam tindakan dan perbuatannya ia tidak dapat diganggu gugat.
Inisiatif dan daya fikir anggota sangat dibatasi, sehingga tidak diberikan
kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Pengawasan bagi pemimpin yang
otoriter hanyalah berarti mengontrol, apakah segala perintah yang diberikan
ditaati atau dijalankan dengan baik oleh anggotanya. Mereka melaksanakan
infeksi, mencari kesalahan dan meneliti orang-orang yang tidak taat dan tidak
percaya kepada si pemimpin, kemudian orang-orang seperti itu diancam dengan
hukuman, dipindahkan atau dipecat dari jabatannya dan sebagainya. Sebaliknya
orang-orang yang berlaku taat dan patuh serta dapat menyenangkan pribadinya,
menjadi anak “emas” dan bahkan diberi penghargaan.
Dalam gaya kepemimpinan laissez-faire sebenarnya pemimpin tidak
memberikan kepemimpinannya, dia membiarkan bawahannya berbuat sekehendaknya.
Pemimpin sama sekali tidak memberikan control dan koreksi terhadap pekerjaan
bawahannya. Pembagian tugas dan kerjasama diserahkan sepenuhnya kepada
bawahannya tanpa petunjuk atau saran-saran dari pemimpin. Kekuasaan dan
tanggung jawab bersimpang siur, berserakan secara tidak merata diantara anggota
kelompok. Dengan demikian mudah terjadi kekacauan-kekacauan dan
bentrokan-bentrokan. Tinggkat keberhasilan organisasi atau lembaga semata-mata
disebabkan kesadaran dan dedikasi beberapa anggota kelompok, dan bukan karena
pengaruh dari pimpinan. Struktur organisasi tidak jelas dan kabur, segala
kegiatan dilakukan tanpa rencana dan tanpa pengawasan dari pimpinan.
Dalam gaya demokratis pemimpin
memposisikan di tengah-tengah anggota kelompok. Hubungan dengan anggota-anggota
kelompok bukan sebagai majikan terhadap buruhnya, melainkan sebagai kakak
terhadap saudara-saudaranya. Pemimpin yang demokratis berusaha menstimulasi
anggota-anggotanya agar bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam tindakan dan usaha-usahanya ia selalu berpangkal pada kepentingan dan
kebutuhan kelompoknya, dan mempertimbangkan kesanggupan serta kemampuan
kelompoknya. Dalam melaksanakan tugasnya, ia mau menerima dan bahkan
mengharapkan pendapat dan saran-saran dari kelompoknya. Juga kritik-kritik yang
membangun dari para anggota diterima sebagai umpan balik dan dijadikan bahan
pertimbangan dalam tindakan-tindakan selanjutnya. Ia mempunyai kepercayaan pula
kepada anggota-anggotanya bahwa mereka mempunyai kesanggupan bekerja dengan
baik dan bertanggung jawab. Pemimpin selalu berusaha memupuk rasa kekeluargaan
dan persatuan ia selalu berusaha membangun semangat anggota kelompok
dalammenjalankan dan mengembangkan daya kerjanya. Di samping itu juga memberi
kesempatan pada anggota kelompoknya agar mempunyai kecakapan memimpin dengan
jalan mendelegasikan sebagai kekuasaan dan tanggung jawabnya.
KEPEMIMPINAN
TRANSFORMASIONAL
Transformasional berasal dari kata Transformator (alat listrik yang
berfungsi mengubah tegangan/voltage dari 110-220) yang berarti seorang pemimpin
harys dapat merubah keadaan menjadi lebih baik dengan berlandaskan nilai-nilai
budaya sertaa kearifan local (local
indigenus) yang masih relevan untuk diterapkan (lihat BAB II) yang
dikombinasikan dengan perkembangan teori kepemimpinan modern dengan
dimensi-dimensinya sebagai berikut :
A.
Mengidentifikasi
Diri Sebagai Agen Perubahan (Self
Identification As An Agent Of Change)
Pemimpin harus bertindak sebagai “agen
pembaharu” yang bekerja berdasarkan system “nilai-nilai budaya” berani merubah
keadaan yang statis menjadi dinamis dengan berdasarkan pada nilai-nilai luhur bahwa
perubahan tersebut demi kepentingan organisasi, bukan untuk kepentingan pribadi
atau kroni. Upaya awal yang harus dilakukan dalam mengawali perubahan ini
adalah dengan:
1.
“Create
a Vision”. Yaitu dengan menciptakan visi yang harus dibuat bersma berdasarkan
hasil analisa SWOT (Strength, Weaknes,
Oportunity, dan Treat) atau kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Visi
bukan hanya pernyataan kehendak, cita-cita, keinginan atau harapan dan cara
memandang. Viisi dibuat dengan memperhatikan masa depan (forward looking) serta memicu inspirasi (inspiring the other) bai guru dan staf untuk memunculkan ide-ide
baru (inovasi) yang didorong oleh adanya imaginasi (imaginative) tersebut ingin
menjadi lebih baik atau yang terbaik bahkan menjadi “the centre of excellent” (puast keunggulan) terutama dalam
mutu.
2. “Shared Vision”. Memasyarakatkan visi
adalah tindakan selanjutnya yang harus dilakukan oleh pemimpin dan komite. Visi
harus dipahami dan dimengerti oleh seluruh stakeholder. Dengan asumsi tersebut
maka visi harus dib uat tida muluk-muluk tetapi harus realistis dan bias
dicapai. Visi harus dibuat tidak terlalu panjang dengan kalimat deklaratif yang
mudah diingat dan disetujui oleh stakeholder. Memasyarakatkan visi bertujuan
agar mendapatkan dukungan baik dari pihak atasan maupun bawahan. Dukungan dari
pihak atas merupakan dukungan politis yang akan sangat menguntungkan bagi
kepentingan. Akan tumbuh semangat Political Will dari pihak pemerintah bagi
kepentingan lancarnya program-program perubahan. Dukungan dari bawahan akan
memberi dampak berkurangnya konflik kepentingan dimana secara moral mereka ikut
bertanggung jawab untuk merealisasikan visi tersebut. Dukungan dari masyarakat
seperti orang tua dan berbagai elemen yang ada dimasyarakat seperti dunia usaha
dan industry akan merupakan modal yang sangat besar bagi kepentingan
terselenggaranya perubahan.
3.
“Create A
Strategic Path”. Menyusun dan mengembangkan jalan yang strategis adalah
langkah-langkah yang selanjutnya dalam merealisasikan visi. Model baru dalam
menyusun strategis adalah dengan “Compass
Strategic Planning” yang artinya strategi yang disusun berdasarkan
lingkungan dan arus yang penuh ketidak pastian (uncertainty). Strategi juga
adalah harus berdasarkan kajian “Social
Radar” (Radar Sosial) yang
memberikan data-data tentang arah dan arus perubahan yang sedang terjadi, di
samping harus berlandaskan nilai-nilai (values) yang berlaku dan penuh
kebijaksanaan (wisdom) dan hati nurani (conscience). Pertimbangan lainnya dalam
menyusun strategi adalah penggunaan kekuasaan (power) yang harus sesuai
diterapkan dalam kapasitas sebagai pemimpin, baik pemimpin maupun komite bias
saja akan menggunakan coercive power
(kekuasaan untuk memaksa) pihak lain terutama bawahan agar mengikuti
perintah-perintah namun hendaknya diperhitungkan bahwa biasanya pihak lain atau
bawahan pasti akan melakukan perintah tersebut, namun dengan rasa terpaksa. Hal
inilah yang harus dicegah. Penggunaan kekuasaan yang memaksa sebaiknya harus
dilakukan bila keadaan darurat (emergency) dan tidak terlalu sering dilakukan.
Penggunaan kekuasaan yang tepat di lingkungan adalah melalui “Expert Power”
atau kekuasaan keahlian di mana pihak lain atau bawahan merasa bahwa apa yang
harus dia lakukan adalah menjadi tanggung jawabnya dan sesuai dengan keahliannya.
Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin baik pemmpin maupun komite harus menunjukan
bahwa mereka adalah orang yang ahli dalam bidangnya.
Compass strategic planning berarti
membuat perencanaan strategis yang tepat arah dan sasaran. Dalam merencanakan
berbagai perubahan baik perubahan untuk meningkatkan SDM, sarana dan prasarana,
maupun lingkungan perlu dibuat secara matang dengan pertimbangan. Baik
kemampuan anggaran serta pelaksanaannya. Dengan demikian diperlukan perencanaan
dengan tahapan-tahapan perencanaan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang yang merupakan sit berikut sumber-sumber pendanaan.
B.
Merealisasikan
Perubahan (Realization of Change and Mobilization of commitment)
Langkah-langkah berikutnya bila
pemimpin serta Komite sudah sepakat membuat berbagai rencana strategis dalam
mengembangkan diperlukan berbagai
langkah lanjutan agar rencana tersebut dapat dilaksanakan yang antara lain:
1.
“Create Team Work” adalah dalam rangka membagi
tugas-tugas yang menyangkut berbagai pekerjaan yang harus dikerjakan, pembagian
tugas-tugas ini adalah sagat penting mengingat banyaknya agenda perubahan yang
harus segera dilaksanakan. Dalam membentuk Tim kerja pemimpin bersama komite
harus berdasarkan pada kompetensi masing-masing. Hal ini berhubungan dengan kelancaran
dalam menjalankan tugas-tugas. Komposisi tim kerja perlu juga memperhatikan
Inter Personal Communication di antara tim.
2. “Delegation
of Authority”
(Pelimpahan Wewenang). Bila tim kerja sudah dibentuk pemimpin harus rela
melimpahkan wewenang kepada tim baik kewenangan untuk mengambil langkah-langkah
maupun dalam mengatur keuangan. Dalam ramgka mencapai efektivitas kerja tim
perlu juga para ketua tim diberikan pengarahan-pengarahan (directing) agar tidak menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai. Tim
perlu dibina agar tercipta kekompakan (solid)
di samping mencegah terjadi konflik. Kegiatan “out bound” misalnya merupaka kegiatan yang bertujuan adanya
kekompakan dalam kelompok (dinamika kelompok).
3. “Fair
Play” (berlaku adil),
sumber konflik di suatu organisasi seperti adalah bila terjadi ketidak adilan
dalam berbagai tugas dan berbagai uang. Pemimpin harus bijaksana dalam
menerapkan keadilan. Bagi orang sunda niali-nilai yang luhur yang harus
dipegang dalam menerapkan keadilan adalah “ulah
cuet kanu hideung, ulah ponteng kanu koneng” yang artinnya semua mendapat
bagian yang setimpal, dan tidak condong kepada pihak tertentu. Keadilan juga
harus proporsional dalam arti masing-masing pihak mendapat hak yang sesuai
dengan porsi tugas dan tanggung jawabnya.
4. “Believe
and Motivate The Staff” (Mempercayai
dan Memotivasi Staf), bila pemimpin telah melimpahkan tugas-tugas pada tim atau
orang perorang, maka mereka harus dipercaya. Tindaka yang tepat agar semua
pekerjaan berjalan adalah dengan melakukan pengawasan (Contrilling), baik periodic maupun secara mendadak. Di samping itu
tim atau bawahan juga perlu diberi motivasi (dorongan) baik dengan kata-kata
atau dengan memberikan “reward” atau
iming-iming agar tim atau bawahan bekerja dengan semangat.
5. Risk
Taking. (berani
mengambil risiko), pemimpin dan komite harus berani mengambil kabijakan dan
keputusan yang cepat dan tepat. Pemimpin tidak boleh ragu-ragu dalam mengambil
keputusan yang tentunya risiko yang akan terjadi sudah diperhitungkan dengan
cermat. Jangan pernah ragu untuk memutuskan suatu kebijakan kalau untuk
kebaikan dan kemaslahatan.
6. “A
Bisa for Action”
(siaga), pemimpin dan komite harus tetap siaga dalam mengamati perubahan. Siaga
berarti waspada terhadap berbagai ancaman terhadap gagalnya berbagai program yang
sedang dijalankan. Berbagai gangguan yang mungkin timbul sudah dideteksi sejak
dini sehingga disiapkan upaya preventif agar hal yang sedang burukpun sudaj
diantisipasi sejak dini.
7. “sence
of Wonder” (Waswas),
bukan berarti cemas atau ketakutan yang tidak beralasan. Waswas berarti
perasaan takut bila sebuah ancaman atau program tidak berhasil atau mencapai
target, sehingga diperlukan upaya yang serius dan sunguh-sungguh dalam
melaksanakannya. Perasaan waswas memberi dampak positif pada pemimpin untuk selalu
melakukan pemeriksaan yang seksama berulangkali (check and recheck) agar kessalahan yang paling kecilpun tidak
sampai terjadi (zero defeck).
8. Total
Involving People (melibatkan
orang secara total). Keterlibatan adalah kunci sukses dari suatu perubahan. Melibatkan
orang secara total hendaknya berdasarkan “level of skills” (tingkat keahlian)
orang tersebut. Hal ini bertujuan agar perubahan bias segera terwujud. Hal yang
harus diperhatikan dalam melibatkan orang adalah antisipasi kecenderungan orang terhadap perilaku dan
kebiasaan cara-cara lama, pandangan-pandangan kuno, gaya yang kuno, yang sulit
untuk dirubah. Pemimpin harus menjadi katalisator dalam merubah keadaan-keadaan
tersebut dengan metode pencerahan (enlightment)
bahwa perubahan tersebut sangat diharapkan banyak orang (expected changes).
9. Synergize
(sinergis). Sinergis
artinya semua program harus mengarah kepada suatu titik yang sama dalam arti
menuju tercapainya suatu pembelejaran yang diharapkan.
C.
Melambangkan
Perubahan (institusionalization of
changes)
Tindakan
apa selanjutnya bila berbagai perubahan telah dan sedang terjadi. Setiap
perubahan bukan hanya harus melembagakan tetapi juga harus berlangsung terus
dan melakukan peningkatan-peningkatan.
1.
Keep on going process. Perubahan-perubahan yang sedang
berlangsung dan terjadi baik upaya revitalisasi fisik maupun program
pengembangan sumber daya manusia harus dijaga agar tetap berlangsung perubahan
yang baik tentuny selain perubahan itu dapat memenuhi harapan para pelaku
perubahan tetapi juga mereka yang menuntut perubahan itu. Oleh karenanya
perubahan keproses sesuai dengan tuntutan dan harapan tersebut, sehingga
perubahan memiliki kebermaknaan yang dalam untuk menyikapi dan menghadapi semua
fenomena sosial yang mungkin dapat menghambat perubahan-perubahan yang memiliki
nilai-nilai sosial tinggi. Keep on going process, memberikan suatu isyarat agar
perubahan tetap dijaga untuk tidak melenceng kepada perubahan yang merugikan
dan menyesatkan, perubahan yang berguna dan bermakna bagi masyarakat, organisasi
harus selalu dipertahankan dan dikembangkan.
2.
Continuous Progress and Monitor (kemajuan titian tangga dan memonitor
perkembangan). Perubahan-perubahan yang sedang terjadi hendaknya merupakan
titian tangga yang lebih ke atas atau meningkat. Setiap tangga sebaiknya
dimonitor mengenai apa yang telah dicapai atau kerugian apa yang telah
diperoleh, baik fisik ataupun non fisik. Keberlangsungan dan kesinambungan
suatu perubahan yang telah membuahkan hasil yang telah dicapai harus melangkah
ketingkat yang lebih tinggi (titian tangga) dan dimonitor agar terhindar dari
anasir-anasir atau implik-implik yang membelokkan perubahan yang sudah memenuhi
setiap sasaran melalui tingkat-tingkat yang sudah dicapai tersebut. Continous monitor and progress memberikan
pemahaman bahwa setiap perubahan harus terpantau dan terkendali agar hasil yang
dicapai memperoleh keberhasilan yang optimum.
3.
Anticipate Barriers (mengantisipasi hambatan-hambatan).
Setiap perubahan pasti akan membawa risiko tumbuhnya hambatan-hambatan bahkan risiko
yang akan muncul pertama adalah tantangan dari pihak yang tidak menyenangi
perubahan apalagi perubahan yang dilakukan merupakan suatu hal baru (inovasi)
dimana sudah bias akan ada kelompok yang menolak bahkan tak mau berubah
(resistant to change). Kelompok orang-orang seperti itu harus diantisipasi
sejak awal karena akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran jalannya
perubahan. Upaya-upaya pendekatan pribadi (personal
approach) yang menyentuh kepentingan mereka akan sangat tepat dilakukan.
4.
Keep Consistent and Persistent (menjaga keajegan dan lurus).
Perubahan-perubahan yang sudah dicapai harus tetap dijaga agar tetap
berlangsung dan sesuai dengan arah yang telah ditetapkan.
5.
Continous improvement. Melakukan berbagai perbaikan-perbaikan
dan penyempurnaan-penyempurnaan yang terus-menerus.
6.
Constant innovation. Mencari dan menerapkan
inovasi-inovasi (hal-hal baru untuk dicobakan dan diaplikasikan sebagai
pengganti hal-hal atau cara-cara lama yang sudah tidak sesuai.
Dapat
disimpulkan bahwa transformational
leadership bagi para pemimpin berintikan pemberdayaan (Empowerment) terhadap sumber-sumber daya yang ada organisasi
terutama sumber daya manusia yang berlandaskan kepada nilai-nilai (Values)
budaya setempat, terutama yag harus dianut dan djadikan dasar berpijak bagi
pemimpin.
KEARIFAN
LOKALDALAMKEPEMIMPINAN
A. Dimensi
Budaya Terhadap Kepemimpinan
Banyak definisi tentang budaya,
yang paling harus dijelaskan bahwaarti budaya adalah “bagaimana cara berfikir
dan bertindak suatu kelompok orang atau masyarakat yang membedakannya dari
kelompok masyarakat lainnya. Kesenian adalah sebagian saja dari kebudayaan.
Budaya direfleksikan dalam hal bagaimana orang tua mendidik anaknya, guru
mendididk muridnya, serta pemimipibn mempengaruhi pada bawahannya. Bagaimana
seorang pemimpin melihat suatu persoalan dan bagaimana memecahkannya sangat
dipengaruhi oleh budaya yang sudah terpolakan dalam kehidupan sehari-hari.
Perilaku pemimpin dalam menghadapi berbagai persoalan dalam organisasi juga
dipengaruhi oleh cara ia berfikir serta nilai-nilai dan kebiasaan yang sudah
ada dan berlaku di suatu kelompokmasyarakat tertentu.
Secara umum bangsa indonesia oleh
ilmuan di golongkan kepada masyarakat kolektif (kebersamaan) yang berbeda dari
masyarakat barat yang pada umumnya di golongkan sebagai masyarakat
individualistik (perseorangan). Masyarakat kolektif selalu terikat oleh nilai
serta norma kelompok yang selalu dipatuhinya serta akan menjadi acuan dalam
bertindak dan berperilaku. Dengan demikian ada semacam ketergantungan yang
menjadi seseorang tidak bebas untuk melakukan sesuatu. Dalam masyarakat
kolektif perilaku seseorang pemimpin dalam menjalankan peran dan fungsinya
dipengaruhi oleh jarak kekuasaan, ketidakpastian, dan gender.
Jarak kekuasaan adalah sekat yang
memisahkan pemimpin dari bawahannya. Kadang-kadang sekat inilah yang menjadi
penghambat sulitnya komunikasi antara pemimpin dan bawahannya. Banyak pula
sekat-sekat yang menghalanginya. Situasi ketidakpastian adalah jaminan
(garansi) yang dapat di jadikan pegangan seorang pemimpin untuk berani atau
tidak berani dalam mengambil suatu keputusan dan tindakan. Gender adalah sifat
yang membedakan antara pria dan pria dan wanita. Dalam masyarakat kolektif
ketiga hal ini kadang-kadang menjadi penghabat bagi seorang pemimpin dalam pengambilan
keputusan dan tindakan disebabkan dia akan berhadapan dengan sangsi yang akan
dirasakannya baik dari atasannya atau dari masyarakat di sekitarnya.
Sebagai seorang pemimpin selalu
akan terikat dengan atasan, jenis kelamin antara pria dan wanita, serta jaminam
pasti dan ketidakpastian yang ada. Ketiga berpengaruh dalam bagaimana dia
membuat berbagai kebijakan dalammengelola organisasinya seperti bagaimana
membuat perencanaan dalam mengelola sumberdaya, sarana dan prasarana,
keuntungan, serta yang berkaitan dengan lingkungan. Di samping itu norma serta
nilai-nilai dan kebiasaan yang berlaku, juga mempengaruhinya sepanjang hal itu
dia ketahuibaik melalui transfer organisasi dan pelatihan, organisasi dari
orangtua, serta informasi melalui media lainnya.
Norma, nilai, kebiasaan, jarak
sosial, pengaruh ketidakpastian, serta gender yang mempengaruhi perilaku
kepemimpinan pemimpin akan sangat berdampak pada iklim organisasi yang di
pimpinnya. Iklim organisasi yang sehat akan memberi dampak terjadinya kerjasama
yang harmonis antara pemipin dan bawahan sehingga program-program kerja dapat
dilaksanakan dengan lancar.
Pengaruh
budaya terhadap perilaku kepemimpinan dapat digambarkan dengan latar belakang
adat istiadat norma yang berkembang dalamsuatu kelompokmasyarakat.
B. Sifat-sifat
Kepemimpinan Budaya Sunda
Sebenarnya tidak ada alas an bila
orangsudah tidak berhasil dalam usaha bila menjadi pedagang ataupun menjadi
pegawai atau politikus. Ajaran-ajaran leluhur sudah cukup menjadi pedoman dalam
mengarungi hidup ini. Banyakpepatah, petuah yang berlandaskan nilai agama dan
filsafat yang bila difahami dan dilaksanakan akan merupakan penunjuk arah
menuju keberhasilan dalam kehidupan.petuah bagi para pemimpin agar “sing cageur,bener, pinter, dan kreatif
merupakan sifat-sifat yang harus ada pada diri pemimpin dan juga bagi semua
orang.
Ajaran lainnya menegaskan bahwa
pemimpin harus “ati-ati, surti, weruh,
sadurung pinara” yang bila diartikan pemimpin itu harus hati-hati,
bijaksana, dan melihat ke depan apayang mungkin terjadi (forecasting) merupakan pedoman dalam menjalankan tugas
kepemimpinannya. Beberapaperilaku yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah
sebagai berikut:
1.
Handap asor, yang artinya rendah hati dan
tidak sombong
2.
Ulah getas harupateun, jangan terburu-buru dalam
mengambil keputusan atau tindakan.
3.
Landing kandungan, laer aisan,
leuleus jeujeur liat tali,
yang artinya fleksibel dalam bertindak.
4.
Nete taraje, nincak hambalan, yang artinya bekerja secara
sistematis.
5.
Jangan
seperti monyet (kera) menunjukan watak serakah, jangan seperti keledai (malas).
6.
Harus
berparilaku seperti nyiruan (lebah),
artinya jangan senang yang kotor-kotor, sebab lebah selalu hinggap di tempat
yang bersih seperti bunga yang diambilsrinya yang kemudian menjadi madu yang
sangat bermanfaat bagi manusia. Hal ini menginagtkan bahwa pemimpin harus
banyak member manfaat bagi orang lain.
Ada hal yang sangat menarik untuk
di jadikan pedoman dalam memilih seorang pemimpin, para leluhur (karuhun dalam bahasa sunda) telah
membuat kriteria bagi calon pemimpin yaitu dengan criteria 5 (lima) W, ialah:
1.
W
pertama: wara, artinya cerdik,
pandai, cerdas, untuk menjadi seorang pemimpin itu syaratnya harus cerdas
2.
W
kedua: wanda, artinya dalam bahasa
sunda hade gogog hade tagog malah ada
tambahan hade gogobrog (rumah) wanda diartikan juga performance, berpenampilan menarik baik tutur
kata maupun perilaku.
3.
W
ketiga: wacana, artinya seorang
pemimpin harus memiliki visi dan misi, memiliki idealisme yang tinggi untuk
dijadikan organisasi, yang mengisyaratkan manfaat dan kesejahteraan orang-orang
yang dipimpinnya.
4.
W
keempat: wawasan, artinya seorang
pemimpin harus memiliki segudang pengalaman, pemimpin harus memiliki
pengetahuan yang luas sebagai bekal dalam memimpin, agar benar-benar menjadi
seorang panutan yang dapat memberikan suritauladan bagi yang dipimpinnya.
Sifat-sifat seperti “leuleus jeujeur liat
tali” (fleksibel dalam menangani masalah) “landing kandungan laer aisan” (mempertimbangkan segala sesuatu
dengan penuh kearifan sebelum mengambil tindakan).
5.
W
kelima: wawanen, artinya keberanian,
ceritera ini tampaknya yang paling berat untuk dilakukan. Tidak sedikit
pemimpin yang cerdas, berpenampilan menarik, memiliki visi dan misi, yang baik,
berpengalaman yang luas, tapi ….. jarang memiliki wawanen yaitu “keberanian” sebab untuk keberanian diperlukan syarat
kesemuanya tersebut di atas. Karena tidak jarang kegagalan pemimpin disebabkan
oleh tidak beraninya mengambil tindakan yang tegas, rasa takut untuk
mendapatkan tantangan, atau menjadi tidak popular seorang pemimpin setidaknya
menjadi hambatan untuk mengambil sikap tegas. Rasa was-was dan cemas yang
mungkin mengancam jiwanya dalam mengambil tindakan tegas kadang-kadang
menyurutkan keberanian seorang pemimpin. Wawanen
atua keberanian menjadikan pemimpin sebagai seorang yang istiqomah, ngadek saclekna, nilas saplasna,
teu cueut kanu hideung, teu ponteng kanu koneng artinya tetap padaaturan
dan ketentuan yang ada yang berlaku dan telah ditetapkan bersama.untuk memiliki
suatu keberanian yang dapat mengeliminir risk (resiko) mari kita melihat
sejenak budaya Baduy dalam mengambil tindakan atau keputusan, seorang tetua
adat Baduy (kokolot, sesepuh Baduy)
dalam mengambil suatu keputusan, para sesepuh/tetua
adat memiliki ugeran/tetekon/patokan yaitu: 1. Uteuk; 2.
Utek; 3. Iteuk.
Artinya: uteuk, seorang pemimpin
dalammengambil tindakan atau keputusan haru menggunakan uteuk atau otak, rasio, logika atau akal sehat tidak emosional,
sebab mengambil keputusan meski hati panas tapi pemimpin harus tetap dingin. Utek, seorang pemimpin dalam mengambil
tindakan harus menggunakan nuraninya/rasa hati tapi bukan emosi, utek cenderung merupakan kebenaran jiwa,
nurani ialah cahaya hati, inilah yang menuntun seseorang kearah kebenaran
hakiki. Ituek atau tongkat,
dimaksudkan dengan iteuk di sini ialah
pedoman, aturan, undang-undang, norma-norma, adat istiadat yang menjadi pedoman
hidup suatu kelompok, suku bangsa pada suatutatanan kelompok makro dan mikro.
Seorang pemimpin dalam mengambil tindakan/keputusan haruslah pula berpedoman
pada undang-undang, aturan-aturan dan budaya local agar dapat diterima oleh
semua pihak.
Biasanya seorang pemimpin
mempunayai keberanian yang kuat dalam mengambil tindakan apabila: dapat
dukungan yang kuat dari semua pihak, sesuai dengan undang-undang/aturan yang
berlaku, sesuai dengan kebenaran hakiki (nurani).
Selanjutnya bagi bekal seorang
pemimpin ada pepatah dalam budaya sunda yang mendeskripsikan seorang sunda
bagai orang yang luar biasa. Seperti pemimpin itu kudu bias ngapung (harus bias terbang), pemimpin
itu kudu bisa nerus bumi (masuk ke
dalam tanah), pe,mimpin itu kudu bias napak
sancang (berjalan di atas air). Pemimpin kudu bisa ngapung maksudnya bahwa seorang pemimpin harus memiliki idealisme
yang tinggi (bukan terbang seperti burung) pemimpin harus mempunyai cita-cita,
visi, misi, yang futuristic untuk
kesejahteraan bangsa. Pemimpin kudu bisa nerus
bumi (harus bisa masuk ke dalam tanah) seorang pemimpin harus memahami
lubuk hati yang paling dalam dari para bawahannya atau orang-orang yang
dipimpinnya, sehingga pemimpin dapat melakukan langkah-langkah kebijakan yang
dapat memenuhi harapan anak buahnya atau masyarakatnya. Pemimpin kudu bisa napak sancang (berjalan di atas air)
artinya pemimpin harus berada di atas semua golongan, tidak boleh memihak
apalagi seorang pemimpin hanya mementungkan golongan sendiri atau kelompoknya.
Pemimpinmah teu menang cueut kanu hideung
ponteng kanu koneng (pemimpin tidak boleh memihak salah satu golongan)
tetapi harus mementingkan kepentingan semua golongan yang dipimpinnya. Dalam menjalankan
kepemimpinannya, seorang pemimpin harus bekerjasama untuk kepentingan bersama
sebab dengan cara inilah seorang pemimpin dapat mencapai tujuan organisasi.
Isyarat leluhur Sunda dalam
pepatah Sunda disebutkan: ari jalma kudu
hirup kumbuh, kudu rukun sauyunan, silih asih, silih asah, silih asuh, silih
ajenan, silih agehan, artinya dalamkehidupan ini apapun kedudukan kita,
pemimpin sebaiknyalah saling saying menyayangi, saling bimbing, saling
memperhatikan dan saling berbagi pengalaman, saling mengasihi dan saling
member. Inilah kondisi dalam kehidupan baik dalam kelompok organisasi formal,
informal, atau nonformal dalam manajemen kita kenal istilah kolaborasi dan
koordinasi kunci dari semua ini adalah komunikasi yang harmonis dengan
berpedoman pada silih asih, silih asah,
silih asuh, silih ajenan, silih agehan (5 SA). Dengan 5 SA ini tugas berat
apapun dari sebuah organisasi akan dapat diselesaikan, dan tujuan organisasi
akan dapat dicapai. Selain 5 SA ada sifat-sifat yang harus dimiliki seorang
pemimpin yaitu escprit decorp, kebersamaan dan kebersatuan, inilah yang oleh
leluhur Sunda diibaratkan sebagai berikut sarendeuk
saigel, sabata sarimbagan, saketrek sapihanean kacai jadi saleuwi kadarat jadi
salogak.
Seorang pemimpin dituntut untuk
memliki kemampuan, kecerdasan, budi pekerti yang luhur, ahlak yang mulia, dapat
menjadi suri tauladan dan panutan untukkepentingan orang-orang yang
dipimpinnya.
C.
sifat-sifat Kepemimpinan Budaya Minang
Orang minang yang biasanya
sebutan bagi orang padang, terkenal dengan jiwa wirasswastanya dalam membuat
restoran atau rumahmakan serta berdagang. Hamper diseluruh kota di
Indonesia pastiada rumah makan padang
yang terkenal dengam makanan yang siap saji dan selalu pedas. Bahkan ada
anecdot yang menceritakan pada waktu astronaut Neil Amstrong mau mendarat di
bulan maka yang terlihat lebih dulu adalah seperti rumah maka padang di bulan.
Mengapa rumah makan padang bisa
berkembang di mana-mana? Penelitian menbuktikan bahwa rumah makan padang telah
terjadi proses organisasi luar dan kepemimpinan dalam mengelola rumah makan
dengan berfalsafah pada budaya orang Minang dahulu yaitu: adat basanding sara, sara basanding kitabullah yang artinya adat
harus berdasarkan agama dan agama harus berdasarkan kitab Allah (Al-qur’an).
Pemimpin rumah makan padang selalu memperhatikan keluarga seperti falsafah “anak dipangku, kemenakan dibimbing, Bandai
taulan dipatenggangkan” yang artinya
anggota keluarga serta kerabat dipersilahkan bekerja di restoran padang dengan
harus berperilaku jujur, menjalankan syariat agama islam, Serta mau belajar secara bertahap dari mulai tukang cuci piring
sampai, pegang khas. Sampai menjadi pemilik
warung atau kedai. Pegawai yang sudah cukup berpengalaman di persilahkan
untuk membuka usaha warung nasi di tempat lain dengan di bantu modal dan di
bimbing oleh majikan atau seniornya. Pemilik restoran atau pemimpin tidak
merasa tersaingi bila mantan anak buahnya berhasil dalam mengembangkan usaha
rumah makan.
D.
Sifat-Sifat Kepemimpinan Budaya Jawa
Para raja di Jawa zaman dulu
terkenal dengan keberhasilan nya dalam mengelola Negara. Hal ini tentu saja
berkat kepemimpinan sang raja. Raja Hayam Wuruk sebagai raja Majapahit dengan
patihnya bernama Gajah Mada terukir sejarah sebagai raja dan patih yang
berhasil menguasai Nusantara. Di sekitar abad 19 dan 20 pada para pemimpin
seperti sultan jogja dan surakarta dalam memimpin negeri ternyata sudah
berpedoman pada buku-buku serta petuah-petuah para pendahulunya. Pemimpin pada
masa tersebut selalu berlandaskan filosifis seperti misalnya landasan filosofis
yang lain adalah apa yang telah di kemukakan oleh Empu Prapanca dalam bukunya
Negara Kertagama yang seperti di kutip oleh iman S (1992) bahwa ada empat belas
sifat-sifat yang harus di miliki oleh seorang pemimpin,di antaranya:
1. Wijina, memiliki sifat bijaksana.
2. Mantra wira, pembela Negara.
3. Wicaksaning Naya, pengalaman,
kemampuan analisa.
4. Matagwan, percaya pada bawahan.
5. Satya Bakti Haprabu, sifat loyal
ke atas.
6. Wakjana, pandai diplomasi dan
pidato.
7. Sajawopasana, tidak sombong tapi
rendah diri.
8. Dbirottsbaba, rajin, kreatif, dan
inisiatif.
9. Tan-liana, gembira atau periang.
10. Disyacitra, terbuka dan jujur.
11. Tanca trisna, tidak egois.
12. Misibi samsatha buana, penyayang
dan cinta alam.
13. Ginong prtidina, tekun, penegak
kebenaran.
14. Ansyaken, mampu memusnahkan
lawan.
Landasan filosofis
lain adalah apa yang terdapat dalam buku ramayana yang mengajarkan tujuh sifat
yang di ajarkan para leluhur dalam memimpin anak buah antara lain seorang
pemimpin harus mempunyai:
1. Surya (matahari) yang artinya memberi
energi, yang merupakan sumber kehidupan, pemimpin harus memberi semangat dan
gairah kerja, energik, kreatif, dan dinamis.
2. Candar (bulan) yang artinya
sejuk, menawan, indah, dan menerangi, pemimpin harus mampu memberi keteduhan,
ketentraman.
3. Kartika (bintang) yang artinya
memberi petunjuk tentang arah , menarik dan gemerlapan. Pemimpin harus memberi
tuntunan, teladan, dan conto yang baik.
4. Bayu (angin) yang artinya merata,
mengisi kekosongan, dan menuju ke segala arah. Pemimpin harus mampu meneliti ,
cermat tahu perilaku bawahan. Dan mampu menghimpun data yang benar untuk
mengambil keputusan.
5. Mega (awan) yang artinya memberi
kesegaran dan kehidupan. Pemimpin harus berwibawa , bijaksana dan bermanfaat
bagi bawahan.
6. Samudra (laut) yang artinya luas,
tempat penampungan . pimpinan harus memiliki pandangan yang luas , sabar, mampu
menampung segala macam persoalan , dan tidak boleh membenci bawahan.
7. Bantala Bumi yang artinya kokoh ,
kuat, dan sentosa, Pemimpin harus bersifat l;uhur , dan berbudi luhur , mampu memanfaatkan
situasi dan kondisi , baik bawahan maupun lingkungan.
Sosrokartono seorang
filosof Jawa pada abad ke-19 merumuskan
sifat kepemimpinan dengan empat hal, yaitu:
1. Sifat ratu dan Raja. Pemimpin
harus bijaksana ambeg para marta
2. Sifat pandito. Pemimpin harus
bujaksana sederhana tidak mewah , dan dapat melihat situasi yang akan datang.
3. Sifat petani. Pemimpin harus
memilik sifat jujur,sederhana,tekun,ulet, dan terbuka.
4. Sifat guru, pemimpin harus meberi
teladan yang baik, menularkan ilmu, dan member harapan.
Butir-butir budaya Jawa yang
harus melandasi perilaku seorang pemimpin lainnya adalah:
1. Mulat salira, tansah eling
kalawan waspada artinya pemimpin harus mawas diri, selalu ingat dan waspada.
2. Andap asor artinya merendahkan
diri.
3. Tumindak kantbi duga lan prayoga
artinya bila bertindak harus di pikirkan dan di pertimbangkan
4. Mandur kebencikan artinya selalu
menanam kebaikan.
5. Wedi ing luput wedi ing bener
artinya takut berbuat salah dan berani berbuat bener.
6. Ojo lali piwulang kang becik
artinya jangan suka membuat perselisihan.
7. Ojo aja seneng gawe gendra
artinya jangan suka membuat perselisihan.
8. Ojo emberu aleman artinya jangan
ingin di puji-puji
9. Ojo selingkub artinya tidak
berbuat serong dan tidak jujur.
10. Ojo seneng maido artinya jangan
suka membantah.
11. Ojo dadi wong pinter kablinger
artinya jangan sampai menjadi orang pandai yang salah jalan.
12. Ojo dumeb artinya jangan
mentang-mentang kuasa.
13. Ojo bosenan artinya jangan
menjadi pembosan.
14. Ojo degsura artinya jangan kurang
ajar.
15. Ojo seneng royal artinya jangan menjadi
pemboros.
16. Ojo nyenyamab wong tua artinya
jangan menghina orang tua.
17. Ojo pisan nacat inglian artinya
jangan mencela orang lain.
18. Ojo gawe serilung atining lian
artinya jangan menyakiti hati orang lain .
19. Ojo gelek mengasub artinya jangan
mencari musuh .
20. Ojo mung rumangsa bias, nangis
ora bias rumangsa artinya jangan hanya merasa pandai tapi tidak pandai merasa.
E. Sifat-Sifat Kepemimpinan Budaya
Aceh
Suku
aceh adalah salah satu yang memperkenakan criteria untuk kepemimpinan . Menurut
suku aceh , pemimpin itu harus menekankan sifat-sifat 5 P , dalam rangka
pengambilan keputusan , yaitu : peusiap ( persiapan ) pengumpulan data dan
perbandingan , peubanding ( telaahan dan pembahasan ), peunilai ( mengadakan
penilaian ) , peutunyok , ( memohon petunjuk pada allah S.W.T .), dan
peupatah ( mengambil keputusan ).
Dari
conto-conto tersebut di atas, dapat di jelaskan bahwa yang dapat menunjukan
cirri-ciri seorang pemimpin yaitu , telah memiliki pembawaan dan sifat-sifat
yang mendukung bagi seorang pemimpin sifat-sifat itu sebagian bisa di pelajari
dan di peroleh dalam kehidupan. Sedangkan kebahagiaan memang telah ada sejak
lahir . kebenaran tentang teori itu , dalam kaitannya ada hubungan antara
sifat-sifat seseorang dengan kapasitas kepemimpinannya secara efektif dan
sistematis , selalu di pertanyakan oleh para sarjana yang menekuni bidang
kepemimpinan.
Pola
kepemimpinan yang di kemukakan yang di kemukakan di atas, tidak lepas dari
system nilai budaya masyarakatb yang berakar pada nilai nilai warisan pusaka nenek
moyangnya , corak khas pemimpin dalam budaya lama Aceh mengisyaratkan
nilai-nilai kewibawaan, berani , dan ketaatan , terutama kepada pemimpin
tingkat atas atau sultan . lihat salah seorang pemimpin kerajaan aceh abad
ke-17 yaitu Sultan Iskandar Nuda (Zakaria Ahmad ,1971:64-67). Setelah
kemerdekaan terutama di alam merdeka diminta persyratan lain untuk menjadi
pemimpin di aceh. Pemimpin yang turun temurun tentulah tidak di mungkinkan lagi
Karena nilai budaya telah bergeser jauh sehingga ,membutuhkan syarat baru untuk
menjadi pemimpin aceh lebih-lebih di masa pembangunan dewasa ini. Persyaratan
pemimpin di tingkat manapun dewasa ini di tuntut sifat kepemimpinan yang baru
yang di dasarkan atas tiga criteria pokok yakni kepribadian atau karakter,
idealism , dan visi atau wawasan ke depan (Alfian, Kompas 14 Mei 1988 ).
Seorang pemimpin perlu memiliki karakter yang kuat sehingga dari satu
masyarakat dapat melihat kepadanya sebagai seorang yang memang memiliki
ketegasan.
Untuk
menjadi seorang pemipin , criteria kedua bahwa seorang pemimpin harus bersifat
realistis, ia harus mengetahui dengan sesungguhnya kondisi masyarakat yang
aspirasi getaran hati nuraninya berhasil dia jamah. Sebaliknya dia juga
memahami peluang dan hambatan yang dihadapinya dalam masyarakat, sehingga
mengetahui cara terbaik untuk memperjuangkan aspurasi dan getaran hati nurani
masyarakat terseubut. Criteria ketiga adalah pemimpin perlu memiliki visi atau
wawasan kedepan, melalui visi atau wawasan itu ia akan dapat melukiskan masa
depan bagaimana yang dapat dibangun bersama-sama oleh masyarakat.
C.
sifat-sifat Kepemimpinan Budaya Minang
Orang minang yang biasanya
sebutan bagi orang padang, terkenal dengan jiwa wirasswastanya dalam membuat
restoran atau rumahmakan serta berdagang. Hamper diseluruh kota di
Indonesia pastiada rumah makan padang
yang terkenal dengam makanan yang siap saji dan selalu pedas. Bahkan ada
anecdot yang menceritakan pada waktu astronaut Neil Amstrong mau mendarat di
bulan maka yang terlihat lebih dulu adalah seperti rumah maka padang di bulan.
Mengapa rumah makan padang bisa
berkembang di mana-mana? Penelitian menbuktikan bahwa rumah makan padang telah
terjadi proses organisasi luar dan kepemimpinan dalam mengelola rumah makan
dengan berfalsafah pada budaya orang Minang dahulu yaitu: adat basanding sara, sara basanding kitabullah yang artinya adat
harus berdasarkan agama dan agama harus berdasarkan kitab Allah (Al-qur’an).
Pemimpin rumah makan padang selalu memperhatikan keluarga seperti falsafah “anak dipangku, kemenakan dibimbing, Bandai
taulan dipatenggangkan” yang artinya
anggota keluarga serta kerabat dipersilahkan bekerja di restoran padang dengan
harus berperilaku jujur, menjalankan syariat agama islam, Serta mau belajar secara bertahap dari mulai tukang cuci piring
sampai, pegang khas. Sampai menjadi pemilik
warung atau kedai. Pegawai yang sudah cukup berpengalaman di persilahkan
untuk membuka usaha warung nasi di tempat lain dengan di bantu modal dan di
bimbing oleh majikan atau seniornya. Pemilik restoran atau pemimpin tidak
merasa tersaingi bila mantan anak buahnya berhasil dalam mengembangkan usaha
rumah makan.
D.
Sifat-Sifat Kepemimpinan Budaya Jawa
Para raja di Jawa zaman dulu
terkenal dengan keberhasilan nya dalam mengelola Negara. Hal ini tentu saja
berkat kepemimpinan sang raja. Raja Hayam Wuruk sebagai raja Majapahit dengan
patihnya bernama Gajah Mada terukir sejarah sebagai raja dan patih yang
berhasil menguasai Nusantara. Di sekitar abad 19 dan 20 pada para pemimpin
seperti sultan jogja dan surakarta dalam memimpin negeri ternyata sudah
berpedoman pada buku-buku serta petuah-petuah para pendahulunya. Pemimpin pada
masa tersebut selalu berlandaskan filosifis seperti misalnya landasan filosofis
yang lain adalah apa yang telah di kemukakan oleh Empu Prapanca dalam bukunya
Negara Kertagama yang seperti di kutip oleh iman S (1992) bahwa ada empat belas
sifat-sifat yang harus di miliki oleh seorang pemimpin,di antaranya:
15. Wijina, memiliki sifat bijaksana.
16. Mantra wira, pembela Negara.
17. Wicaksaning Naya, pengalaman,
kemampuan analisa.
18. Matagwan, percaya pada bawahan.
19. Satya Bakti Haprabu, sifat loyal
ke atas.
20. Wakjana, pandai diplomasi dan
pidato.
21. Sajawopasana, tidak sombong tapi
rendah diri.
22. Dbirottsbaba, rajin, kreatif, dan
inisiatif.
23. Tan-liana, gembira atau periang.
24. Disyacitra, terbuka dan jujur.
25. Tanca trisna, tidak egois.
26. Misibi samsatha buana, penyayang
dan cinta alam.
27. Ginong prtidina, tekun, penegak
kebenaran.
28. Ansyaken, mampu memusnahkan
lawan.
Landasan filosofis
lain adalah apa yang terdapat dalam buku ramayana yang mengajarkan tujuh sifat
yang di ajarkan para leluhur dalam memimpin anak buah antara lain seorang
pemimpin harus mempunyai:
8. Surya (matahari) yang artinya
memberi energi, yang merupakan sumber kehidupan, pemimpin harus memberi
semangat dan gairah kerja, energik, kreatif, dan dinamis.
9. Candar (bulan) yang artinya
sejuk, menawan, indah, dan menerangi, pemimpin harus mampu memberi keteduhan,
ketentraman.
10. Kartika (bintang) yang artinya
memberi petunjuk tentang arah , menarik dan gemerlapan. Pemimpin harus memberi
tuntunan, teladan, dan conto yang baik.
11. Bayu (angin) yang artinya merata,
mengisi kekosongan, dan menuju ke segala arah. Pemimpin harus mampu meneliti ,
cermat tahu perilaku bawahan. Dan mampu menghimpun data yang benar untuk
mengambil keputusan.
12. Mega (awan) yang artinya memberi
kesegaran dan kehidupan. Pemimpin harus berwibawa , bijaksana dan bermanfaat
bagi bawahan.
13. Samudra (laut) yang artinya luas,
tempat penampungan . pimpinan harus memiliki pandangan yang luas , sabar, mampu
menampung segala macam persoalan , dan tidak boleh membenci bawahan.
14. Bantala Bumi yang artinya kokoh ,
kuat, dan sentosa, Pemimpin harus bersifat l;uhur , dan berbudi luhur , mampu
memanfaatkan situasi dan kondisi , baik bawahan maupun lingkungan.
Sosrokartono seorang
filosof Jawa pada abad ke-19 merumuskan
sifat kepemimpinan dengan empat hal, yaitu:
5. Sifat ratu dan Raja. Pemimpin
harus bijaksana ambeg para marta
6. Sifat pandito. Pemimpin harus
bujaksana sederhana tidak mewah , dan dapat melihat situasi yang akan datang.
7. Sifat petani. Pemimpin harus
memilik sifat jujur,sederhana,tekun,ulet, dan terbuka.
8. Sifat guru, pemimpin harus meberi
teladan yang baik, menularkan ilmu, dan member harapan.
Butir-butir budaya Jawa yang
harus melandasi perilaku seorang pemimpin lainnya adalah:
21. Mulat salira, tansah eling
kalawan waspada artinya pemimpin harus mawas diri, selalu ingat dan waspada.
22. Andap asor artinya merendahkan
diri.
23. Tumindak kantbi duga lan prayoga
artinya bila bertindak harus di pikirkan dan di pertimbangkan
24. Mandur kebencikan artinya selalu
menanam kebaikan.
25. Wedi ing luput wedi ing bener
artinya takut berbuat salah dan berani berbuat bener.
26. Ojo lali piwulang kang becik
artinya jangan suka membuat perselisihan.
27. Ojo aja seneng gawe gendra
artinya jangan suka membuat perselisihan.
28. Ojo emberu aleman artinya jangan
ingin di puji-puji
29. Ojo selingkub artinya tidak
berbuat serong dan tidak jujur.
30. Ojo seneng maido artinya jangan
suka membantah.
31. Ojo dadi wong pinter kablinger
artinya jangan sampai menjadi orang pandai yang salah jalan.
32. Ojo dumeb artinya jangan
mentang-mentang kuasa.
33. Ojo bosenan artinya jangan
menjadi pembosan.
34. Ojo degsura artinya jangan kurang
ajar.
35. Ojo seneng royal artinya jangan
menjadi pemboros.
36. Ojo nyenyamab wong tua artinya
jangan menghina orang tua.
37. Ojo pisan nacat inglian artinya
jangan mencela orang lain.
38. Ojo gawe serilung atining lian
artinya jangan menyakiti hati orang lain .
39. Ojo gelek mengasub artinya jangan
mencari musuh .
40. Ojo mung rumangsa bias, nangis
ora bias rumangsa artinya jangan hanya merasa pandai tapi tidak pandai merasa.
E. Sifat-Sifat Kepemimpinan Budaya
Aceh
Suku
aceh adalah salah satu yang memperkenakan criteria untuk kepemimpinan . Menurut
suku aceh , pemimpin itu harus menekankan sifat-sifat 5 P , dalam rangka
pengambilan keputusan , yaitu : peusiap ( persiapan ) pengumpulan data dan
perbandingan , peubanding ( telaahan dan pembahasan ), peunilai ( mengadakan
penilaian ) , peutunyok , ( memohon petunjuk pada allah S.W.T .), dan
peupatah ( mengambil keputusan ).
Dari
conto-conto tersebut di atas, dapat di jelaskan bahwa yang dapat menunjukan
cirri-ciri seorang pemimpin yaitu , telah memiliki pembawaan dan sifat-sifat
yang mendukung bagi seorang pemimpin sifat-sifat itu sebagian bisa di pelajari
dan di peroleh dalam kehidupan. Sedangkan kebahagiaan memang telah ada sejak
lahir . kebenaran tentang teori itu , dalam kaitannya ada hubungan antara
sifat-sifat seseorang dengan kapasitas kepemimpinannya secara efektif dan
sistematis , selalu di pertanyakan oleh para sarjana yang menekuni bidang
kepemimpinan.
Pola
kepemimpinan yang di kemukakan yang di kemukakan di atas, tidak lepas dari
system nilai budaya masyarakatb yang berakar pada nilai nilai warisan pusaka
nenek moyangnya , corak khas pemimpin dalam budaya lama Aceh mengisyaratkan
nilai-nilai kewibawaan, berani , dan ketaatan , terutama kepada pemimpin
tingkat atas atau sultan . lihat salah seorang pemimpin kerajaan aceh abad
ke-17 yaitu Sultan Iskandar Nuda (Zakaria Ahmad ,1971:64-67). Setelah
kemerdekaan terutama di alam merdeka diminta persyratan lain untuk menjadi
pemimpin di aceh. Pemimpin yang turun temurun tentulah tidak di mungkinkan lagi
Karena nilai budaya telah bergeser jauh sehingga ,membutuhkan syarat baru untuk
menjadi pemimpin aceh lebih-lebih di masa pembangunan dewasa ini. Persyaratan
pemimpin di tingkat manapun dewasa ini di tuntut sifat kepemimpinan yang baru
yang di dasarkan atas tiga criteria pokok yakni kepribadian atau karakter,
idealism , dan visi atau wawasan ke depan (Alfian, Kompas 14 Mei 1988 ).
Seorang pemimpin perlu memiliki karakter yang kuat sehingga dari satu
masyarakat dapat melihat kepadanya sebagai seorang yang memang memiliki
ketegasan.
Untuk
menjadi seorang pemipin , criteria kedua bahwa seorang pemimpin harus bersifat
realistis, ia harus mengetahui dengan sesungguhnya kondisi masyarakat yang
aspirasi getaran hati nuraninya berhasil dia jamah. Sebaliknya dia juga
memahami peluang dan hambatan yang dihadapinya dalam masyarakat, sehingga
mengetahui cara terbaik untuk memperjuangkan aspurasi dan getaran hati nurani masyarakat
terseubut. Criteria ketiga adalah pemimpin perlu memiliki visi atau wawasan
kedepan, melalui visi atau wawasan itu ia akan dapat melukiskan masa depan
bagaimana yang dapat dibangun bersama-sama oleh masyarakat.
KEPEMIMPINAN
CARA ISLAMI
Bagai mana kepemimpinan dilihat
darisudut pandang agama islam? Jawaban yang pastiuntuk pertanyaan tersebut
adalah “semua yang mempunyai jabatan atau kedudukdn sebagai seorang pemimpin
baik dalam bidang pemerintahan, kemiliteran, dan organisasi harus menjadikan Al-Qur’an
sebagai pedoman dalam menjalankan kepemimpinannya”. Lebih jelas lagi karena
Al-Qur’an bukan hanya harus dijadikan pedoman dalam memimpin, usaha yang paling
praktis adalah mencontoh ahlak atau periliaku Rasulullah Muhammad S.A.W dalam
memimpin umat Islam baik waktu damai maupun waktu berperang.
Seorang sahabat bertanya pada
Aisyah r.a. tentang ahlak Rasulullah, maka ia menjawab, “Ahlak Rasulullah tidak
lain adalah Al-Qur’an!” dengan kata lain, Rasulullah the walking and the living Qur’an contoh nyata aktualisasi
Al-Qur’an.
Karena itu memahami dan
mengamalkan Al-Qur’an dengan merujuk kepada konteks perilaku Rasulullah sebagai
teladan yang sempurna, merupakan bagian dari upaya setiap muslim yang ingin
mengaktualisasikan iman dan takwanya secara nyata. Dalam upaya mengasah
kecerdasan rohani, dibawah ini kitaakan membahas dimensi atau kandungan ahlak
Rasulullah. Dengan demikian, diharapkan dapat menjadi kebutuhan dan kebiasaan
perilaku yang menghujam di dalam hati sanubari. Karena, merasakan kebahagiaan tiada
tara bagi seorang muslim untukmeneladaani sikap dan perilaku Rasulullah saw.
Ulama terkenal KH.Toto Tasmara
dalam bukunya yang berjudul “Kecerdasan Ruhaniah” (Transcendental
Intelligence), menguraikan tentang perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim
dengan konsep “Harus Berahlak Mulia”. Ahlakmulai yang harus ada pada setiap
muslim terutama para pemimpin adalah: Shiddiq, Fatanah, Amanah, Tablig, dan
Istiqomah. Secara terperinci kecerdasan ruhaniah yang dicerminkan dengan
perilaku berakhlak mulia tersebut adalah:
A.
Shiddiq
Salah satu dimensi kecerdasan
rohani terletak pada nilai kejujuran yang merupakan mahkota kepribadian
orang-orang mulia yang telah dijanjikan Allah akan memperoleh limpahan nikmat
dari-Nya. Kedudukan disejajarkan dengan para nabi (shiddiqon nabiyaa) dan dijadikan untuk menjadi teman
dalammenungkatkan kualitas hidup, sebagaimana firman-Nya,
“Barang siapa yang menaati Allah
dan Rasul-Nya, maka itu akan bersama-sama dengan orang yang dianugerahi nikmat
oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqqiin, syuhada, dan orang-orang shaleh.
Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (an-Nisaa’:69)
Seorang yang cerdas secara
rohaniah, senan tiasa memotivasi dirinya dan berada dalam lingkungan
orang-orang yang memberikan makna kejujuran, sebagaimana firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar
(jujur).” (At-Taubah: 119).
Kejujuran adalah komponen rohani
yang memantulkan berbagai sikap terpuji (honorable,
respectable, creditable, maqaman mahmuda). Mereka berani menyatakan sikap
secara transparan, terbebas dari segala kepalsuan dan penipuan ( free from fraud or deception ). Hatinya
terbuka dan selalu bertindak lurus (open-minded
and straight forwardness). Sehingga, mereka memiliki keberanian moral yang
sangat kuat. Seorang sufi terkenal, yaitu a-Qusyairi, mengatakan bahwa shiddiq adalah orang yang benar, dalam semua
kata, perbuatan, dan keadaan batinnya.
Hati nuraninya menjadi bagian
dari kekuatan dirinya karena dia sadar bahwa segala hal yang akan mengganggu
ketentraman jiwaya merupakan dosa . Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari an-Nuwas
bin Sam’an bahwa dia berkata, “saya bertanya kepada Rasulullah tentang dosa.
Maka beliau bersabda.
“Dosa ialah yang merisaukan
hatimu dan kamu tidak suka orang lain mengetahuinya.”
Dengan demikian, kejujuran buka
datang dari luar, tetapi adalah bisikan qalbu yang secara terus-menerus
mengetuk-ngetuk dan memberikan percikan cahaya Ilahi. Ia merupakan bisikan
moral luhur yang didorong gelora cinta kepada Ilahi (mahabbah lillah.). Kejujuran bukan suatu keterpaksaan, melainkan
sebuah panggilan dari dalam (calling from
within) dan sebuah keterikatan (commitment,
aqad, i’tiqad).
Adapun orang yang tidak jujur
(al-kadzab) adalah orang yang menipu dirinya sendiri dengan menghancurkan atau
menghapuskan seluruh nilai moral yang dimilikinya. Orang yang tidak jujur
berarti tipikal manusia yang dengan teganya menyangkal suara qalbu dan dengan
sangat memalukan berani melecehkan harga dirinya sendiri.
Orang menjadi tidak jujur karena
dia tampil sebagai manusia pengecut (moral
cowardice) yang kehilangan kepribadian untuk menyatakan keyakinan-keyakinan
sendiri . Dia bukan lagi dirinya sendiri sehingga orisinalitas atau keaslian
dirinya hilang. Akar batinnya sangat rapuh dan gampang tumbang ketika diterpa
angin. Kalau toh harus berdiri, dia
bagaikan pucuk bambu yang bergerak kemana angin berhembus . Jati dirinya
terkubur oleh polesan bedak penuh kepalsuan. Orang yang tidak jujur adalah
orang yang bersembunyi dari orisinalitas atau keaslian dirinya. Ia
berpura-pura, hipokrit, atau munafik.
Perilaku yang jujur adalah
perilaku yang diikuti dengan sikap tanggung
jawab atas apa yang diperbuatnya. Dia siap menghadapi risiko dan seluruh
akibatnya dengan penuh suka cita. Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk
melemparkan tanggung jawab kepada orang
lain karena sikap tidak bertanggung
jawab merupakan pelecehan paling azasi terhadap orang lain, dan
sekaligus penghinaan terhadap dirinya sendiri dan Tuhan,
“Janganlah kamu mengetahui bahwa
nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (al-Maidah:48)
“Hai orang orang yang beriman ,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang orang yang benar.”
(at-Taubah:119)
Kejujuran dan rasa tanggung jawab yang memancar dari qalbu, merupakan
sikap sejati manusia yang bersifat universal. Sehingga , harus menjadi
keyakinan dan jati diri serta sikapnya yang paling otentik, asli, dan tidak
bermuatan kepentingan lain, kecuali
ingin memberikan keluhuran makna hidup. Dia sadar bahwa keaslian kepribadiannya
itu merupakan ungkapan kejujuran yang kepribadiannya itu merupakan ungkapan
kejujuran yang paling fundamental, tanpa dipengaruhi dan dibentuk orang lain
atau lingkungannya. Dia bertanggung jawab, bersikap jujur, dan siap untuk
menerima segala risiko karena kerinduannya untuk menjawab bisikan qalbunya. Itu
benar benar kesadaran azasi untuk memenuhi tugas sosial, maupun manusia ilahi.
1.
Jujur Pada Diri Sendiri
Salah
satu dimensi moral yang dilahirkan shalat adalah kejujuran, keikhlasan, dan
ketabahan. Seseorang yang sedang melaksanakan Shalat, begitu taat dan
bersungguh-sungguh untuk mengikuti seluruh proses sejak dari takbir sampai
salam. Tidak pernah kita dengar ada orang yang menipu jumlah rakaat dalam
shalat walaupun dia shalat sendirian.
Shalat
ritual telah melahirkan nuansa kejujuran dan melaksanakan seluruh kewajiban
dengan penuh rasa tanggung jawab. Bagi orang-orang yang shiddiq, esensi shalat tidak berhenti sampai ucapan assalamu’alaikum, tetapi justru ucapan
itu merupakan awal bagi dirinya untuk membuktikan hasil shalatnya dalam
kehidupannya secara actual dan penuh makna manfaat.
Kita
tidak pernah akan jujur kepada diri sendiri selama tidak mempunyai makna hidup
yang sejati yaitu berpihak kepada kebenaran juga selama tidak merasakan
kebahagiaan sejati adalah terpenuhinya makna hidup tersebut.
Jujur pada diri sendiri juga
berarti kesungguhan yang amat sangaat untuk meningkatkan dan mengembangkan misi
dan bentuk keberadaannya (mode of
existence) untuk memberikan apa yang terbaikbagi orang lain. Dia
menanpakkan dirinya yang sejati, apa adanya, as it is,lurus, bersih dan otentik. Dia meyadari bahwa keberadaan
hanya punya makna bila memberikan manfaat bagi orang lain secara terbuka
(transparan) tanpa kepalsuan, apa lagi meyembuyikan fakta kebenaran tau
memanipulasinya. Inilah yang disebut sebagai keberadaan ot5entik ( autbentice xistence ) atau berdiri lurus
sebagai mana allah berfirman,
“jikalau mereka tetap berjalan
lurus di atas jalan itu (agama islam) benar – benar kami akan memberi minum
kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak) .” ( al-jin:16)
Dia adalah tipe manusia yang
berjalan dengan penuh keyakinan diri yang kuat. Berdiri diatas kebenaran (qadama sbiddiain) dan sadar bahwa dia
harus mengambilkeputusan, mandiri, dan berbuat tanpa harus menggantungkan diri
kepada orang lain (idependen).
Kesadaran otentik berarti juga
meyadari sebenarnya amanah yang diterimanyasebagai rahmat lil alamin. Sehingga, orang yang jujur tidak hanya sekadar
mengungkapkan keberadaanya, tetapi juga bertanggung jawab atas seluruh ucapan
dan perbuatanya. Sebaliknya, keberadaan yang “tidak otentik atau hidup yang
palsu itu” adalah tipe manusia yang meyembuyikan atau mengingkari tugas dan
tanggung jawabnyadalam keberadaan dirinya di dunia. Keberadaannya menjadi tidak
murni dikarenakan ketergantungannya kepada orang lain. Dia hanya mau
berbuatatau mengukuhkan dirinya ( self
affirmation ) karena pamrih, tepuk tangan pujian, dan dorongan orang lain.
Keberadaan dirinya beserta perbuataan dan tindakanya benar-benar hanya
digerakan oleh orang lain, sebuah ke pura-puraan.
Bagi seseorang yang memiliki jiwa
kejujuran yang otentik, tepukan pujian dan penghargaan hanyalah sekedar akibat
sampingan (side effect) dari upya
dirinya meberikan makna hidup yang sejayi. Pujian, tepukan, uang dan kenikmatan
duniawi bukan;ah tujuan atau motipasi yang sebenarnya. Orang yang sibddiq
termasuk dalam kelompok al-abrar,
yang bekerja bukan mencari kedudukan duniawi melainkan ridha allah semat-mata
sebagai man tercantum dalam surah al-inssan ayat 8-9 dalam sebuah hadis qudsi,
Rasulullah saw. Bersabda,
“begitu mendalamnya kerinduan
orang-orang yang berbuat baik (al-abrar) untuk berjumpa dengan –Ku, padahal
kerinduan-Ku untuk berjumpa dengan mereka adalah lebih besar lagi.”
Sebaiknya para pendusta dan orng
munapik baru tergerak bila ada paktor luar (yang bersipat duniawi, terrestrial)
mempengaruhi dirinya. Norma-norma lingkungan di luar dirinya sangat dominan.
Haw nafsu menjadi dorongan dan kerangka acuan untuk memenuhi ego dirinya saja.
Mengapa harus mendengarkan suara hati, selama orang lain mendukungnya untuk
bersepakat berkolusi ? Bagi orang yang munafik, nilai kejujuran dianggap nilai
kelemahan, sok moralis, kemustahilan yang tidak masuk akal, absur dan nonsense!
“jujur hancur, curang menang”.
Inilah moto-moto-orang munafik, sang pengecut yang tidak pernah siap untuk
menghadapi tantangan. Mereka telah menjadi pecundang sebelum bertanding karena
seluruh gerak tindakannya tidak lagi otentik. Mereka tidak senang dengan tantangan
dan tekanan, apalagi harus berusaha payah. Etos kerjanya sangat rendagh dan
hidup ingin cepatdapat tanpa pengorbanan atau perjuangan. Persetan dengan
kejujuran, yang penting tujuan bisa tercapai . audzubillahi min dzaalik !
Koentjaraningrat menulis, “Mentalitas
yang bernafsu untuk tujuan secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha dari
permulaan selangkah demi selangkah. Untuk mudahnya, kita sebut saja ‘mentalitas
meneraba’. Dalam masyarakat indonesia sekarang ini, tampak banyak usahawan yang
mau saja mencapai dan memamerkan taraf hidup mewah dalam waktu secepat-cepatnya
dengan cara-cara tidak lazim atau dengan cara menyikat keuntungan
sebesar-besarnya mumpung ada kesempatan, tanpa mau mengunyah pahit getirnya
permulaan berusaha.”
Orang yang sudah tidah lagi
menjadikan kejujuran sebagai martabat, adalah tipe manusia tidak memiliki
keberanian moral atau pengecut. Dia tidak mempunyai nyali untuk bersikap
otentik, jujur, dan mempunyai makna hidup yang sejati. Sering kali dia berdalih
dengan sangat fasih hanya sekedar untuk menutupi segala kegagala dan kelemahan
dirinya. Dia sangat piawai merekayasa kebohongan dan memanipulir fakta untuk
mewujudkan keinginanya. Bahkan, bila perlu, dia halalkan segala cara untuk
memenuhi ambisi pribadinya.
Orang yang tidak jujur pada
dirinya adalah orang yang kehilangan sikap kesatria (futuwwah). Dia seorang pengecut dan tidak mempunyai nilai atau
martabat. Orang yang kehilangan keberanian untuk bersikap jujur, adalah orang
yang pada hakikatnya tidak mencintai dirinya sendiri. Kepentingan diri tidak
selamnya menggambarkan cinta diri karena dalam muatan cinta ada tanggung jawab.
Sebaliknya, dalam kebencian dan kemarahan tanpak bahwa perilaku seseorang
cenderung kepada kekuatan yang merusak dan mengabaikan jeritan hati nurani. Dia
mejadi manusia yang berpihak kepada tuntutan luar tanpa memeliki keberanian
yang berbeda atau meyatakan pendapat.
Sebenarnya inilah yang dimaksud
dengan selfish. Erich From
menggambarkan sikap manusia yang hanya mementingkan dirinya sediri (selfish) sebagai “ orang yang tidak
mampu mencintai orang lain, dan pada saat yang sama dia pun tidak mampu
mencintai dirinya sendiri” (incapable of
loving others, but they are not capable of loving themselves either).
Semangat ucapan ini telah disampaikan ratusan tahun sebelum oleh Rasulullah
SAW. Yang bersabda,
“bukanlah pengikutuku, mereka
yang tidak mencintai orang lain sebagaimana mencintai dirinya.”
Untuk itu,orang yang berpihak
kepada kebenaran selalu berkeinginan untuk memberikan makna terhadap tujuan,
prinsip-prinsip, serta mengambil peran yang jelas dalam keberadaan dirinya di
tengah-tengah pergaulna social yang merupakan awal dari ungkapan kejujuran pada
dirinya.
Jujur pada diri berarti dia
“memulai dengan sikap disiplin, taat,dan mengakui kemampuan yang dimikilinya”.
Dia mampu mengendalikan diri dan tidak ingin memaksakan kehendak apabila
keinginannya tidak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Tidak terlintas
untuk melakukan kepalsuan atau kebohongan hanya karena alasan “gengsi” atau
“prestise” karena kejujuran berarti juga keberanian untuk mengatasi dirinya
sendiri. Atau, untuk berkonfrontasi dengan dorongan nafsu rendah yang
bertentangan dengan suara qalbunya. Bahkan, dia merasa ada kenikmatan yang
sangat luar biasa apabila mampu berpihak pada nuraninya, mampu mempertahankan
kebenaran, dan dengan penuh disiplin mengabdi pada prinsip-prinsip yang
diyakininya meskipun resiko atau situasi yang terburuk sekalipun harus menerpa
dirinya.
Seorang filsuf memuji para
pemberani yang mampu mau mempertahankan jati dirinya, Brave is who knows fear
but conquers,who sees the abyss, but with pride ‘keberanian adalah mereka yang
tahu ketakutan, tetapi mampu menaklukan apa yang ditakutinya’.mereka yang
melihat jurang yang dalam, tetapi merasa bangga’.”
Pokoknya, dapat kita katakan
bahwa keberanian adalah jodohnya kekuatan; dan sang pengecut adalah mitra
manusia yang berjiwa lemah, berkepribadian budak, dan yang berbuat menurut
kehendak orang lain. Ketika keberanian telah tercerabut dari dadanya, dia
terombang-ambing bagaikan sampah-sampah yang dipermainkan deru ombak samudra.
Jiwa pecundang dan pengecut
terperangkap oleh ambisi diluar jangkauan kemampuannya. Dia pergunakan segala
cara untuk memenuhi keinginanannya tersebut dengan memaksakan diri dan mencoba
mencari celah-celah hukum. Hal ini terjadi karena dia tidak mampu mengakui
keterbatasan kemampuannya sendiri.
Dia tidak jujur pada dirinya.
Dengan sangat sinis, Nietzsche menuding tipe manusia seperti ini sebagai
manusia dengan moral yang sangat renda, ”Will
nothing beyond your capacity; there is a wicked falseness who will beyond their
capacity’ jangan menghendaki sesuatu yang melebihi kemampuanmu. Mereka yang
menginginkan sesuatu diluar kemampuannya sendiri,mengandung kepalsuan yang
sangat memalukan’.”
Jujur pada diri sendiri berarti
keterbukaan jiwa yang sangat transparan, bagaikan kaca-kaca bening yang tidak
ada noktah sedikitpun. Tidak ada yang tersembunyi dari kesadaran
nuraninya.dengan gagah berani, dia akui kelemahan dirinya.dia tidak merasa hina
apabila menaati prinsip-prinsip keyakinannya, kendati hal tersebut membawa
konsekuensi yang pahit bagi pergaulan sosialnya. Lebih dari itu, seorang yang
memiliki sifat shiddiq sangat takut
terhadap ancaman Allah yang ditujukan kepada mereka yang dihatinya ada penyakit
nifak,
“Sesungguhnya orang-orang
munafikitu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Kamu
sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. “ (an-Nissa:
145)
Itulah sebabnya, mereka yang
bersemi benih shiddiq di hatinya
tidak pernah mau manggadaikan makna hidupnya untuk perbuatan dan tindakan yang
bertentangan dengan prinsip keyakinannya. Baginya, kebahagiaan bukanlah
terletak padamateri, jabatan, ataupun pujian orang lain, melainkan terletak
pada kata hatinya sendiri. Hal yang paling esensial bukanlah bagaimana caranya
memperoleh dunia walaupun kita sadar bahwa duniamutlak kita butuhkan. Tetapi,
yang esensial adalah prinsip-prinsip moral yang melandasi upaya kita untuk
mendapatkannya. Dia sadar bahwa dunia hanyalah sekedar sandiwara, sebuah
permainan yang penuh dengan tipu daya (delusi).
2.
Jujur terhadap orang lain
Jujur terhadap orang lain bukan
hanya berkata dan berbuat benar, namun berusaha memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi orang lain, sebagaiman Rasulullah saw. Bersabda,
Sebaik-baik manusia adalah mereka
yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
Secaradeskriptif, Allah
menjelaskan akhlak Rasulullah dalam hal kepeduliannya terhadap orang lain.
“Sesungguhnya telah datang
kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat blaskasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at-Taubah: 128)
Sikap jujur terhadap orang lain
berarti sangat prihatin melihat penderitaan yang dialami mereka. Sehingga,
seorang yang shiddiq mempunyai sikap
empatiyang sangat kuat dan mempunyai jiwa pelayanan yang prima (sense of stewardship). Maka, tidak mungkin seseorang merasa gelisah
berada bersama-sama dengan kaum shiddiqiin
karena mereka adalah sebaik-baik teman yang penyantun dan penyayang serta
direkomendasikan Allah. Tidak mungkin para shiddiqiin
itu akan mencelakakan orang lain karena di dalam jiwanya hanya bersemi cinta
kasih dan kepedulian yang amat sangat untuk memberikan kebaikan, sebagaimana
Rasulullah saw. Bersabda,
“Barang siapa yang menyayangi
yang di bumi ini niscaya akan disayangi oleh Yang di langit .”
Selanjutnya, Rasulullah bersabda,
“Tiada manusia yang merendahkan
seorang muslim pada suatu tempat dengan merampas kehormatannya dan mencela harga
dirinya, melainkan Allah akan merendahkannya di suatu tempat ketika
diamenghendaki pertolongan-Nya. Tiada manusia yang menolong seorang muslim pada
suatu tempat yang dirampas kehormatan dan harga dirinya, melainkan Allah akan
menolongnya pada tempat di mana dia menghendaki pertolongannya.” (HR Abu Dawud)
Kejujuran yang merasuki seluruh
sukma para shidddiqiin itu memberikan pengaruh yang nyata terhadap
sikap dan prilakunya terhadap orang lain. Kepribadian orang yang shiddiq sangat memikat. Raut wajahnya mencerminkan
sikap yang optimis, berfikir positif, dan penuh gairah. Mereka selalu bersiap
diri untuk mengulurkan tangan penuh manfaat untuk peningkatan mutu orang lain
yang secara otomatis memberikan pengaruh positif terhadap dirinya, karena
mereka sadar bahwa keberadaan dirinya hanya dapat berkembang bersama dengan
orang lain pula. Bila seorang pemikir berkata, “Aku ada karena aku berfikir (cogito ergo sum),” maka seorang yang shiddiq akan berkata, “Aku ada karena
aku bersama orang lain untuk menegakkan kebenaran dan kejujuran.”
Jiwa pelayanan telah merasuki
para nabi dan sahabatnya. Nabi Muhammad saw. merasa sangat prihatin dan ikut berempati ketika
seoran anak kehilanagan burung kesayangannya. Bahkan, Abu Bakar r.a. memerah
susu kambing untuk tetangganya, walaupun saat itu kedudukannya sudah menjadi
seorang khalifah. Semua itu karena rasa perhatian dan ingin memberikan arti
bagi orang lain, merupakan sisi lain dari kepribadian seorang yang mempunyai
sifat shiddiq. Jujur terhadap orang
lain, adalah kerinduannya untuk memberikan manfaat.
Seorang yang shiddiq tidak
bersifat reaktif menyalahkan orang lain tetapi mengintrospeksi dirinya atau melakukan muhasabah pada dirinya
terlebih dahulu karena dia sadar bahwa dirinya bagian dari kelompok tersebut. Inilah
yang dikatakan Rasulullah sebagai, “ibda
bin-nafsik’mulai dari diri sendiri’”, yang saat ini kita mengenalnyadengan
istilah proaktif. Kejujuran melahirkan sikap percaya dirinya yang mendorong
dirinya sebagai lampu yang terang, sebagaimana misi kenabian yang dinukilkan
Al-Qur’an,
“Hai. Nabi, sesungguhnya kami
mengutusmu untuk menjadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi
peringatan. Juga untuk jadi penyatu kepada agama Allah dengan izin-Nya dan
untuk menjadi cahaya yang menerangi (as-sirajan muniran).” (al-Ahzab: 45-46)
Dengan mengikuti jejak Rasulullah
saw., orang berada dalam kegelapan tercerahkan menuju cahaya. Orang yang
terperangkap kemelutan permasalahan
merasa terbebaskan karena kehadiran dan bantuan dirinya yang tulus dan Kafan
(menyeluruh). Yang sempit dilapangkan dan yang tersesat disadarkan.
Bagaikan air suci yang
menyucikan, dan tidak hanya ingin memurnikan dirinya sendiri, tetapi ada
semacam misi suci (sacred mission)
untuk mengajak orang lain. Itu dilakukan sebagai rasa tanggung jawabnya untuk
melangkah menapaki jalan lurus menggapai ridha Ilahi,
“Orang yang membawa kebenaran
(Muhammad) dan membenarkannya. Mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
(az-Zumar: 33)
Dalamhubungannya dengan dunia
kerja, sikap shiddiq akan melahirkan para karyawan yang enerjik penuh
antusiasme. Karena, dalam melaksanakan tugas-tugasnya, mereka tidak merasa
terhambat oleh berbagai kebohongan yang akan merusak dirinya. Mereka menyadari
bahwa setiap kebohongan akan diikuti oleh kebohongan-kebohongan lainnya. Para ahli
psikologi sudah membuktikan bahwa kebohongan akan melahirkan penyakit mental,
rasa takut, stres, dan merasa tidak aman dalam menapaki kehidupannya, bahkan
kebohongan merupakan cikal bakal dari penyakit psikis yang akan menggangu
dirinya dan menimbulkan gangguan dengan keluarga, teman sejawat, bahkan
masyarakatnya.
Kejujuran telah melahirkan sifat
kepemimpinan yang berorientasi pada upaya menunjukan bentuk keteladana (uswatun hasanah, excellen exemplary)
sebagaiman kerinduan kita pada Rasulullah saw. yang memberikan begitu banyak
mutiara akhlak untuk sijadikan suri teladan,
“Sesungguhnya, telah adapada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu. Yaitu, bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari
kiamat serta dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)
Dengan semangat meneladani akhlak
Rasulullah saw. para shiddiqiin yang
menjadikan kepribadian dirinya sebagai inspirasi dan motivasi yang kuat dalam
rangka meningkatkan mutu dan memberdayakan kualitas orang lain (yang di dalam
literature manajemen dikenal dengan super leadership).
Jiwa kepemimpinan para shiddiqiin itu sangat peka terhadap penderitaan,
kesulitan,dan tekanan masalah yang dihadapi orang lain. Mereka sangat peduli
untuk dapat mengulurkan tangan meringankan beban dan mengangkatnya kepada
kemudahan dan kebahagiaan. Inilah akhlak yang paling dominan sebagai dasar
utama kepemimpinannya, sebagaimana suasana hati Rasulullah yang difirmankan
secara deskriptif di dalamAl-Qur’an,
“Sesungguhnya telah datang
kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat blaskasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at-Taubah: 128)
Khalifah Umar ibnul-Khathab
r.a.menggigil dan merasakan tubuhnya sangat lemah karena beberapa hari
berpantang minyak samin yang merupakan vitamin untukmemperkuat tubuh. Para
sahabat mendesaknya agar meminta uang dari baitul mal untuk membeli minyak
samin, tetapi ibnul-Khaththab menolaknya dan bertahan sampai keadaan normal kembali.
Ia berkata, “Bagaimana aku dapat memperhatikan kepentingan rakyat bila aku
tidak merasakan derita yang mereka rasakan.” (fipud Da’wah: 234)
Inilah sifat para shiddiqiin yang cepat bergetar jiwanya
melihat penderitaan dan kerusakan orang lain. Mereka memiliki daya empati yang
luar biasa sehingga mampu melebur diri dan merasakan rintihan lingkungannya.
Rasa empati merupakansalah satu
cirri orang yang mempunyai sikap shiddiq. Dirinya tidak mungkin berpangku
tangan (al-Qu’ud) melihat permasalahan di sekitarnya. Sikapnya yang proaktif
selalu bersiap diri untuk mengulurkan tangan memberikan pertolongan tanpa
mengharapkan balasan apapun karena apa yang dilakukannya hanya mengharapkan
ridha Allah.
Dirinya ingin selalu memberikan
nilai tambah . bahkan, dalam halmemperoleh kebaikan dari sesame temannya, dia
ingin sekali membalasnya melebihi apa yang telah dia terima. Hal ini sesuai
dengan semangat akhlak Qur’ani yang menyatakan,
“Apabila kamu dihormati dengan
suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau
balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya, Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (an-Nisaa:
86)
Dalam hal mengambil keputusan
atau memecahkan persoalan, bentuk musyawarah merupakan salah satu cirri
kepemimpinan beliau. Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw.
bersabda,
“ apabila pemimpin –pemimpin kamu
orang-orang baik , apabila orang-orang kaya diantara kamu orang yang murah
hati, dan apabila perkara kamu dimusyawarahkan diantara kamu, maka permukaan
bumi ini (kehidupan) lebih baik bagimu daripada bumi (kematian).” (HR
at-Tirmidzi)
Alah SWT berfirman,
“Makadisebabkan rahmat dari Allah
kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjaukan diri dari sekelilingmu. Karena itu,
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu,. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepada-Nya..” (Ali Imran: 159)
3.
Jujur Terhadap Allah
Jujur terhadap Allah berarti
berbuat dan memberikan segala-galanya atau beribadah hanya untuk Allah. Hal ini
sebagaimana di dalam doa iftitah, seluruh unat islam menyatakan ikrarnya bahwa
sesungguhnya solat, pengorbanan, hidup, dan mati mereka hanya diabaikan kepada
Allah Yang Maha Mulia. Pernyataan ini merupakan komitmen yeng secara
terus-menerus harus diperjuangkan agar tidak keluar atau menyimpang dari arah
yang sebenarnya. Itulah sebabnya di dalam Al-Qur’an banyak ditemukan kata shirat, syari’ah, thariqah, sabil, dan min haj, yang semuanya memberikan makna
dasar “jalan.”
Al-Qur’an seakan-akan memberikan
tamsil (metafora) bahwa kejujuran dan petunjuk menuju kebenaran hanya akan
dapat ditempuh melalui jalan lurus, luas, dan lapang (shiratahal mustaqiim) yang diberikan Allah untuk mempermudah
manusia mencapai ridha-Nya. Abdullah Yusuf Ali memberikan tafsirnya atas shiratahal mustaqiim, “mungkin kita
tersesat karena berjalan tanpa arah tujuan. Langkah pertama ialah mendapatkan
jalan dan kedua supaya tetap di jalan itu (for
we may be wandering aimlessly, and the first step is to find the way and the
second need is to keep in the way).”
Jalan ini akan memberikan
kemudahan bagi pemakainya sehingga dijamin keselamatannya danlebih cepat serta
lebih efisien untuk mencapai tujuan. Jalan selainnya hanya akan menambah jauh
perjalanan, bahkan bias tersesat karena terpedaya oleh jalan yang penuh dengan
fatamorgana, delusi, dan melelahkan.Allah berfirman,
“Ini adalah jalanku yang lurus
maka ikutilah dia. Janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan
itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan
Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (al-An’am: 153)
Berkaitan dengan shiratahal mustaqiim ini, cendekiawan
muslim Dr. Nurcholis Madjijd menjelaskan, “keotentikan hidup yang dihasilkan
iman kepada Tuhan itu didapatkan dengan menempuh jalan lurus, berbentuk sikap
jujur dan sejati secara ikhlas (murni). Keikhlasan itulah yang membawa kepada ketuhanan
hidup manusia.”
Jujur terhadap Allah adalah soal
hati nurani. Ada semacam sebongkahan iman yang merasakan bahwa dirinya
senantiasa dilihat Allah. Ada kamera Ilahi yang secara terus-menerus menyoroti
qalbunya. Dia merasakan bahwa Allah senan tiasa hadir dan menampakkan diri di
mana-mana (omnipresent), sebagaimana
firman-Nya,
“Sesungguhnya kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya. Kami lebih
dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qaaf: 16)
Karena itu Rasulullah memberikan
bekal iman untu menempuh jalan tersebut,
“Beribadahlah seakan-akan engkau
melihat-Nya dan bilaengkau tidak melihat-Nya, ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allah melihatmu..”
Suasana batin yang merasakan
kehadiran Allah, menyebabkan mereka tidak sekalipun terlintas untuk berbohong.
Karena kebohongan bagi mereka merupakan kebodohan dan pengingkaran yang amat
nyata terhadap keimanannya, sebagaimana Allah berfirman,
“Sesungguhnya, yang
mengada-ngadakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tdak beriman kepada
ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (an-nahl: 105)
“Jangan kamu ikuti orang-orang
yang mendustakan ayat-ayat Allah. Merekamenginginkan supaya kamu bersikap
lunaklalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (al-Qalam: 8-9)
Orang-orang yangshiddiq terhadap
Allah itu memelihara cahaya ilahi dalam bentuk petunjuk (budaa) yang menerangi seluruh relung qalbunya, sehingga tampaklah
sebuah keyakinan yang mendalam bahwa dirinya tidak pernah sendirian karena
Allah selalu melihat dan beserta dirinya sebagaimana tercantum dalam surat
al–Baqarah ayat 115.
Hal
ini tentu saja menjadi gumpalan iman yang membuat dirinya menjadi tenteram
(aman) dan tidak pernah mempunyai keraguan sedikitpun di dalam membawa misinya
yang selalu berada di atas jalan yang lurus untuk mengantarkan dan menyebarkan
nilai-nilai kebenaran. Dengan modal kejujuran yang dimilikinya, mereka
memberikan peringatan, seruan, dan ajakan mengembangkan kualitas kehidupannya
secara bersama, syumul wasy-syamil
sempurna dan luhur’, sebagai mana firman-nya,
“Berilah peringatan kepada manusia dan
gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi
(qaddama shidqin) di sisi tuhan mereka.” (Yunus: 2)
Para
shiddiqiin itu memperoleh kemuliaan dan tempat yang tinggi di sisi Allah.
Mereka berada di tempat yang berkelimpahan karunia yang tiada tara dan menjadi
contoh teladan yang disiarkan dalam bentuk sebutan yang baik,
“Kami
anugrahkan kepada mereka sebagai diri rahmat kami dan kami jadikan mereka buah
tutur yang baik (lisaana shidqin) lagi tinggi (“aliyaan).” (Maryam: 50)
4.
Menyebarkan Salam
Salam
tidak hanya member pengertian selamat, tetapi mempunyai kandungan bebas dari
segala ketergantungan dan tekanan, sehingga hidupnya terasa damai,tenteram,dan
selamat. Karena itu, setiap[ muslim akan mengucapkan salam setiap akhir sholat,
seakan-akan mereka ingin membuktikan bahwa hasil dari audiensinya dengan Allah
akan dinyatakan secara nyata dan aktual dalam kehidupannya, yaitu ikut
berpartisipasi dan dirinya sendiri merupakan bagian dari salam tersebut,
Dengan
demikian, makna salam merupakan benang merah dan identitas palinng monumental
yang menjadi misi dan hiasan kepribadian serta sikap dan prilaku seorang
muslim, seakan meneruskan misi para nabi. Bahkan, agama-agama semitik sudah
mengenal kata salam tersebut.
Misalnya kaum Yahudi mengenal arti kata salomlikum yang sama artinya dengan
assalmu’alaikum.
Dalam
hadits riwayat bukhari, Rasulullah saw. Bersabda tentang identitas atau
definisi muslim yang diungkapnya dalam sebuah kalimat yang sangat menggetarkan
hati. Beliau menyatakan bahwa yang disebut sebagai seorang muslim itu adalah
mereka yang menyebabkn saudaranya selamat dari lidah dan tangannya.
Minimal
Sembilan kali, setiap muslim akan mengucapkan salam dalam sholatnya. Sebagai
mana kita melakukannya pada saat memberikan tahiyah
, yaitu salam kepada Allah. Mengapa kita harus memberikan salam kepada Allah ?
karena kita tidak ingin ada lagi ikatan atau serba kekurangan yang akan
membebani diri, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan tahiyah, berarti kita ingin menghadap dan memperoleh ridha-Nya (approval ) atas tanggung jawab seeluruh
amal kita di dunia. Sehingga, pada saat kita kembali pulang ke kampong akhirat,
jiwa kita merasa tenteram dan hati kita utuh (salim) tampa merasa kekurangan kecuali limpahan karunia allah,
sebagai mana firman-Nya,
“Kecuali
orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (salim).” (
asy-Syu’araa : 89)
Menghsdsp
Allah dengan hati utuh, damai, dan sejahtera itulah yang dimaksudkan dengan
jiwa yang mutmainah. Allah ridha dan
kita pun bergembira menerima keridhaan-Nya sebagai mana firman-Nya,
“Hai
jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya. Masuklah kedalam jemaah hamba-hamba-Ku.” (al- Fajr: 27 – 30)
Kita
pun mengucapkan salam kepada Nabi saw. Dengan penuh rasa tanggung jawab dan muhabbah ingin meneladani Sunnah dan
akhlakn beliau sebagai tanda syukur kita kepada allah SWT. Kita juga
menyampaikan salam kepadaseluruh umat yang termasuk salam kategori shalihin agar kita mampu mengambil hikmah dari kesalahan mereka dan ingin memberikan
makna serta bagian dari karakter atau kebribadian yang saleh tersebut.
Mereka
ingin menciptakan surga tidak hanya yang tergambar dalam pengertian akhirat (jannah), tetapi benar-benar surge yang
terlahir di dunia. Mereka juga ingin mewujudkan wahyu allah sebagai mana
firman-Nya,
“Mereka
tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan
yang menimbulkan dosa, tetapi mereka mendengar ucapan salam.” (al-Waaqi’ah:
25-26)
Mereka
yang ingin memiliki kecerdasan ruhaniah dan etos kerja Ilahiah, tentunya akan
memberikan makna atau kondisi yang sangat mendalam terhadap kata salam sebagai
bentuk atau kondisi yang akan menjadi kerangka acuannya. Karena mereka akan
memulai segaloa sesuatu dari dalam dirinya, seluruh sikap kepribadian, lisan,
dan tindakannya selalu membuahkan nilai atau dimensi salam. Bahka, pada saat
mereka mendapatkan tekanandan kritikan sekalipun, mereka tetap tegar untuk
membalasnya dengan salam, sebagai mana firman-Nya,
“Hamba-hamba
Tuhan yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan diatas bumi
dengan rendah hati. Apabila orang-orang jahil menyapa mereka, maka mereka
mengucapkan kata-kata yang baik.” (al-Furqaan: 63)
Sikap
salam menjadi darah daging dan mata hatinya (intuisi), sehingga seorang salim itu akan tampak dari cara dirinya
berbicara. Mereka tidak berbicara kecuali fakta dan cara berkomunikasinya penuh
empati serta memberikan bekas yang mendalam (impression) kepada lawan
bicaranya. Mereka santun dan penuh perhatian serta selalun memberikan tanggapan
positif yang menyebabkan lawan bicaranya merasa terjaga self esteemnya ‘harga diri’.
Hal
ini membuktikan melalui penelitian terhadap tiga ribu eksekutif yang diteliti
dari cara mereka mengambil keputusan. Ternyata, mereka yang berhasil meraih
prestasi puncak adalah mereka yang mampu memanfaatkan intuisinya. Allah
berfirman,
“Mereka
itu adalah orang-orang yang Allah mengatahui apa-apa yang ada dalam hati
mereka. Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka dan berilah mereka pelajaran.
Katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka (qaulan
balighan0.” (an-nisaa: 63)
b.
Fathanah
Pada
mereka, fathanah diartikan sebagai
kecerdasan, kemahiran, atau penguasaan terhadap bidang tertentu padahal makna
fathanah merujuk pada dimensi mental yang sangat mendasar dan menyeluruh,
sehingga dapat kita artikan bahwa fathanah merupakan kecerdasan yang mencangkup
kecerdasan intelektual, emosional, dan dan terutama spiritual.
Seorang
yang memiliki fathanah, tidak saja
menguasai bidangnya, tetapi memiliki dimensi ruhani yang kuat. Keputusan-keputusannya menunjukkan warna
kemahiran seorang professional yang didasarkan pada sikap moral atau akhlak yang
luhur. Seorang yang fathanah itu tidak hanya cerda, tetapi juga memiliki
kebijaksanaan dan kearifan dalam berfikir dan bertindak. Al-Qur’an
menyebutkannya sebagai ulul-al-baab, bentuk
jamak dari kata “lubbun” yang artinya kesadaran bawah sadar yang paling hakiki.
Mereka mempunyai daya intuisi yang kuat sebagai hasil dari pembelajaran diri
dari pengalaman-pengalamannya.
Berdasarkan
penelitian Aston agor yang dilakukan terhadap tiga ribu eksekutif, diketahui
bahwa ternyata mereka yang berhasil meraih prestasi puncak adalah mereka yang
paling cerdas dalam pendayagunaan intuisi pada saat pengambilan keputusan.
Sedangkan, David Coleman mendefinisikan intuisi dan firasat sebagai kemampuan
mengindra pesan-pesan dari gudang penyimpanan memori emosi kita, yakni tempat
tersimpannya kebijaksanaan dan kearifan.
1. Diberi
Hikmah Dan Ilmu
Mereka
yang memiliki sikap fathanah mampu
menangkap gejala dan hakikat di balik mata batinnya (basirah), mereka mampuu
mengenal apa yang berada di balik apa yang tampak tersebut. Inilah yang
dimaksudkan dengan hikmah yang lain diartikan sebagao kearifan (the man of wisdom). Allah SWT
berfirman,
“Allah menganugrahkan Al-Hikmah
(kefahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang dianugrahi al-hikmah itu, ia benar-benar
telah dianugrahi karunia yang banyak. Hanya orang-orang yang barakallah
(ulul-al-baab) yang dapat mengambil pelajaran dari firman Allah.” (al-Baqarah :
269)
“Orang-orang
yang mendalam ilmunya berkata, Kami berfirman kepada ayat-ayat yang
mutsyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan Kami. ‘Tidak dapat mengambil
pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal (ulul-al-baab).” (ali
Imron : 7)
Kenijaksanaan
dan kearifan atau hikmah tersebut, tentu saja tidak datang begitu saja, tetapi
hasilnya dari proses belajar yang melahirkan kepekaan rasa batiniah. Kearifan
hanya muncul bila kita mau mendengarkan suara batin (qalbu, conscience). Mengasahnya dengan
perenungan, tafakur, serta menjadikan shalat dan doa sebagai terminal untuk
mengistirahatkan beban fikiran yang seharian kita pergunakan. Shalat, doa, dan
bertafakur memiliki makna lain dalam menumbuhkan kecerdasan fathanah, yaitu sebgagai sarana untuk
memasuki dunia pribatin, mendengarkan ketukan halus dari dalam, dan merasakan
bisikan rasa bawah sadar kita.
Sesekali
Berhenti sejenak, memarkir fikiran dan mulai merasakan bisikan dari suara hati.
Memang benar bahwa perasaan selalu bersama kita, tetapi jarang sekali kita mau
bersama dengan perasaan kita sendiri.
Mereka
yang memiliki nilai fathanah, sangat besar kerinduannya untuk melaksanakan
ibadah. Mereka mengharapkan Rahmat Allah dan dengan penuh rasa cinta mereka
bangun di tengah malam untuk mengarungi samudra batinnya melaksanakan tahajud.
“Apakah
kamu hai orang-orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadah
di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang dia takut kepada azab
akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, ‘adakah sama orang-orang
yang mengetahui dengan tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah
(ulul-al-baab) yang dapat menerima pelajaran.” (az-Zumar : 9)
“orang-orang yang mengingat
(berzikir) Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring.” (Ali
Imron : 191)
Ketaatan
beribadah menunjukkan komitmennya terhadap hati nurani sekaligus menunjukkan
wawasan jangka panjang (akhirat). Mereka mempunyai persepsi bahwa pekerja bukan
untuk keperluan jangka pendek yang bersifat sesaat, melainkan sebuah amanah
yang harus dipikulnya dengan tanggungjawab. Itulah sebabnya, ketaatan mereka
dalam ibadah akan tampak dari cara mereka menaati peraturan sebagai role of the game yang mengatur kehidupan kerja untuk mencapai
keharmonisan, ketertiban, dan suasana kondusif yakni sebagai sarana yang akan
memayungi dirinya untuk lebih kreatif dan bekerja lenih produktif.
Bagi
mereka, bekerja adalah menanam benih untuk kemudian mereka tuai di masa depan
sebagai bentuk ibadah melalui pencapaian prestasi atau amal shaleh. Ketekunanya
dalam menjalankan ibadah, melahirkan kepercayaan diri karena mereka bertawakal
atau mengandalkan Dia sebagai pendukungnya (ta’wakal,
ta’wakul wakil artinya tempat bersandar atau menjadi andalan).
Kepercayaan
diri ini pula yang mengantarkan banyak eksekutif mencapai sukses, sebagaimana
yang di telilti oleh boyatzis. Ia mengatakan bahwa kepercayaan diri dapat
muncul dengan sendirinya dalam penampilan diri yang sungguh-sungguh. Orang yang
percaya diri seakan memancarkan karisma dan menularkannya kepada orang lain.
Dikalangan
para penyeria, manager, dan eksekutif, percaya diri yang tinggi bisa membedakan
mana orang yang berprestasi dan mana yang biasa-biasa saja. Karena kemahirannya
dalam menguasai bidang tertentu (professional) dan wawasannya yang selalu
berangkat dari nilai moral yang luhur, seorang yang fathanah memiliki intuisi yang tajam dalam menganalisis persoalan
dan mengambil keputusan dengan berani dan percaya diri.
Saya
mengenal seorang teman yang tidak pernah putus mengamalkan shalat sunnah dhuha.
Dia bekerja di sebuah bank sebagai dealer
money market yang selalu dating lebih awal dari jam kerjannya, hanya untuk
menunaikan shalat dhuha sebelum kesibukan kantor mulai menyitanya.
Salah
satu kelebihan teman saya ini adalah intuisinnya yang tajam. Setiap
keputusannya selalu membuktikan kepiawaiannya dalam membaca isyarat-isyarat
yang tidak dapat di tangkap orang lain. Saat ini, dia memiliki perusahaan
sendiri yang bergerak di bidang pengelolaan money
changer.
Demikian
pula dengan Marzuki Usman. Sebagai seorang eksekutif, birokrat, dan aktivis, ia
termasuk sosok pribadi yang kuat dan selalu dating di kantor lebih awal untuk
menunaikan shalat dhuha sebelum melakukan apapun di kantornya.
Dari
kedua contoh nyata itu, kita ketahuai bahwa mengasah mata batin melalui shalat,
doa, dan dzikir ternyata mampu memperkaya kepekaan intuisi.
Paul
Hersey, pengarang buku situational
Leadership, mengatakan bahwa “pemimpin yang efektif bukan hanya mampu
membaca situasi, melainkan mampu menangkap isyarat-isyarat yang tidak
terucapkan. Mereka tidak hanya menguasai keilmuan dalam bidangnya, tetapi arif
dan bijaksana dalam melihat situasi”.
Mereka
yang berjiwa fathanah mampu
menempatkan dirinya sebagai focus perhatian lalu menjadikan dirinya sebagai
figur teladan atau uswatun hasanah karena
kemahirannya (profesionalisme) dan kepribadiannya yang mampu menumbuhkan
situasi yang menentramkan. Orang dengan kecakapan seperti ini, menurut david
Coleman, akan melakukan hal-hal sebagai berikut.
1.
Sadar
tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahannya.
2.
Menyempatkan
diri untuk merenung dan belajar dari pengalaman.
3.
Terbuka
terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima perspektif baru, mau terus
belajar, dan mengembangkan diri sendiri.
4.
Mampu
menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan perspektif
yang luas.
Mereka
yang memiliki jiwa fathanah mampu
belajar dan menangkap peristiwa yang ada di sekitarnya, kemudian
menyimpulkannya sebagai pengalaman berharga dan pelajaran yang memperkaya
Khazanah pemikirannya. Mereka tidak segan untuk belajar dari dan mengajar.
Karena bagi mereka, hidup hanya semakin berbinar ketika seseorang mampu
mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut.
Sikapnya
proaktif, yaitu ingin memberikan makna yang berarti bagi lingkungannya. Dia
ingin memahami orang lain sebelum dirinya di fahami, sehimgga sikapnya yang
proaktif itu menyebabkan dirinya selalu berorientasi pada prestasi (achievements orientation). Sikap yang
positif menumbuhkan kekayaan batin yang kuat karena ada semacam nyala api yang
terus berbinar untuk belajar dan menagkap segala fenomena yang ada dengan
sikapnya yang arif. Hal ini telah dinyatakan berulang-ulag di dalam Al-Qur’an,
“Hanyalah orang-orang yang
berakal (ulul-albaab) yang dapat mengambil pelajaran.” (ar-Ra’d : 19)
“Supaya mereka mengetahui bahwa
Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal (ulul-albaab)
mengambil pelajaran.” (Ibrahim : 52)
“Inilah adalah sebuah kitab yang
kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan
ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran
(ulul-albaab).” (Shaad : 29)
“Sesungguhnya pada kisah-kisah
mereka itu terdapatpengajaran bagi orangh-orang yang mempunyai akal
(ulul-albaab).” (Yusuf : 111)
“Orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata, ‘kami beriman kepada ayat-ayat yang mustasyabihat, semuanya
itu dari sisi Tuhan kami. ‘Tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan
orang-orang yang berakal (ulul-albaab).” (Ali Imron : 7)
2. Mereka
Berdisiplin Dan Proaktif
Menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia, disiplin
diartikan sebagai “latihan dan watak dengan maksud supaya segala hal perbuatan
selalu menaati tata tertib; ketatan pada aturan dan tata tertib”. Dari definisi
tersebut, tampak beberapa aspek yang terkandung didalam pengertian disiplin.
a.
Disiplin
merupakan latihan watak yang erat kaitannya dengan pemerkayaan mentalitas
individu serta pembentukan sikap dan perilakunnya.
b.
Disiplin
merupakan perbuatan atau perilaku untuk menaati tata tertib.
Poerwadarminta
melihat disiplin sebagai sebuah bentuk “layihan”, padahal yang sesungguhnya
yang terjadi justru disiplin itu merupakan hasil dari sebuah latihan
kebiasaan-kebiasaan.
Selanjutnya
harus diingat bahwa di dalam perilaku atau perbuatan disiplin terkandung
pemahaman dan pengertian yang jauh lebih mendalam dari hanya sekedar hasil
latihan atau mengetahui perilaku disiplin dari bentuk luarnya saja. Karena
sebuah perilaku dapat saja sebuah tiipuan, rekayasa, atau perilaku yang
berpura-pura.
Sikap
disiplin melahirkan perilaku proaktif yang didefinisikan oleh Stephen R. Covey
sebagai taking initiative and responding
to outside based one one’s principles, accept responsibility for their own
actions, don’t blane and accuse others when things go wrong, work continuously
within their circle of influence, and change and develop nthemselves first in
order to have greater influence with others. ‘mengambil inisiatif dan
member respons pada rangsangan dari luar berdasarkan pada prinsip-prinsip
seseorang. Tidak menyalahkan dan menuduh orang lain ketika terjadi kekacauan.
Terus bekerja di dalam lingkaran pengaruh mereka, mengubah dan mengembagkan
diri mereka sendiri terlebih dahulu agar memiliki pengaruh yang lebih besar
pada orang lain’.
Covey
menegaskan bahwa proactive is the most
basic of highly effective person in ay environment ‘proaktif merupakan
kebiasaan yang paling mendasar dari seseorang yang sangat efektif dalam setiap
keadaan’.
Mereka yang proaktif berkata,
“Marilah
melihat alternative atau kemungkinan lain
Saya
dapat memilih atau mencari pendekatan lain
Saya
dapat mengendalikan perasaan saya
Saya
akan mencoba mencari cara dan metode lain
Saya
akan terus mencoba
Saya
tetap optimis”
Sedangkan yang reaktif akan
berkata,
“Ah, saya tidak bisa berbuat
apa-apa lagi
Ini memang sudah suratan takdir,
sudah nasib
Mereka membuat sata benar-benar
gila
Pokoknya saya harus
Mau apa lagi, pokoknya tidak bisa
Rasanya susah, ya. Saya pesimis,
kok”
Orang
yang fathanah pasti bersikap positif
dan memandang disiplin sebagai konsep dan gambaran diri (self image) serta martabat diri (meaning
and self esteem). Mereka menerjemahkan disiplin secara lebih mendalam dan
hakiki, yaitu pola probatin dalam bentuk keterpanggilan untuk taat dan
bertanggung jawab. Dalam pengertian pribatin ini, nurani kita terpanggil untuk
berbuat dan siap mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut. Inilah sebenarnya
yang kita maksudkan dengan disiplin, sebuah perilaku yang keluar secara sejati
dari hati nurani, sebuah komitmen untuk setia terhadap nurani dan menunjukkan
rasa tanggung jawab yang tinggi.
Mereka
memenuhi setiap komitmen atau janji karena mereka sadar bahwa harga dirinya
terletak pada sejauh mana mereka disiplin terhadap komitmen tersebut.
“Hanyalah orang-orang yang
berakal saja (ulul albaab) yang dapat mengambil pelajaran. Yaitu orang-orang yang
memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, orang-orang yang
menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka
takut kepada Tuhannya dan takut akan hisab yang buruk. Juga orang-orang yang
sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan solat, dan menafkahkan
sebagian Rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi-sembunyi atau
terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan. Orang-orang itulah yag
mendapat kesudahan yang baik.” (ar-Ra’d: 19-22).
Mereka
yang fathanah memandang disiplin
sebagai cara individu untuk menunjukkan jati diri dan harga dirinya. Memang,
sekilas tampak bahwa disiplin itu mengikat dirinya, tetapi secara lebih
mendalam justru merupakan ciri dan cara seorang menghayati nilai kemerdekaan.
Dia sadar bahwa dia merdeka bukan untuk merdeka, tetapi merdeka dalam
keterikatan. Dengan demikian, disiplin adalah salah satu bentuk ikatan yang
justru merupakan ciri dan cara manusia yang menghayati makna kemerdekaan. Disiplin adalah
keniscayaan manusia yang ingin memuliakan dirinya. Karena, tanpa disiplin,
sungguh mustahil manusia akan menemukan makna dirinya dalam upaya meningkatkan
martabat dan derajatnya dari waktu ke waktu.
a.
Sikap
disiplin adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa
dalam keberadaan individu di tengah-tengah norma-norma yang ada di
lingkungannya. Sikap disiplin belum menjadi perilaku, tetapi baru dalam bentuk
tendensi dan kecenderungan berperilaku dengan cara tertentu terhadap objek
tertentu apakah berupa orang, tempat, benda, gagasan, situasi dan lain-lain.
b.
Sikap
disiplin bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan arah, apa yang
harus dipatuhi dan dihindari, sehingga mempunyai daya pendorong atau motivasi.
c.
Sikap
disiplin timbul dari pengalaman, tidak dibawa-bawa sejak lahir. Disiplin
merupakan hasil belajar dan mencakup aspek kognitif, apektif dan behavioral. Keyakinan dan prinsip
kepercayaan adalah komponen kognitif, kebiasaan-kebiasaan adalah komponen
afektif, dan tindakan merupakan bentuk behavioral.
Dengan
demikian, tampak dengan jelas bahwa menegakkan disiplin adalah sama dan
sebangun dengan menegakkan kebenaran, prinsip yang kita yakini. Itu semua
dinilai dari hati nurani. Pasukan yang berdisiplin dan berpihak pada
prinsip-prinsip kebenaran itu akan bertarung dan harus mengalahkan hawa nafsu
yang mempunyai pasukan kekufuran. Para serdadu disiplin akan terus- menerus
bertempur dengan serdadu hawa nafsu yang selalu membawa kepada penyagkalan hati
nurani.
PASUKAN
DISIPLIN MELAWAN PASUKAN KEKUFURAN
DISIPLIN
|
KEKUFURAN
|
Taat Patuh
Menerima
Berani
Jiwa Ksatria
Terbuka
Efisien
Tepat Waktu
Amanah
Tepat Janji
Ksatria
Berani terhadap Resiko
Harga Diri
Solidaritas, Tepo Saeliro
Rendah Hati
Ulet, Tangguh
|
Membangkang
Menolak
Takut
Tertutup
Selingkuh
Boros
Jam Karet
Khianat
Ingkar Janji
Munafik
Tidak Bertanggung Jawab
Tidak Punya Malu
Egois
Gila Hormat, Serakah
Kurang Sabar, Menggerutu
|
3. Mampu
Memilih yang Terbaik
Instuisi, kecerdasan, dan
kearifannya menuntun dirinya untuk selalu berpihak kepada kebenaran. Mereka
tidak segan untuk belajar dari siapapun karena kesadaran dirinya untuk selalu
memprkaya batiniahnya. Rasulullah bersabda, “Ambilah
kebenaran walaupun datangnya dari mulut seorang habsy.”
Sikapnya
terbuka dan menjadikan dialog serta musyawarah sebagai bagian dari cara dirinya
berinteraksi dengan orang lain. Dalam suasana berdialog atau bermusyawarah
tersebut, mereka akan belajar dan memperoleh nilai-nilai penuh hikmah dan
pemerkayaan batin yang dengan pengalamannya itu pula mereka mampu mempertajam
instuisinya untuk memilih yang terbaik.
“Yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang
diberi petunjuk Allah dan meraka itulah orang-orang yang berakal (ulul
albaab).” (az-Zumar: 18).
“Katakanlah. Tidak sama yang
buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu. Maka,
bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang berakal (ulul-albaab).”
(al-Maa’idah: 100).
Mereka
sangat inovatif dan mau menerima gagasan-gagasan baru, memiliki gaya
adaptabilitas yang tinggi terhadap perubahan dan selalu berorientasi pada
prestasi.
Orang-orang
yang inovatif dan adaptif itu diuraikan ciri-cirinya oleh David Coleman sebagai
berikut.
a.
Selalu
mencari gagasan baru dari berbagai sumber.
b.
Mendahulukan
solusi-solusi yang orisinil dari dalam pemecahan masalah.
c.
Menciptakan
gagasan-gagasan baru.
d.
Berani
mengubah wawasan dan mengambil resiko akibat pemikiran baru mereka.
e.
Terampil
menangani baragam kebutuhan walaupun pesatnya perubahan atau bergesernya
prioritas.
f.
Siap
mengubah tanggapan dan taktik untuk manghadapi perubahan.
g.
Luwes
dalam memandang situasi.
Dari
uraian singkat di atas, tampaklah bahwa fathanah
dapat pula kita katakan sebagai kecerdasan total yang berawal dari ketajaman
instuisi mata batin (basirah) yang berada pada dimensi ruhiah. Beberapa
karakteristik yang terkandung dalam jiwa fathanah
antara lain sebagai berikut.
a.
The man of wisdom. Mereka tidak hanya menguasai dan
terampil melaksanakan profesinya, tetapi juga sangat berdedikasi dan dibekali
dengan hikmah kebijakan (al-Baqarah: 296)
b.
High in integrity. Mereka sangat bersungguh-sungguh
dalam segala hal, khususnya dalam meningkatkan kualitas keilmuan dirinya.
Mereka tidak hanya memikirkan apa yang tampak, tetapi mampu melihat apa dibalik
yang tampak tersebut melalui proses perenungan atau tafakur (Ali Imran: 190
c.
Willingness to learn. Mereka memiliki motivasi yang
sangat kuat untuk terus bekajar dan mampu mengambil pelajaran dari setiap
peristiwa yang dihadapinya (Yusuf: 111)
d.
Proactive stance. Mereka bersifat proaktif, ingin
memberikan kontribusi yang positif bagi lingkunganny sebagai sosok yang mampu
mengambil keputusan yang terbaik dan menjauhi hal-hal yang akan merugikan
(al-Maidah: 100)
e.
Faith in god. Mereka sangat mencintai Tuhannya
dan karenanya selalu mendapatkan petunjuk dari-Nya. Hidupnya bagaikan telah di-sibghah Allah sehingga tumbuh rasa
optimis untu menjadikan allah sebagai tempat dirinya bersandar atau bertawakal
(Ali Imran: 7, 30-31, al-Baqarah: 138)
f.
Creditable and reputable. Mereka selalu berusaha
menempatkan dirinya sebagai insan yang dapat dipercaya sehingga tidak pernah
mau mengingkari janji atau mengkhianati amanah yang dipikulkan kepada dirinya
(ar-Ra’d: 19-22
g.
Being the bes. Selalu ingin menjadian dirinya
sebagai teladan (the excellent examplary)
dan menampilkan unjuk kerja yang terbaik (Ali Imran: 110)
h.
Emphaty and compession. Meraka menaruh cinta kepada orang
lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (at-Taubah: 128)
i.
Emotional mutarity. Mereka memiliki kedewasaan emosi,
tabah, dan tidak pernah mengenal kata menyerah serta mampu mengendalikan diri
dan tidak pernah terperangkap dalam keputusan yang emosional (Lukman: 17)
j.
Balance. Mereka memiliki jiwa yang tenang,
sebagaimana dikenal dalam Al-Qur’an sebagai nafsul
muhmainah (al-Fajr: 27-30, as-Syu’araa: 89)
k.
Sense of mission. mereka memiliki arah tujuan atau
misi yang jelas dalam kehidupannya (at-Taubah; 33, al-Fat-h: 28, ash-Shaff: 9)
l.
Sense of competition. Mereka memiliki sikap untuk
bersaing dengan sehat. Karena mereka sadah bahwa setiap umat memiliki kiblat
dan martabatnya dengan memiliki sense of
competition (al-Baqarah: 148).
A.
Amanah
Indikator
lain dari seorang yang memiliki kecerdasan ruhaniah, adalah sikapnya yang
selalu ingin menampilkan sikap yang bisa dipercaya (kredibel), menghormati, dan
dihormati (honorable). Sikap
terhormat dan dipercaya hanya dapat tumbuh apabila kita meyakini sesuatu yang
kita anggap benar sebagai summum bonum
atau prinsip-prinsip yang tidak dapat diganggu gugat.
Banyak
pejuang kemanusiaan yang terlempar di dalam penjara. Nelson Mandela mampu
bertahan lebih dari dua puluh tahun dalam penjara yang pengap, dikarenakan
memiliki prinsip kebenaran tersebut yang kemudian memancarkan kehormatan
dirinya. Mahatma Ghandi menampilkan dirinya sebagai sosok manusia teladan
dengan gerakan anti kekerasannya. Ahimsa dan Bande Mataram menjadikan dirinya
sebagai sosok yang dipercaya dan dihormati.
Mereka
yang memiliki kecerdasan ruhaniah dihormati dan dipercaya bukan karena
kemampuan fisiknya, tetapi kekuatan ruhaninya yang senantiasa diterimanya
dengan penuh rasa amanah. Mereka merasakan ada semacam getaran dalam
sanubarinya. Ada Allah dihatinya, dan kemanapun mereka berpaling ia melihat-Nya
(al-Baqarah; 115). Sikap seperti ini menumbukan gairah yang sangat kuat atau
antusiasme (berasal dari kata etheos ‘di
dalam hati ada Tuhan’).
Amanah
merupakan dasar dari tanggung jawab, kepercayaan, dan kehormatan serta
prinsip-prinsip yang melekat pada mereka yang cerdas secara ruhani. Di dalam
nilai diri yang amanah itu ada beberapa nilai yang melekat.
1.
Rasa
tanggung jawab (takwa). Mereka ingin menunjukan hasil optimal atau islah.
2.
Kecanduan
kepentinagn dan sense of urgency.
Mereka merasakan bahwa hidupnya memiliki nilai, ada sesuatu yang penting.
Mereka merasa dikejar dan mengejar sesuatu agar dapat menyelesaikan amanahnya
dengan sebaik-baiknya.
3.
Al-amin, kredibel, ingin dipercaya dan
mempercayai. Hidup baginya adalah sebuah proses untuk saling mempercayai dan
dipercayai. Struktur organisasi atau gaya manajemen apa pun yang dilakukan para
top executive, akhirnya terpusat pada
sejauh mana dirinya mampu mampu mempercayai bawahannya dan pada saat yang sama
memberikan dorongan atau motivasi agar dirinya mendapatkan kepercayaan.
Keguncangan sebuah sistem, apakah sistem birokrasi yang paling rendah sampai
pada sisitem pemerintahan, terletak pada sejauh manakah presiden, kabinet, dan
rakyatnya terkait dalam dua pola tersebut yaitu dipercaya dan mempercayai.
4.
Hormat
dan dihormati (honorable). Hidup yang
wajar dan mulai tidak harus menjadi seorang karismatik atau berupaya untuk
membuat dirinya menjadi yang dikultuskan. Hidup harus berada pada tatanan mahabbah ‘rasa cinta’. Dia merasakan
bahwa hanya mungkin dicintai bila dia pun terbuka untuk mencintsi. Bagaimana
aku memperlakukan orang lian sebagaimana kau mempelekukan diriku sendiri (how I am treating others is assentially how
I am treating my self and vice versa).
B.
Tablig
Fitrah
manusia sejak kelahirannya adalah kebutuhan dirinya kepada orang lain. Bla
seorang filsuf barat berkata cogito ergo
sum ‘aku ada karena kau berfikir’, kita dapat mengatakan “aku ada karena
aku memberikan makna bagi orang lain: sebagaimana Rasulullah saw. Bersabda,
“Engkau belum disebut orang yang
beriman kecuali engkau mencintai orang lain sebagaimana mencintai dirimu
sendiri.”
Ucapan
Rasulullah ini memberikan makna bahwa seseorang tidak mungkin berkembang dan
mempunyai kualitas unggul kecuali dalam kebersamaan. Itulah sebabnya, seorang
muslim tidak munkin bersikap selfish,
egois, atau annaniah ‘hanya
mementingkan diri sendiri’. Bahkan, tidak mungkin mensucikan dirinya
sendiritanpa berupaya untuk menyucikan orang lain. Kehadirannya di
tengah-tengah pergaulan harus memberikan makna bagi orang lain bagaikan pelita
yang bersinar memberi cahaya terang bagi mereka yang kegelapan (as-sirajan al-munira). Di dalam
psikologi modern atau lebih tepatnya logo terapi, hal seperti itu disebut
sebagai encounter, yaitu bentuk
interaksi antar individu berdasarkan cinta kasih yang melahirkan rasa bahagia
antara satu da lainnya.
Di
sinilah salah satu peranan dan sikap tablig yang merupakansalah satu sifat akhlakul karimah dari Rasulullah saw,
yaitu menyampaikan kebenaran melalui suri teladan dan perasaan cinta yang
sangat mendalam.
Salah
satu pesan agung Rasulullah yang disampaikan pada saat haji perpisahan adalah
amanah beliau yang mewajibkan setiap muslim untuk menyampaikan pesan-pesan
kebenaran, “Sampaikanlah apa yang telah engkau ketahui dariku walaupunh hanya
satu ayat!” gemuruhlah mereka yang hadir dalam kesempatan itu. Mereka merasa
mendapatkan kehormatan atas amanah yang disampaikan junjungan Rasulullah saw..
sejak itu, menyebarlah islam ke seluruh pelosok bumi karena setiap muslim
merasa memperoleh kemuliaan peran dirinya sebagai mubalig atau komunikator yang
menyampaikan pesan ilahiyah untuk memenuhi seruan dan perintah Allah,
“serulah (manusia) kepada jalan
Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya
dan dia lebih mengetahui siapa yang menerima petunjuk.” (an-Nahl: 125)
Seruan
ini telah membangkitkan smangat tablig para assabiqunal
awwaluun ‘para perintis awal’ yang telah mengubah dan memberikan sumbangan
positif pada peradaban kemanusiaan. Mereka berhasil karena semangat yang
dibalut dengan profesionalismenya sebagai komunikator yang unggul disertai
pesan-pesan yang tidak hanya bersifat verbal belaka, tetapi diikuti pula dengan
gerak amal nyata. Mereka menyelenggarakan organisasi (tarbiah) melalui madrasah
dan pesantren. Setiap muslim merasakan dirinya mengemban amanah sebagai juru
dakwah seraya menampilkan dirinya sebagai sosok muslim yang patut diteladani,
sehingga tindakan dan keteladanannya lebih membekas dari hanya sekedar
kata-kata (lisanulhaal afshahu in-lisanil
maqal)!
Nilai
tablig telah memberikan muatan yang mencakup aspek kemampuan berkomunikasi (communication skill), kepemimpinan (leader ship), pengembangan dan
peningkatan kualitas sumber daya insani (human
resources development) dan kemampuan diri untuk mengelola sesuatu (managerial skill).
1.
Communication
Skill
Kata
tablig di dalam Al-Qur’an disebut dalam bentuk kata kerja (fi’il) sedikitnya ada spuluh kali (al-Maa’idah: 67, al-Ahzab: 62,
68, al-Ahqaaf: 23, al-Jin: 28, al-A’raaf: 79, 92, Huud: 57) yang merupakan
bentukan dari akar kata Ballagha-yuballighu-tabliighan. Artinya, proses
menyampaikan sesuatu untuk mempengaruhi orang lain melalui lambing-lambang yang
berarti (the process of transmitting the
meaningful symbol).
Dengan
berkomunikasi, berarti seseorang ingin menyampaikan gagasannya dan kemudian
gagasannya tersebut diterima oleh komunikan (mad’u). sehingga tumbuhlah perubahan sikap dalam bentuk
pengertian, partisipasi, atau tindakan
sebagaimana yang diharapkan oleh komunikator (da’i).
Mereka
yang memiliki sifat tablig mampu membaca suasana hati orang lain dan berbicara
dengan kerangka pengalaman serta rujukan atau tingkat organisasi lawan
bicaranya (field of experience and frame
of reference). Sebagaimana Ali bin Abi Thalib berkata, “Berbicaralah sesuai
dengan kadar berfikir mereka. “Karena, segala sesuatu diterima menurut
karakteristik si penerima (quidquid
reciptur secundum modum recepientis).
Dalam,
kehidupan, khususnya dunia kerja, kemampuan berkomunikasi merupakan salah satu
persyaratan untuk meniti jenjang karir lebih tinggi. Seseorang tidak mungkin
mengembangkan dirinya dalam organisasi perusahaan kecuali mereka mampu
mengekspresikan gagasan dan hasil pekerjaan melalui komunikasi yang efektif dan
empatik. Dari penelitian exit interview terhadap
karyawan yang mengundurkan diri dari perusahaan, ditemukan penyebabnya bahwa
mereka mengundurkan diri bukan karena mereka tidak mampu melaksanakan
tugas-tugas teknis, melainkan gagal dalam membangun interpersonal skill. Secara teknis, mereka cerds dalam melaksanakan
pekerjaannya tetapi mereka gagal dalam berkomunikasi secara vertical maupun
horizontal.
Problem
yang dihadapi dalam kaitan berkomunikasi antar individu (interpersonal skill) sering kali terkait dengan masalah persepsi,
yaitu kemampuan seseorang dalam menafsirkan dan menyimpulkan pesan-pesan
termasuk penilaian terhadap seseorang. Kesalahan daam persepsi (misperception) bias terjadi karena
beberapa hal sebagai berikut.
a.
Kita
menilai seseorang menurut tolak ukur diri kita sendiri (subjektif) dan tidak
terbuka atas gagasan serta pengaruh dari lawan bicara kita, sehingga, terjadi
konflik batin yang kemudian melahirkan penilaian terhadap pesan yang
disampaikan lawan bicara kita.
b.
Tidak
ingin berusaha untuk membuka diri dan memahami “keadaan orang lain”, sehingga
kita berada dalam daerah yang gelap (dark
area).
c.
Tidak
menaruh kepercayaan (lack of creadibility)
pada lawan bicara sehingga tidak mampu menerima seluruh pesan yang disampaikan
secara utuh.
Dalam
kaitan ini Stephen Covey mengidentifikasikan bahwa perception and creadibility problems may ultimately result in
complicated knots, what we often call personality conflict or communication
breakdowns ‘permasalahan persepsi dan kreadibilitas pada akhirnya
menghasilka komplikasi yang sangat rumit, yakni apa yang kita sebut dengan
konflik kepribadian atau kemacetan komunikasi,.
Untuk
menghindari kemacetan komunikasi, Covey memberikan saran bagaimana kita
bersikap dan berperilaku dalam menjalin komunikasi sebagai berikut.
a. Sikap
-
Saya
percaya, saya tidak mempertanyakan keikhlasan atau kewarasan Anda.
-
Saya
sangat peduli membangun hubungan yang baik dan ingin menyelesaikan segala
perbedaan. Tolonglah bantu saya menyelesaikan perbedaan tersebut dari cara
pandang anda.
-
Saya
sangat terbuka untuk menerima gagasan dan siap untuk menerima perubahan.
b. Perilaku
-
Mendengar
untuk memahami (listen to understand).
-
Berbicara
untuk dipahami (speak to be understand).
-
Mengawali
dialog dari titik pandang atau persetujuan yang sama dan bergerak secara perlahan memasuki daerah yang berbeda.
Kemacetan
dalam berkomunikasi akan mencair bila daerah pembicaraan diawali dari daerah
kepentingan atau titik pandang yang sama (overlapping
of interest) dan secara perlahan berupaya untuk membuka daerah yang sama
tersebut dan mempersempit daerah yang berbeda.
Cara atau metode untuk
melangsungkan komunikasi dapat berpariasi sesuai dengan kerangka berfikir dan
pengalaman dari awal bicara kita (frame
of reference and field of experience), apakah dalam bentuk persuasive
(bujukan), coercive ‘paksaan’, pembicaraan satu atau dua arah (one way or two way communication).
Al-Qur’an telah memberikan beberapa isyarat tentang cara atau metode berkomunikasi tersebut yang
diantaranya sebagai berikut.
a. Qaulan
Layyian
Salah satu bentuk berkomunikasi
dengan menekankan pada sentuhan rasa. Kata layyin dapat diartikan sebagai
sesuatu yang menyentuh cita rasa atau sentuhan hati. Materi bicara diarahkan
pada hati nurani yang mendalam dan mencoba untuk menyentuh getaran hati lawan
bicara dengan pembicaraan yang lemah lembut. Pada saat posisi masing-masing
berada dalam sebagaimana Musa a.s. yang
berada pada posisi sangat percaya diri karena mengembang wahyu ilahi berhadapan
dengan Fir’aun yang percaya diri karena merasa selruh kekuasaan berada dalam
genggamannya, Musa a.s. melancarkan teknik komunikasi yang mampu menyentuh atau
menggetarkan hati Fir’aun, sebagaimana firman-Nya.
“Pergilah
kamu berdua kepada Fir’aun karena sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka,
berbicaralah kamu berdua dengan kata-kata yang lemah lembut (qaulan layyinan),
mudah-mudahan ia ingat dan takut.” (Thaaha: 43-44)
b. Qaulan
Balighan
Teknik komunikasi lain yang
diajarkan Al-Qur’an ialah ketika berhadapan dengan orang yang hatinya mendua
(munafik) atau mereka yang berada dalam keadaan bimbang. Hendaknya teknik yang
dilakukan adalah bentuk komunikasi yang mampu memberikan kesan yang mendalam
dan membuat lawan bicara tidak mampu memberikan argumentasi lain (baligh berarti tepat pada sasarannya
sehingga mad’u ‘lawan bicara tidak berkutik atau tidak lagi mampu menjawab)
sebagaimana firman-Nya,
“Mereka
itu adalah orang yang rahasia hatinya diketahui Allah. Karenanya, berpalinglah
kamu dari mereka dan berilah mereka pelajaran. Katakanlah kepada mereka
perkataan yang membekas di hati mereka. (qaulan balighan).” (an-Nissa: 63)
c. Qaulan
Maysuuraa
Metode berkomunikasi ketika
berhadapan dengan mereka yang berada dalam kondisi lemah atau berada dalam
kesulitan diajarkan Al-Qur’an adalah dengan memakai teknik gaya bicara gaya qaulan maysuuraa (berasal dari kata yusra yang artinya mudah sebagai antonim
dari kata kata ma’suura artinya
sulit).
Atasan yang merasakan kesulitan
anak buahnya akan memberikan jalan kemudahan dan memberikan penerangan yang
membuka mata hati serta member peneragan yang membuka mata hati serta
memberikan motivasibagi anak buahnya, sehingga mereka merasa bahwa atasannya
sangat peduli dengan dirinya (menjaga dan meningkatkan self esteem ‘harga
dirinya’). Qaulaan maysuura berarti komunikasi yang memberikan dorongan,
mengarahkan, dan mengembangkan kualitas diri sehingga mereka keluar dari
kesulitan dan terdorong untuk mengaktualisasikan dirinya secara optimal. Allah
berfirman,
“jika kamu berpaling dari meraka
untuk memperoleh rahmat dari tuhanya yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada
mereka ucapan yang pantas (qaulan maysuura).”(al-Israa’: 28)
Ayat tersebut didahului oleh
peringatan akan sikap seseorang yang boros. Bertindak mubazir, atau tidak
efisien dalam pelaksanaan tugasnya,
“Sesungguhnya, orang-orang yang
boros adalah saudara-saudara setan, dan adalah setan itu sangat ingkar kepada
Tuhannya.” (al-Israa’:27)
Dengan metode komunikasi qaulan
maysuura, setiap pimpinan harus mampu memberikan moticasi da mengarakan anak
buah untuk bekerja secara efektif danefisien. Juga menggugah mereka agar
menjauhi segala perbuatan mubazir.
D. qaulan kariima
Kariima mengandung arti
kemuliaan, kebajikan, dan keluhuran budi pekerti, sehingga yang dimaksudkan
dengan qaulan kariima berarti berkomunikasi dengan santun dan menunjukan sikap
kepedulian yang sangat terhadap lawan bicara. Komunikator (dai) memahami benar
lawan bicaranya (komunikan, mad’u)
berada dalam posisi yang harus dimuliakan. AL-Qur’an mengaitkan qaulan kariima
ini dalam konteks hubungan dengan orang tua yang secara spesifik diajarkan agar
kita tidak berbicara yang melukai hatinya, bahkan sikap melececehkan dengan
mengucap “ah” sangat dilarang dalam tatanan pergaulan dengan kedua orang
tuaatau mereka yang sudah berusia lanjut, sebagaimana firman-Nya.
“Tuhanmu telah memerintahkan
agartidak menyembah apapun kecuali dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada
ibu bapakmu dengan kedua-duanya sampai keduanya perkataan “ah”, danjanganlah
kamu membentak mereka. Ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (qaulan qarima).”
(al-Israa’:23)
e. qaulan sdiida
bentuk komunikasi lain yang
ditemukan di dalam AL-Qur’an adalah cara berkomunikasi yang disebut dengan
sadiida yang dapat diartikan sebagai bentuk pembicaraan yang benar dan mantap
(straight forwardness).
Bentuk komunikasi ini utamanya
ditujukan kepada generasi muda atau dalam lingkungan kerja kepada mereka yang
masih baru berada dalam lingkungan kerja (trainee). Mereka harus memperoleh
informasi yang benar sehingga mereka mampu menjadi kader-kader yang professional
di masa depan. Sebagaimana halnya Allah memberikan peringatan agar kita peduli
untuk mempersiapkan generasi yang tangguh,
“Hendaklah takut kepada allah
orang-orang yang sekiranya meninggalkan, anak-anak yang lemah di belakang
mereka yang mereka khawatir, maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mengucapkan perkataan yang benar (qaulan sadiida).”(an-Nisaa’: 9)
Kemampuannya berkomunikasi
dilandaskan pada sikap dirinyua yang memiliki sikap empati sebagai salah satu
bentuk keterampilan social yang sangat penting dalam dunia kerja. Kecakapan ini
meliputi kemampuan dirinya untuk memahami orang lain , mengindra perasaaan, dan
memahami perspektif orang lain, memberikan informasi yang jelas dan menunjukkan
minatnya yang besar terhadap kepentingan serta kesulitan orang lain. Mereka
memiliki sikap yang berorientasi kepada pelayanan, mengantisipasi mengakui, dan memenuhi kebutuhan pelanggan.
Dengan memampuan nya dorongan
atau motivasi untuk mengembangkan orang lain, mengindra kebutuhan orang lain,
berkembang dan meningkatkan kemampuan mereka. Bagi mereka, berkomunikasi
berarti pula sewaktu-waktu mampu untuk menempatkan dirinya sebagai pendengar
yang baik (good listener), karena mereka sadar bahwa dengan mendengar berarti
pula mampu menahan diri dan sekaligus memberikan kesempatan dirinya untuk
memahami orang lain dan memperoleh data lebih lengkap tanpa interupsi.
Dengan mendengar, mereka berupaya
untuk memahami orang lain, memperhatikan isyarat-isyarat emosi, dan
mendengarkannya dengan baik. Penelitian yang dilakukan departementenaga kerja
Amerika Serikat membuktikan bahwa hamper 55% waktu kerja dipakai untuk
mendengar, 22% untuk membaca dan menulis, dan 23% untuk bicara. Mereka yang
kurang menaruh perhatian terhadap orang lain, dengan cara mendengarkan atau
memberikan isyarat atentif , akan mendengarkan atau memberikan isyarat atentif,
akan menyebabkan keengganan orang lain untuk melanjutkan komunikasi. Howard
Friedman dan Robert DiMatteo dalam buku Impersonal
Issues in Health care (1982), mengatakan bahwapenelitian yang lain
mengungkapkan bahwa para dokter yang lebih peka untuk mengenal emosi pasien
lebih berhasil dalam penyembuhan si pasien ketimbang rekan sejawat yang kurang
peka.
Dengan sikap seperti ini ,
merekamampu mempengaruhi orang lain secara persuasife, simpatik, danselalu
memberikan kesan mendalam kepada orang lain sebagaimana diidentifikasikan oleh
David Coleman bahwa salah satu cirri seorang yang memiliki kecerdasan emosional
adalah sebagai berikut.
a. Memiliki pengaruh :menerapkan
taktik persuasi secara efektif.
b. Mampu berkomunikasi: mengirimkan
pesan secara jelas dan meyakinkan.
c. Manajemen konflik: merundingkan
dan menyelesaikan pendapat.
d. Kepeminpinan: menjadi pemandu dan
pemberi ilham.
e. Katalisator perubahan: mengawali,
mendorong, atau mengelola perubahan.
2.
kuat menghadapi tekanan
Mereka yang memiliki sifat tablig
adalah mereka yang mampu menghadapi tekaan (tolerance to stress). Sikap percaya
diri yang dilandaskan pada iman
menyebabkan segala bentuk tekanan tantangan yang akan membentuk kepribadian
dirinya menjadi lebih cemerlang. Justru mereka senang bekerja dalam tekanan
(working underpressure) yang akan menimbulkan kreativitas, dinamika, dan nilai
tambah bagi dirinya. Sebagaimana Allah berfirman,
“Janganlah kkamu bersikap lemah
dan bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya
jika kamu orang-orang yang beriman (Ali-Imran: 139)
Sikap tablig melahirkan
keyakinan, kekuatan, dan kesungguhan
untuk melahirkan hasil unjuk kerja yang bernilai tinggi (outstanding performance).
Mereka tidak gampang menyerah, tidak gampang patah, walaupun tentangan atau
tekanan menghadang setiap langkah pekerjaannya, karena mereka sangat yakin
bahwa nilai sebuah pekerjaan akan terasa semakin bermakna bila mereka mampu
mengatasi setiap tantangan atau kendala yang dihadapinya. Mereka sadar bahwa
untuk memperoleh mutiara dibutuhkan perjalanan yang panjang, menyelam jauh ke
dasar samudra. Tidak ada hasil yang gratis kecuali harus dia perjuangkan (no
freelunch for suck a things, no pain no gain, no dean no venture)
Dalam upaya menyampaikan
gagasannya sebagai hasil dari imajinasi kreatif yang mendorong dinamika kerja,
menyebabkan seorangyang memiliki jiwa tablig adalah sosok seorang yang tangguh.
Juga menjadi pekerjaan da kemampuan dirinya berkomunikasi merupakan refleksi
dari keterpanggilan hatinya, sehingga dia tidak mungkin menjadi beban bagi
orang lain, tidak pula merasa terhimpit jiwanya ketika menghadapitekanan
pekerjaan.
Mereka yang kuat menahan tekanan,
tampak pula dari cara dirinya menangani emosi dan orang lain sehingga caranya
berkomunikasi tetap jernih dan memberikan kesan. Hal ini sebagaimana
dikemukakan sepertiga responden ketika mereka ditanyatentang mitra efektif,
diperoleh jawaban bahwa yang termasuk dalam mendengarkan, mengajukanpertanyaan-pertanyaan
yang bijaksana, berwawasan terbuka, menggali saran-saran (18-283).
3.
kerja sama dan harmoni
Mereka yang memiliki sifat tablig
memiliki kemampuan bekerja sama sebagai bagian dari sikap kepemimpinannya.
Mereka melihat orang lain sebagai bagian dari jati dirinya sendiri dalam
pengertian bahwa dirinya hanya mungkin berkembang bersama dan karena kualitas
orang lain di sekitarnya.
Rasulullah saw. bersabda, “Maukah
kalian aku runjuki amal yang lebih besar pahalanya dari shalat dan puasa? “Para
sahabat menjawab, “Tentu saja.” Rasulullah berkata,
“Engkau damaikan orang-orang yang
bertengkar, menyambung tali persaudaraan yang terputus, mempertemukan
saudara-saudara yang berpisah, menjebatani berbagai kelompok dalam islam, dan
mengukuhkan ukhuwah di antara mereka adalah amal saleh yang besar pahalanya.
Barang siapa yang ingin di panjangkan umurnya dan di perbanyak rezekinya,
hendaklah menyambungkan tali silaturahmi.” (HR Bukhari dan Muslim)
Mereka mampu menangani emosi
orang lain, menghargai dan menyayangi orang lain sebagai bagian dari rasa
cintanya kepada Rasulullah saw..
“Tidak termasuk umatku orang yang
tidak menyayangi yang muda, menghormati yang tua, menyuruh kepada kemakfun, dan
mencegah kemungkaran.” (HR at-Tirmidzi dan ahmad)
Kemampuan bekerja sama tidak
dapat diwujudkan kecuali diawali dengan kemampuan untuk membuka diri dan
mengendalikan emosi diri sendiri. Pengendalian diri, tidak saja penting dalam
berkomunikasi secar efektif, tetapi juga menjadi prasyarat untuk berhubungan
dam berkerjasama dengan orang lain. Sebuah studi terhadap 130 orang eksekutif
dan manajer menemukan bukti bahwa kecerdasan orang menangani emosinya sendiri
menentukan seberapa besar orang mau berhubungan dengan mereka.
Mereka yang memiliki sifat
tablig, tidak saja mampu berkomunikasi dan berker jasama, tetapi juga cara
mereka berhubungan sangat menjunjung tinggi harmoni. Dalam kaitan ini, kita
dapat menyimak kebudayaan Jepang (wakon)
yang menerapkan parsitipatif manajemen dengan mengembangkan kerja sama kelompok
diatas semangat harmoni tersebut. Budaya bisnis Jepang adalah menjunjung tinggi
harmoni. Mereka menjunjung tinggi consensus sebagai cara terbaik menyelesaikan
berbagai masalah. Karena itu, berbagai konflik yang timbul diupayakan dapat
diselesaikan dengan cara “musyawarah mufakat”.
Orang Jepang memiliki in feeling group dan ikatan kelompok yang sangat kuat. Tanggung
jawab, kekompakan, kebanggaan, dan kohesivitas kelompok sangat kental, sehingga
setiap anggota senantiasa saling memperhatikan dan saling mendorong untuk maju
bersama.
Menurut A.V Khadis, dalam tradisi Jepang, seorang
pemimpin cenderung menempatkan dirinya bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai
bagiab dari kelompok. Lewat kontak pribadi, hubungan antara atasan dan bawahan
dapat dibangun secara lebih bergairah. Hideo Ogashi, Direktur Utama Sumito
Cooperation, menceritakan betapa pentingnya kontak pribadi. Kemajuan perusahaan
hanya dapat ditopamg oleh hubunga antara pribadi yang harmonis. Dia segan
keluar-masuk pintu-pintu berbagai perusahaan
di bagian-bagiannya. Dengan cara itu,teryata energi kolektif dapat
dibangun.
Di samping itu, semangat
manajemen jepang di landaskan pada konsep nemawashi
yang berarti mengikat akar, sehingga pengambilan keputusan dilakukan secara
partisipatif, bersifay kolektif dan konscnsus. Semangat nemawashi melahirkan dua
kata yang sangat penting yaitu ringeisei dan
ojoshungi. Ringeisei artinya
musyawarah mufakat berdasarkan komunikasi logis, sedangkan yang di maksud
dengan onjoshugi adalah komunikasi perasaan yang terwujud dalam hubungan
emosional yang kuat antara pimpinan dan bawahan. Semangat yang dimiliki mereka
seakan-akan bentuk aktual dari perintah allah
“dan bermusyawahlah diantara kamu
dengan baik.”(ath-thlaq:6)
“dan,bagi orang-orang yang
mengetahui seruan tuhannya dan mendirikan salat, sedang mereka memutuskan
perkara dengan musyawarah diantara mereka.”(asyuura:38)
E.
istigosah
Allah SWT berfirman,
“sesungguhnya orang-orang yang
mengangkatkan, tuhan kami adalah allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian
mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka.:(fushshilat:30)
“maka , tetaplah (istiqomah) kamu
dalam jalan yang benar,sebaimana diperintahkan ke padamu.”(huud:112)
Istiqomah diterjemahkan sebagai
bentuk kualitas batin yang melahirkan sikap konsisten (taat azas) dan teguh pendirian
untuk menegakkan dan membentuk lebih baik, sebagai mana taqwim merujuk pula pasa bentuk yang sempurna (qiwam),
“sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusi dalam bentuk yang sebaik-baiknya (takwim).” (at-Tiin:4)
Abu Aliad-Daqqaq
“Ada tiga derajat pengertian istiqomah, yaitu menegakan atau membentuk sesuatu
(taqwim), meyehatkan dan meluruskan (iqomah), dan berlaku lurus (istiqomah).
Taqwim meyangkut disiplin jiwa, iqomah berkaitan dengan peyempurnaan, dan
istiqomah berhubungan dengan tindakan mendekatkan diri kepada Allah.
Sikap istiqomah
menunjukan kekuatan iman yang merasuki sekuruh jiwanya, sehingga dia tidak
mudah goncang atu cepat meyerah pada tantangan atu tekanan. Mereka yng memiliki
jiwa istiqomah adalah tipe manusia yang merasakan ketenangan luar biasa
(iman,aman,muthmainah) walau penampakannya diluar bagaikan seorang yang
gelisah. Dia merasa tenteram karena apa yang dia lakukan merupakan rangkaian
ibadah sebai bukti mahbbah ‘cinta.’ Tidak ada rasa takut apalagi keraguan,
sebagai mana firman-Nya,
“janganlah kamu bersikap lemah
dan bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya
jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 139)
Kegelisahan yang dimaksud
janganlah ditafsirkan sebagai resah. Ia adalah metafora (tamsil) dari sikap
dinamis atau sebuah obsesi kerinduan untuk mengarahkan seluruh daya dan akal
budinya agar hasil pekerjaannya berakhir dengan baik dan sempurna (taqwim).
Dengan demikian, istiqomah bukanlah berarti sebuah
sikap yang jumud, tidak mau adanya perubahan (status quo), namun, sebuah
kondisi yang tetap konsisten menuju arah yang diyakininya dengan tetap tebuka (openminded) terhadap gagasan inovatif
yang akan menunjang atau memberikan kontribusi positif untuk pencapaian
tujuannya.
Mengomentari masalah ini, Dr.
Nurcholis Madjijd berkata, “Kesalahan itu timbul antara lain akibat persepsi
bahwa istiqomah mengandung makna yang statis. Memang istiqomah mengandung arti
kemantapan, tetapi tidak berarti kemandekan, namun lebih dekat kepada arti
stabilitas yang dinamis. Dapat dikiaskan dengan endaraan bermotor. Semakin
teknologi suatu mobil, semakin mampu dia melaju dengan cepat tanpa guncangan.
Maka, disebut mobil itu memiliki stabilitasatau istiqamah. Mobil disebut stabil
bukan pada saat berhenti, tetapi ketika melaju dengan cepat.
1.
Mereka
Mempunyai Tujuan
Sikap istiqamah hanya mungkin
merasuki jiwa seseorang bila mereka mempunyai tujuan atau ada sesuatu yang
ingin dicapai. Mereka mempunyai visi yang jelas dan dihatinya sebagai penuh
kebermaknaan. Merekapun sadar bahwa pencapaian tujuan tidaklah dating begitu
saja, melainkan harus diperjuangkan dengan penuh kesabaran, kebijakan,
kewaspadaan, dan perbuatan yang memberikan kebaikan semata, sebagaimana
firman-Nya,
“Katakanlah, Hai
hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu. Orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka
tanpa batas.” (az-Zumar: 10)
Dengan menetapkan tujuan (goal setting), mereka mampu merencanakan
setiap tindakannya serta mengelola asset dirinya agar lebih efisien dan efektif.
Dalam bidang pekerjaan, mereka menghayati benar apa yang menjadi batas tugas
dan tanggung jawab (job description)
dan bagaimana mereka harus berperan melaksanakan tugas-tugasnya tersebut. Ituah
sebabnya, mereka selalu melangkah dengan perencanaan dan pengelolaan waktu yang
benar dan efisien. Mereka tidak pernah menunda atau membengkalaikan
tugas-tugasnya karena merasa ada tengat waktu yang harus dikejar. Apabila
diabaikannya, akan menghambat bahkan menyimpang dari arah tindakan untuk
mencapai tujuan yang telah direncanakan.
Mereka membuat blueprint sebagai gambaran untuk
melangkah. Bagaikan seorang pilot atau nahkoda, sebelum menerbangkan
pesawatnya, setiap pilot pasti akan membuat semacam perencanaan pendahuluan,
membaca, dan membicarakan peta dihadapan navigator. Demikian pula dalam dunia
kerja dan kehidupan. Penetapan tujuan merupakan langkah yang paling menentukan.
Orang-orang yang memiliki sikap istiqamah tidak mungkin mengerjakan sesuatu
tanpa arah dan maksud, apalagi bekerja serabutan tanpa rencana yang benar. Hal
ini diperingatkan Allah dengan firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya, Allahmaha mengetahui apa yang kamu kerjaan.” (al-Hasyr: 18)
Ayat ini dengan gamblang
memperingatkan agar setiap muslim mempunyai arah dan visi yang jelas sebagai
pelabuhan hatinya dikemudian hari. Visi adalah gambaran atau kiblat kemana kita
mengarah dan sekaligus alas an utama (raison
d’etre) kenapa kita bertindak. Seseorang tidak mungkin memiliki sifat
istiqamah bila tidak memiliki arah atau visi. Di dalam perusahaan, bahkan
kehidupan bangsa sekalipun, dibutuhkan visi kolektif, yaitu keyakinan akan arah
dangambaran masa depan yang dijadikan komitmen secara bersama-sama. Visi
bukanlah sebuah mitos, melainkan sebuah keputusan atau pilihan yang didasarkan
kepada alas an-alasan dan nilai-nilai yang diyakini sebagai hal yang benar.
Dengan demikian, setiap istiqamah
akan tampak dari perilakunya yang senantiasa melakukan pekerjaan dengan tertib,
cermat, dan terarah, sebagaimana disampaikan al-Albani bahwa rasulullah
bersabda, “sesungguhnya Allah mencintai
seseorang yang jika melakukan suatu pekerjaan dilakukannya dengan cermat dan
sempurna.”
Dalam upaya mencapai tujuannya,
pada diri mereka ada semacam aksioma untuk memenuhi persyaratan 5-C, yaitu commitment, confidence, consistence,
consequence, dan creative.
Yang dimaksud dengan commitment (dari bahasa latin committere, to connect, entrus the state of
being obligated or emotionally impelled) adalah keyakinan yang mengikat
(akad) sedemikian kukuhnya, sehingga membelenggu seluruh hati nuraninya lalu
menggerakan perilaku menuju arah tertentu yang diyakini (I’tikad). Mereka tidak mungkin mengingkari atau menodai komitmennya
karena sikap pengingkaran bukanlah sikap ksatria (futuwwah, gentlemen), sebagaimana firman-Nya.
“Anganlah kamu sebagai seorang
wanita yang menguarikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai-berai
kembali.” (an-Nahl: 92)
Komitmen adalah prinsip yang
merupakan rumus atau aksipma yang menjadai periaku untuk menghasilkannya dalam
kehidupan nyata. Sejarah kehidupan telah membuktikan bahwa manusia-manusia yang
memiliki prinsip mampu menampilka dirinya sebagai pemenang, karena dengan
prinsip itu, mereka memperoleh kekuatannya yang dahsyat.
Dalam kaitan ini, kiranya tepat
bila diingat dan diresapkan sabda Rasulullah saw.,
“Mukmin yang kuat lebih baik dan
lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR Muslim)
Mukmin yang kuat dan yang lemah
memiliki kebaikannya masing-masing. Maka, berambisilah mengerjakan sesuatu yang
bermanfaat, memohon pertolonagn Allah, dan “jangan patah semangat”.”
Komitmen adalah tiang panca
sebuah bangunan yang sangat kokoh, sehingga mampu menahan beban dan guncangan
gempa bumi sekalipun. Mereka yang memiliki jiwa istiqamah mampu melaksanakan
tugas dibawah tekanan (under pressure),
dan mengndalikan kendaa dengan pemimpin dingin (emotional stability
). Setiap tugas adalah komitmen
diri yang dilaksanakannya dengan penuh gairah (enthuseiasm) dan tidak takut untuk gagal maupun harus berkorban
demi pencapaian tujuannya.
Penelitian menunjukkan bahwa
pegawai yang memiliki komitmen tinggi kepada perusahaan merupakan orang yang paling
rendah tingkat stresnya pada lingkungan pada saat menekan pekerjaan mereka
dengan khas. Dilaporkan bahwa mereka yang berkomitmen itu merupakan orang yang
paling merasakan kepuasan dari pekerjaannya itu.
Daniel Goleman, penulis buku
laris working with emotional intelegence,
melaporkan hasil penelitiannya, “Orang yang berkomitmen adalah para warga
perusahan teladan. Mereka bersedia menempuh perjalanan yang lebih panjang.
Seperti kerikil yang dilontarkan ketengah kolam, karyawan yang berkomitmen
tersebut menyebarkan riak-riak perasaan kebahagiaannya ke seluruh lingkungan
perusahaan. Komitmennya yang sangat tinggi memungkinkan dirinya berjuang keras
menghadapi tantangan dan tekanan yang bagi orang tak berkomitmen dirasakannya
sebagai beban berat dan menimbulkan stress. Para karyawan yang emandang dtungan
mereka sendirinya sebagai tamu, bukannya sebagai warga perusahaan, hampir tidak
menunjukkan komitmen pada perusahaan.
Sikap yang sama sering kita
temukan di kalangan karyawan yang mungkin telah bertahun-tahun bekerja, tetapi
merasa tidak diperhatikan dan tidak diikut sertakan dalam pengambilan keputusan
yang berdampak pada pekerjaan mereka. Orang-orang yang tidak puas ini paling
mungkin menggunakan sumberdaya perusahaan hanya untuk keuntungan mereka sendiri.
Kaum oportunis diantara mereka memandang jabatan yang sekarang sebagai batu
loncatan untuk pindah ke tempat lain. Mereka merasa tidak diacuhkan bahkan
tidak tertarik untuk naik. Sebaliknya, ketidakpuasan mereka mewujud dalam
bentuk sikap yang tidak menunjukkan integritas, misalnya memalsukan biaya
kesehatan atau mencuri alat tulis kantor.”
Goldman mengidentifikasikan
ciri-ciri orang yang berkomitmen sebagai berikut.
a.
Siap
berkorban demi pemenuhan sasaran perusahaan yang lebih penting.
b.
Merasakan
dorongan semangat dalam misi yang lebih besar.
c.
Menggunakan
nilai-nilai kelompok dalam pengambilan keputusan dan penjabaran
pilihan-pilihan.
d.
Aktif
mencari peluang guna memenuhi misi kelompok unit.
Selanjutnya, dalam mencapai dan
menapaki arah tujuannya, mereka memiliki sikap konsisten (dari bahasa latin consistere, harmony of conduct or practice
withprofessionability to be
assertedtogether without contradiction),
yaitu kemempuan untuk bersikap secara taat azas, pantang menyerah, dan
mampu mempertahankan prinsip serta komitmennya walau harus berhadapan dengan
risiko yang membahayakan dirinya sekalipun. Mereka mampu mengendalikan diri dan
mengelola emosinya secara efektif. Mereka tetap teguh pada komitmen, positif
dan tidak rapuh kendati berhadapan dengan situasi yang menekan. Sikap konsisten
telah melahirkan kepercayaan diri yang kuat dan memiliki integritas serta mampu
mengelola stress dengan tetap penuh gairah.
Dari sebuah penelitian, ditemukan
bahwa mereka yang mampu mengelola stress dengan tabah dan keuletan, memandang
tekanan bukan sebagai beban melainkan tantangan yang menyenangkan, dan
memandang perubahan sebagai kesempatan untuk berkembang, ternyata lebih mampu
mengatasi kesulitan, lebih adaptif dan berhasil. Mereka berhati-hati dalam
mengelola pekerjaan dan penuh tanggung jawab memenuhi kewajibannya. Mereka yang
berjiwa istiqamah, mata hati dan profesinya yang akan diraih (achievements) sehingga mampu
menyesuaikan diri dalam situasi yang menantang. Merekapun mempunyai daya adaptabilitas atau keluwesan untuk
menerima inovasi atau gagasan baru. Daya adaptabilitasnya sangat luwes dalam
cara dirinya menangani berbagai perubahan yang menekan. Karena sikapnya yang
konsisten itu pula mereka tidak tertutup pada gagasan-gagasan baru yang
bersifat inovatif.
Ciri lain dari sifat istiqamah
adalah keberaniannya menerima “konsekuensi” dari keputusannya. Bagi mereka,
hidup adalah pilihan (life is choice)
dan setiap pilihan merupakan tanggung jawab pribadinya. Mereka tidak mungkin
menyalahkan pihak manapun karena pada akhirnya semua pilihan ditetapkan oleh
dirinya sendiri. Rasa tanggung jawabnya mendorong perilakunya bergerak dinamis,
seakan di dalam dadanya ada “nyala api”.
Rasa itu merupakan sebuah motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan dan menjaga
apa yang telah menjadi keputusan atau pilihannya. Orang yang konsekuen,
mempunyai kemampuan untuk melakukan pengendalian dan mengelola emosinya menjadi
daya penggerak positif untuk tetap semangat menapaki keyakinannya.
Kata harfiah motid dan emosi mempunyai
akar kata sama dari bahasa latin, movere ‘menggerakkan’.
Emosi, secara harfiah, berarti yang menggerakkan kita untuk meraih sasaran.
Emosi menjadi bahan bakar untuk motivasi kita, yang pada gilirannya
menggerakkan persepsi dan membentuk tindakan-tindakan kita. Karya besar dimulai
dari perusahaan yang bergelora.
Kecerdasan pengendalian dan
pengelolaan emosi disebut sebagai sabar. Sebagaimana peribahasa Arab, “Man shabara zhafara ‘barang siapa yang bersabar pasti akan
menang’”. Al-Qur’an memuji orang –orang sabar dan dijanjikan-Nya pahala tanpa
perhitungan (az-Zumar: 10). Bahkan, mereka mendapatkan shalawat khusus dari
Allah dan para malaikat (al-Baqarah: 174).
Tidak hanya itu! Mereka yang
mampu mengendalikan diri atau disebut sebagai orang-orang yang sabar itu,
menunjuk pada kualitas yang dapat mengalahkan orang-orang yang tidak mempunyai
kecerdasan emosional. Allah berfirman,
“Hai nabi, kabarkanlah semangat
para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara
kamu, niscvaya mereka akan mengalahkan dua ratus orang musuh. Jika kamu seratus
orang yang sabar diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir,
disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (al-Anfal : 65)
Karyawan yang memiliki sifat
istiqomah merupakan asset sumber daya isani yang paling berharga karena
kualitasnya memresentasikan sepuluh kali lipat di bandingkan dengan orang-orang
yang tidak mempunyai jiwa istiqomah.
Orang yang percaya diri tampil
bagaikan lampu yang benderan, memancarkan raut wajah yang cerah dan
berkharisma. Orang yang berda di sekitarnya merasa tercerahkan, optimis,
tenteram, dan muthmainah. Penelitian Boyatzis membbuktikan bahwa penyelia,
manager, dan eksekutif yang percaya diri lebnih berprestasi dari orang yang
biasa-biasa saja.
Dengan demikian, percaya diri,
konsistensi, komitmen, dan tanggung jawab untuk meraih prestasi adalh rumus
hidup yang tidak bias di gugat (condition
sine quanon), sebagaimana Allah berfirman,
“Janganlah kamu bersikap lemah,
dan janganlah kamu bersedih hati. Padahal, kamulah orang-orang yang paling
tinggi derajatnya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ali Imron : 139)
Percaya diri melahirkan kekuatan,
keberanian, dan tegas dalam bersikap, yakni berani mengambil keputusan yang
sulit walaupun harus membawa konsekuensi berupa tantangan atau penolakan. Sia
bukan manusia kardus yang segera rapuh karena terpaan air. Orang yang percaya
diri, tangkas mengambil keputusan tanpa tampak arogan atau defensive. Mereka
teguh mempertahankan pendiriannya.
Lee Laocca mampu membangun
kembali Chrysler dari puing-puing kehancurannya dikarenakan adannya sikap
percaya diri yang memberikan aspirasi dan kekuatanuntuk melangkah dan mengambil
keputusan dengan tepat. Dia berkata, “Kalau saya harus mengungkapkan dengan
sepatah kata kualitas-kualitas yang menjadikan seorang manager baik, saya akan
mengatakan bahwa itu adalah ketegasan! Pada akhirnya, anda harus menyatakan
semua informasi, menetapkan jadwal, dan bertindak.”
2.
Mereka Adalah Oprang Yang Kreatif
Orang yang mewmiliki sikap
istiqomah dari kreatifitasnya, yaitu kemampuan untuk menghasilkan sesuatu
melalui gagasan-gagasannya yang segar. Mereka mampu melakukan deteksi dini
terhadap permasalahan yang dihadapinya, haus akan informasi, dan mempunyai rasa
ingin tahu yang sangat besar (coriousity)
serta tidak takut pada kegagalan . bukanlah kegagalan yang sangat menakutkan
dirinya, melainkan kemalasannya untuk mencoba. Kemampuan untuk melakukan
deteksi dini terhadap kemungkinan adanya penyimpangan, kekurngan informasi, dan
kehilangan hubungan.
Termasuk cara dan cirri
orang-orang yang kreatif adalah mereka selalu ingin mencoba metode dan gagasan
baru, sehingga diharapkan hasil kinerjannya dapat dilaksanakan secara efisien
dan efektif.seorang yang kreatif bekerja dengan informasi dan data lalu
mengolahnya sedemikian rupa sehingga memberikan hasil atau manfaat yang besar.
Hal ini sebagaimana ayat pertama (iqra)
yang diterima Rosulullah saw. Yang artinya tidak hanya dalam pengertian
membaca, tetapi juga mengumpulkan dan merangkum data menjadi satu arti. Bahkan,
kegiatan membaca juga sebuah proses pengumpulan dan penyusunan huruf-huruf
sehingga menjadi satu kata atau kalimat yang berarti.
Hidup bagaikan kanvas lukisan
yang mendorong dan memanggil nuraninya untuk melukiskan gambar-gambar yang
paling indah. Setiap hari adalah sebuah kegairahan untuk menjadikan dirinya
memetik manfaat. Rosulullah bersabda, “sesungguhnya
pada hari-harimu, Allah memiliki karunia, maka berusahalah untuk
mendapatkannya.”
Tentang kreatifitas ini, toorance
mendefinisikannya sebagai sebuah proses dari beberapa kemampuan.
a.
Merasakan
berbagai kesulitan, masalah, jurang informasi kekurangan data, dan sesuatu yang
harus diperiksa (sensing difficulties,
problems, gaps in information, missing elements, and something asked).
b.
Kemampuan
memformulasikan hipotesis atau konsep (making
guesses and formulating hypoteheses about these deficiencies).
c.
Kemampuan
melakukan penilaian dan pengujian (evaluating
and testing these guesses and hypotheses).
d.
Kemampuan
untuk melakukan perubahan dan uji ulang (possibly
revising and retesting them)
e.
Kemampuan
untuk mengomunikasikan hal yang di capai (communicating
the result).
Kemampuan dini untuk merasakan
permasalahan, kesenjangan informasi, dan sesuatu yang dianggap menyimpang dari
standar. Mampu membuat formulasi dan rencana-rencana untuk mengatasi
penyimpangan dan melakukan pembuktian serta penilaian secara objektif dan
bertanggung jawab. Mereka juga termasuk tipe orang-orang proaktif dan spontan,
memberikan respons secara positif terhadap lingkungan kerjanya, serta penuh
antuisme dan terbuka.
Kesadaran mereka terhadap berbagi
hal sangat kuat, karena mereka sadar bahwa lebih banyak informasi akan
mendorong dirinya lebih adaptif (kemampuan menyesuaikan diri) dengan segala
gagasan dan tantangan baru. Sebuah studi di Amerika Serikat terhadap hampir dua
ribu penyelia, manager, dan eksekutif di perusahaan-perusahannya Amerika
menunjukkan eratnya kaitan antara kurangnya spntanitas dan rendahnya kinerja.
Goleman merangkum ciri-ciri
orang-orang yang kreatif, atau disebutnya sebagai star performer, memiliki beberapa ciri penting sebagai berikut.
a.
Kuatnya
motivasi untuk berprestasi, sangat bergairah untuk meningkatkan dan memenuhi
standar keunggulan, menetapkan sasaran yang menantang dan berani mengambil
resiko yang diperhitungkan, mencari informasi sebanyak-banyaknya guna
mengurangi ketidakpastian dan mencari jalan yang terbaik, dan tekun belajar
untuk meningkatkan kinerja mereka.
b.
Komitmen,
setia kepada visi merupakan sasaran perusahaan atau kelompok.
c.
Initiatif
dan optimism merupakan kedua kembar yan menggerakkan orang untuk menangkap
peluang dan membuat mereka menerima kegagalan dan rintangan sebagai awal
keberhasilan. Orang dengan kecakapan kembar seperti ini mempunyai kekuatan
berinisiatif, siap memanfaatkan peluang, mengejar sasaran lebih dari pada yang
di persayaratkan, serta senang mengajak orang lain melakukan sesuatu yang tidak
lazim dan bernuansa penuh tantangan. Mereka yang optimis menunjukkan sikap yang
tekunbekerja dengan harapan untuk sukses bukannya takut gagal, dan memandang
kegagala atau kemunduran sebagai kendala yang dapat di kendalika ketimbang
sebagai kekurangan pribadi.
3.
Mereka Sangat Menghargai Waktu
Waktu adalah asset ilahiah yang
paling berharga, bahkan merupakan kehidupan itu yang tidak dapat disia-siakan.
Sungguh benar apa yang di firmankan allah agar kita memperhatikan waktu (‘ashar’). Rasululloh saw. Bersabda,
“jangan mencerca waktu karena
Allah pemiliki waktu” (HR. Ahmad)
Di samping itu menunjukkan waktu
ketika matahari telah melampaui pertengahan atau menuju ke magrib, kata ‘ashar berasal dari kata ‘ashara yang artinya
‘memeras sesuatu sehingga tidak ada lagi yang tersisa dari benda yang dip eras
tersebut’. Hal ini sebagaimana terdapat dalam surah Yusuf ayat 36 dan 49.
Selain itu, angin yang sangat
kencang sehingga memporakporandakan segala sesuatu disebut sebagai I’shar. Begitu pula dengan awan yang
mengandung butir air lalu menurunkan hujan. Awan seperti itu disebut sebagai al-mu’shirat sebagaimana disebutkan dalam
surah An-Naba ayat 14.
a.
Tanggung
jawab dan disiplin
Sikap disiplin dengan menjadikan
waktu sebagai salah satu parameter (tolak ukur) menyebabkan mereka yang
memiliki kecerdasan ruhaniah dan etos kerja yang mengilahi itu, akan
menunjukkan sikapnya yang bertanggungjawab, yaitu dengan penuh rasa waspada dan
hati-hati.
Mereka sadar bahwa harga dirinya merasa terhina bila dia
tidak menepati janji. Doa- doanya dirasakan tiak akan mendapatkan approval ‘makbul’ bila dia telah
mengingkari janji atau tidak menepati waktu. Karena, salah satu tanda orang
munafik adalah sikapnya yang mengingkari komitmen, termasuk mengingkari janji
yang salah satunya di ukur melalui waktu tersebut.
b.
Tidak
menunda-nunda waktu
Mereka
yang mempunyai kecerdasan ruhaniah dank arena rasa tanggung jawabnya yang
mengilahi itu, tidak mungkin menyia-nyiakan waktu, membengkalaikan pekerjaan,
dan menumpuk-numpuk tugas. Kata ‘ashar
yang berarti memeras sampai kering dia terjemahkan dalam bentuk yang nyata (workable), sehingga pada hari menjelang senja seluruh
pekerjaan dan tugasnya telah dia “peras” sehingga tidak ada lagi pekerjaan yang
tertunda (pending job).
Lebih
dari itu, semangat untuk tepat waktu menerangi seluruh qolbunya. Hal itu karena
dia sadar bahwa waktu adalah milik Allah dan setiap Sang Pemilik bias saja
mengambil haknya miliknya, sedangkanmereka akan menjadikan waktu sebagai
lapangan untuk berbuat kebaikan (al-birru) sebanyak-banyaknya karena
suatu saat hak pakai akan segera di cabut oleh sang pemilik waktu.
Dengan
demikian, mereka yang cerdas secara ruhaniah itu selalu memandang atau
mempunyai visi jangka panjang (kebahagiaan di kampong akhirat, long
term planning), tetapi dia
terjemahkan dalam bentuk tindakan jangka pendek (kebahagiaan di dunia, short term planning), sebagaimana firman
Allah telah menelusup di hati sanubariya,
“Carilah
pada apa yang telah di anugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi. Berbuat
baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.
Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya, allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (al-Qoshash : 77)
Di
riwayatkan oleh bukhori dan muslim dari Anas bin Malik bahwa suatu ketika
rosulullah saw. Berjumpa dengan seorang wanita yang sedang menangis di hadapan
sebuah kuburan Nabi saw. Menegur wanita tersebut, yang kebetulan tidak
mengetahui nabi, Ia menjawab, “pergilah! Jangan engkau campuri urusanku. Engkau
tidak tahu kepedihan yang menimpaku.”
Setelah
di beri tahu bahwa yang menegurnya adalah Nabi saw, wanita itu merasa menyesal
dan segera menemui beliau untuk meminta maaf. Kemudian, Nabi saw. Bersabda, “Hakikat kesabaran dinilai pada saat pertama
datangnya musibah”. Adapun yang dimaksudkan bukanlah harus menunggu setelah
musibah itu berlalu.
Dengan
demikian, sabar merupakan suasana batin yang tetap tabah, istiqomah pada awal
dan akhir ketika menghadapi tantangan, dan mengemban tugas dengan hati yang
tabah dan optimis, sehingga dalam jiwa orang yang sabar tersebut terkandung
beberapa hal yang di antaranya sebagai berikut.
1.
Menerima
dan menghadapi tantangan dengan tetap konsisten dan berpengharapan. Mereka
memandang tekanan dalam tugas-tugasnya sebagai kesempatan untuk meningkatkan
kualitas dirinya, sehingga mereka sangat kuat menghadapi beban tugas (tolerance to stress), karena mereka
yakin Allah tidak akan memberikan beban di luar kemampuannya.
2.
Mereka
tetap mampu mengendalikan dirinya dan mampu melihat sesuatu dalam perspektif
yang luas. Tidak hanya melihat apa yang tampak, tetapi melihat sesuatu dalam
kaitannya dengan yang lain.
Stress
Dan Kepemimpinan
A.
Stress
dan penyebabnya
Stress
adalah gejala ketidaknyamanan emosi yang berupa tekanan yang dalam bekerja di
hubungkan dengan rasa frustasi, cemas atau tekanan terhadap keamanan dan
kepercayaan diri. Stress sekarang telah menjadi semacam penyakit yang menempati
urutan ke enam (enam) yang menyebabkan kematian. Stress merupakan
penyakit-penyakit manusia modern yang bukan hanya menyerang pada mereka dengan
kondisi social ekonomi yang mapan (kaya) tapi juga mereka yang tingkat sosial
ekonomi yang rendah (miskin). Bila stress tdak di kelola dengan baiktidak
mustahil stress iinlah yang menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit lain
seperti maag, jantung, tekanan darah tinggi, lever, dan penyakit lainnya. Sudah
banyak para pejabat dan juga pemimpin yang secara tiba-tiba jatuh sakit dengan
salah satu penyebabnya adalah stress, bahkan berakhir dengan kematian.
Mengapa
stress bias menyebabkan kematian? Secara prinsip bila seseorang mengalami
stress maka tekanan darahya berubah yang biasanya menjadi cenderung lewbih
tinggi, sirkulasi darah tentu menjadi tidak normal dan hal inilah yang
menyebabkan organ seperti jantung, hati, pemimpin, ginjal menjadi terpengaruh.
Bagi mereka yang sebelumnya organ tubuh tersebut sudah pernah terganggu tentu
saja akan menyebabkan sakit yang serius. Sebuah anekdot mengenai penyakit ini
adalah apa yang di kenal dengan 3S, tiga es tersebut adalah stress, struk, dan
stop yang artinya bila seseorang kena stress biasannya menjurus ke struk dan
bila struknya sudah parah akan mengakibatkan stop (meninggal).
Pemimpin
sebagai pejabat fungsional bias juga terkena stress. Beberapa penelitian yang
di lakukan di Australia dan Amerika telah menghasilkan penyebab-penyebab stress
dari stress yang di alami oleh pemimpin yang di antarannya adalah :
1.
Konflik
Konflik
yang terjadi di bias terbentuk konflik vertical antara pemimpin dengan atasan
serta konflik horizontal yang terjadi antara pemimpin dengan bawahan (pemimpin
dan staff). Bila konflik ini tidak bisa di kelola dengan baik maka mustahil
akan menyebabkan pemimpin menjadi frustasi yang menyebabkan stress.
2. Beban peran
Jabatan
pemimpin menuntut berbagai peran yang hrus di lakukan. Dia harus berperan
banyak dalam mengelola organisasiny. Peranan menuntut tanggung jawab, dan
tanggung jawab akan menjadi beban yang harus dipikul oleh pemimpin. Sebagai
ilustrasi dapat digambarkan bagaimana repotnya pemipin bila menghadapi nasional
yang dilakuka tiap tahun yang menuntut tanggung jawab terhadap keberhasilan
organisasinya, apalagi bila atasan menekan agar kegiatan harus berhasil.
Situasi dan kondisi inilah yang memicu terjadinya stress yang dialami oleh
pemimpin.
3.
Pengambilan
keputusan
Pengambilan
keputusan (decision making) bukan
sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Sebuah keputusan yang diambil pemimpin akan berdampak yang negatiflah yang
akan menyebabkan stress para pemimpin. Untuk itulah perlunya pemimpin harus
bertindak hati-hati dalam mengambil keputusan. Langkah-langkah dalam mengambil
keputusan seperti menyadari adanya masalah, mempelajari penyebab terjadinya
masalah, mengkaji situasi dan kondisi terjadinya masalah, mencari
alternatice-alternatif pemecahan masalah, mengecaluasi serta melakukan tindak
lanjut.
4.
Beban
kerja dan moral
Sejumlah
pekerjaan harus dilakukan pemimpin dari mulai dari kantor bahkan bukan hanya
dikantor tetapi juga ada pekerjaan yang harus dilakukan dirumah. Menjelang
ujian nasional misalnya volume pekerjaan pemimpin (kepala sekolah) meningkat
drastis seperti pekerjaan administratif. Pekerjaan yang banyak mengeluarkan
tenaga misalnya mengikuti rapat-rapat dinas yang biasanya dilakukan di tempat
atau kantor yang lokasinya dari tempat tinggal. Tentu saja pemimpin harus
mengeluarkan tenaga dan biaya transfortasi
yang tidak sedikit. Bagi pemimpin beban kerja yang berlebihan (over
load) ini sangat mempengaruhi kondisi fisiknya apalagi bila sudah berumur lebih
dari 50 tahun. Kelelahan fisik sering memnyebabkan sterss, bila kurang
istirahat. Hal ini bisa dipahami sebab pemimpin wanita yang juga ibu rumah
tangga yang punya kewajiban di rumah yang tidak sedikit yaitu mengurus suami
dan anak-anak.
Beban
moral juga bisa menyebabkan stress. Banyak hal yang menyangkut moral yang
menjadi beban bagi pemimpin. Instruksi dari pihak atasan yang berlatar dengan
kaidah moral seperti penekanan agar pemimpin (contoh kepala sekolah) berbuat
curang dalam membantu siswa agar lulus dalam ujian nasional merupakan beban
moral yang berat karena di satu poihak dia adalah bawahan yang dituntut loyal
kepada atasan, di lain pihak sebagai orang yang beragama dia takut dengan hukun
Tuhan. Hal inilahyang menjadi penyebab perang dalam batinnya yang akan
mendorong terjadinya stress. Beban moral lainnya adalah perilaku menyimpang
dari bawahan baik pemimpin
5.
Beban kehidupan rumah tangga
Beban
kehidupan saat ini dirasakan beratambah berat. Beban ekonomi rumah tangga
misalnya merupakan beban yang sulit untuk dipecahkan mengingat kesejahteraan
kaun pendidikan seperti (guru) danpemimpin saat ini masih dari harapan. Gaji
serta tunjangan lainnya yang diterima tiap bulan pada umumnya masih belum
memadai apalagi bila pemimpin tersebut mempunyai banyak anak dan biaya yang
dirasakan berat tetapi sangat perluialah biaya pendidikan anak di perguruan
tinggi. Perhatian pemerintahan dengan lahirnya undang-undang tentang guru dan
dosen di sampinmg memberikan harapan akan adanya penghargaan yang layak bagi
kaum pendidikan, di lain pihak membawa dampak akan perlunya guru dan pemimpun
(kepala sekolah) mempunyai sertifikat professional yang merupakan salah satu
sarat bertambahnya penghasilan.
Kondisi
rumahy tangga yang jugha bisa menimbulkan stress adalah konflik peranan antara
suami dan istri. Salah satu iolustrasi adalah banyaknya pemimpin yang mempunyai
istri yang berpenghasilan lebih tinggi dari suami. Secarabudaya masalah
–masalah materi ini paling tidak akan mempengaruhi peran suami yang biasanya
harus lebih dominan terutama dalam penghasilan dari istri. Sebuah suvey yang
dilakukan di sebuah kantor pemerintah membuktikan bahwa 65% suami dengan istri
berperan lebih tinggi baik dalam jabatan maupun penghasilan membuktikan bahwa
mereka kurang bahagia dalam berumah tangga dengan salah satu akibatnya adalah
berkurang pelayanan kepada suami, mengingat kesibukan sang istri dalam berbagai
kegiatan kantor dan organisasi. Kadang sang suami merasa disepelekan serta
kurang dihargai oleh istrinya sehingga dianggap hanya pelengkap penderita dalam
rumah.
Sebaliknya
adalah bila suami yang mempunyai kedudukan penting, terlalu sibuk dengan
pekerjaannya sehingga sang istri yang bila kebetulkan sebagai wanita karier
merasa kurang diperhatikan. Kurangnya perhatian ini bisa menyebabkan sang istri
menjadi tersinggung dan sering marah-marah hingga menyebabkan suamimenjadi
kurang tenang dan hal ini bisa mendorong terjadinya stress. Kondisi lainnya
adalah perilaku anak-anak serta tuntutannya yang harus dipenuhi oleh orang tua
sedangkan kemampuan ekonomi rumah tangga sangat terbatas, sehingga hal ini bisa
menyebabkan stress juga.
6.
Manajemen Skill tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan
Prinsip
“the right man on the right place” di lingkungan organisasi terutama dalam
lingkungan birokrasi lambat dilakukan. Orang yang punya kompetensi dalam bidang
tertentu untuk menduduki jabatan tertentu kadang-kadang terkontaminasi dengan
budaya kolusi dan nepotisme. Sebagai akibatnya banyak pejabat yang terpaksa
bekerja dalam jabatan tertentu yang tidak sesuai tuntutan pekerjaan yang
memerlukan kopetensi tinggi tentunya akan memberikan tekanan pada jabatan
tersebut, apalagi pada saat sekarang bukan hanya tuntutan untuk bekerja dengan
baik tapi juga ancaman yang datang dari pihak luar dan atau pihak dalam. Dengan
demikian adalah wajar bila tuntutan, tekanan, dan ancaman tersebut bisa
mengakibatkan stress terhadap seseorang.
Tuntutan
terhadap pemimpin sebagai seorang pemimpin sangat banyak, disamping tekanan
serta ancaman yang terasa maupun tidak terasa saat ini sedang menimpa pemimpin
lebih banyak tuntutan, tekanan, sertra ancaman yang harus dihadapi oleh
pemimpin hingga tiba-tiba menderita sakit yang cukup serius, padahal sebelum
jadi pemimpin dia tidak pernah mengalami sakit tersebut. Tentu saja keadaan ini
akan sangat mengganggu organisasi dan akan memperlambat selesainya
pekerjaan-pekerjaannya yang harus dilakukan oleh pemimpin.
Dari
berbagai pengalaman dapat dijadikan salah satu indikator bahwa keahlian atau
kompetensi suatu bidang pekerjaan yang diperolea pemimpin bukan hanya dapat
menunjang terhadap lancarnya pekerjaan yang dilakukan, tetapi juga dapat
menghilangkan stress . pemimpin yang dipersiapkan dengan pola recruitment atau
penjaringan yang memakai standar, pelatihan yang diberikan dengan kurikulum
yang tepat, serta bimbingan dan pembinaan yang terus menerus yangn dia peroleh
dari pihak yang berkompeten paling tidak akan kinerja pemimpin. Pemimpin yang
kompeten dan terlatih dalam memecahkan masalah-masalah dalam akan cepat
melaksanakan berbagai tuntutan pekerjaan. Lancarnya tugas-tugas yang harus
dipikul oleh pemimpin akan menenangkan hati dan pikiran pemimpin dan tentu saja
situasi yang demikian yang diharapkan.
B.
Penanggulangan Stress
Bagai
mana menanggulangi stress? Upaya mengatasi stress bila menimpa diri kita dapat
dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Manajemen Waktu
Walau yang diperlukan untuk
mengerjakan, baik pekerjaan rutin maupun pekerjaan tambahan diluar kantor pasti
sangat padat. Pembagian waktu menjadi amat penting agar semua pekerjaan bisa
diselesaikan tepat waktu. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah jangan
sekali-kali menunda pekerjaan, karena akan berdampak makin menumpuknya
pekerjaan. Beban berupa pekerjaan yang belum dapat diselesaikan akan
menimbulkan pikiran dan tidak mustahil akan mustahil akan menyebabkan stress
karena bisa saja pihak-pihak lain seperti atasan, konsumen, dan stakeholder
lainnya menekan dan pemimpin atas hasil kerja atau pelayanan yang mereka
harapkan.
2. Manajemen Kebutuhan Pribadi
Kebutuhan dan keperluan manusia
sangat banyak dan kian hari kian bertambah sedangkan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut sangat
terbatas. Peribahasa sangat besar pasak dari pada tiang harus menjadi pedoman
dalam memenuhi kebutuhan hidup. Perilaku konsumtif memang sekarang sedang
menggejala di masyarakat kita yang salah
satu penyebabnya adalah tayangan-tayangan media masa terutama televisi yang tidak mendidik orang untuk hidup hemat. Salah satu penyakit manusia
modern saat ini adalah “memoralibia” yang artinya gemar berbelanja (shopping)
kesuper market atau super mall yang kian menjamur di kota-kota. Sebaiknya
membuat urutan prioritas atas kebutuhan pribadi mana yang perlu didahulukan dan
mana yang perlu ditunda.
3. Olah Raga
Olah raga baik yang ringan berupa
senam atau yang cukup berat seperti main tenis dan bulu tangkis besar mamfatnya
baik bagi kesehatan tubuh maupun untuk
mengatasi stress. Olah raga akan memberi dampak lenturnya oto-otot, terbuangnya
garam dalam tubuh melalui keringat , lancarnya pencernaan, serta meningkatkan
daya tahan tubuh terhadap penyakit.
Namun juga harus diingat agar kegiatan
olah raga disesuaikan dengan fisik serta usia, agar tidak berdampak buruk. Olah
raga yang murah dan tidak banyak mengeluarkan
biaya adalah jalan kaki, senam dan jogging di pagi hari sambil menghirup
udara segar.
4. Gizi yang Seimbang
Pengaruh gizi bagi kesehatan
tumbuh sangat kuat. Tubuh perlu gizi yang seimbang dalam arti karbohidrat ,
lemak, serta sayur-sayuran harus dikonsumsi dengan seimbang. Nutrisi yang
seimbang akan menjamin terhindarnya dari penyakit-penyakit yang disebabkan
kelebihan zat-zat dalam tubuh seperti glukaosa (gula), kolesterol (bagian dari
lemak), serta garam akan menyebabkan timbulnya penyakit tekanan darah tinggi,
vertigo, serta penyakit lainnya yang cenderung berbahaya bila diderita oleh
orang dengan usia lanjut. Ada baiknya bila pemimpin tidak membiasakan mengisap
rokok karena akan lebih mengganggu kesehatan, penelitian membuktikan bahwa
nicotine dari rokok dapat menyebabkan 44 macam penyakit yang mengancam si
perokok seperti: penyakit paru-paru, tekanan darah tinggi, kanker, jantung,
serta penyakit lainnya. Pendapat bahwa merokok dapat menghilangkan stress
adalah pendapat yang keliru, justru orang yang merokok menunjukan bahwa dia itu
sedang emosional. Agama islam bahkan menggolongkan rokok kepada “makruh” yang
artinya diperbolehkan tapi bila ditinggalkan akan mendapatkan pahala.
5.
Positive
Thinking
Berpikir positif perlu dilatihkan
pada setiap orang. Jangan sesuatu persoalan dilihat dari aspek negatif. Semua
masalah pasti ada jalan keluarnya asal kita mau ihtiar dan berdo’a. dalam agama
islam setiap muslim dihimbau untuk selalu “Husnuzon” (berbaik sangka) bukan
sebaliknya yaitu “suuzhon” (berburuk sangka) pada perilaku orang. Hindarkan
sikap sinis pada orang lain serta kembangkan sikap empati terhadap orang lain.
Bila ditimpa musibah hendaknya selalu tabah dan percaya bahwa akan ada hikmah
dibalik musibah atau “Blessing in Diguise” yang tidak diperhitungkan oleh
manusia. Percayalah bahwa pikiran yang selalu positif akan mengarah pada
tindakan yang baik dan bermanfaat.
6.
Mengembangkan
Hubungan Antar Pribadi
Pemimpin harus berupaya menjalin
hubungan baik dengan stakeholder organisasi seperti kalau di lembaga sekolah
(guru, staf, orang tua siswa, pengurus komite, dunia usaha dan indistri, serta
pihak yang mendukungnya). Inti dari globalisasi bahkan di tekankan adanya Networking
yang simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan. Jalinlah hubungan
antara pribadi yang memberi dampak
terhadap kelancaran program-program kerja yang masih dicanangkan.
7.
Meditasi
(berdoa)
Meditasi adalah pemusatan pikiran
pada sesuatu yang diyakini. Olah raga misalnya salah satu gerakannya meditasi.
Bagi penganut agama tertentu melalui peribatan: sembahyang bagi orang Nasrani
dan pergi ke wihara bagi umat hindu. Meminta pertolongan kepada Allah
subhanawataalla melalui sembahyang dan berdoa bagi umat muslim merupakan upaya
yang melengkapi ikhtiar yang optimal memanfaatkan pertolongan Allah. Disamping
itu perlu juga melakukan konemplasi (perenungan) terhadap apa yang kita lakukan
yang berguna bagi upaya lainnya bila dirasa upaya yang telah dilakukan masih
belum berhasil. Kontemplasi akan lebih baik dilakukan pada saat suasana sepi
seperti tengah malam agar kita bisa melakukan perenungan dengan tenang dan
lebih konsentrasi. Kegiatan pelatiohan ESQ (Emotional and Spiritual Quotient)
yang sekarang sedang populer dan banyak diminati, sebenarnya diawali dengan
kegiatan melakukan perenungan tentang hakekat dan makna sebagai manusia. Oranbg
diingatkan baik melalui mendengarkan musik, atau dengan membaca butir-butir
kata perenungan dibawah cahaya lilin pada waktu tengah malam yang sunyi dan
sepi sehingga pikiran dan perasaan dibawa hanyut kepada suasana yang sengaja
dibuat agar orang mengingat kelakuan-kelakuan atau dosa-dosa yang telah
diperbuat , agar kesadarannya tumbuh untuk memperbaharui diri sehingga menjadi
orang yang lebih baik.
8.
Jangan
Menunda Pekerjaan dan Masalah
Tugas seorang pemimpin sangat
banyak. Dari hari ke hari tugas-tugas terus bertanbah dab perlu segera untuk
dilaksanakan. Masalah pun tiap hari terus bermunculan mulai dari masalah yang
ringan sampai masalah yang berat. Untuk menghadapi berbagai tugas dan masalah
tersebut diperlukan upaya dan tenaga yang tentunya akan sangat membutuhkan
energi dan konsentrasi. Untuk menghindari dari tekanan yang menyebabkan stress
cara yang paling tepat adalah sebagai berikut:
a. Jadikan tugas-tugas yang harus
dikerjakan menjadi lebih ringan dengan memakai gaya kepemimpinan delegating
atau pelimpahan tugas tersebut kepada bawahan yang tepat dengan motto “the right man on the right job”. Dengan ketepatan membagi tugas kepada orang
atau bawahan yang tepat, tugas-tugas akan dapat diselesaikan dengan tepat
waktu. Selesainya tugas-tugas yang ringan maupun berat akan mengurangi beban
pikiran sehingga tidak akan mengakibatkan stress.
b.
Jadikan
masalah-masalah yang besar menjadi kecil dan masalah kecil dianggap tidak ada
masalah adalah salah satu pepatah dari negri cina yaitu jadikan masalah besar
menjadi kecil dan masalah kecil menjadi tidak ada masalah. Bagaimanapun berat
dan rumitnya sesuatu masalah pasti ada jalan keluarnya asal kita mau perikhtiar
untuk mencari jalan penyelesaian yang win-win solution.
C. Motivasi
Motivasi akhir-akhir ini menjadi
penting untuk dikaji. Perilaku para pemimpin baik dalam kemiliteran,
pemerintahan, maupun organisasi perlu untuk di pelajari. Pemimpin sebagai
pengelola tentu menghadapi banyak masalah-masalah yang harus dipecahkan yang
erat kaitannya dengan motivasi. Untuk itu teori tentang motivasi perlu
diketahui terlebih dahulu sebagai bahan kajian hubungan antara teori motivasi
dengan perilaku pemimpin.
Teori motivasi yang sampai saat
ini masih berlaku dan belum ada lagi teori yang lebih baru adalah seperti apa
yang dikemukakan oleh ilmuwan Abraham Maslow. Maslow mengemukakan teori
motivasi yang dapat digambarkan sebagai berikut:
SELF ACTUALIZATION
ESTEEM NEEDS
LOVE
NEEDS
SAFETY
NEEDS
PHSYSIOLOGICAL
NEEDS
Gambar:
Model
Hierarki Kebutuhan Manusia
Model hierarki kebutuhan manusia
menurut maslow terdiri dari (5) tingkatan. Tingkatan paling dasar adalah
kebutuhan Physiological needs atau kebutuhan physiologi manusia seperti makan,
minum, dan sex. Tingkatan kebutuhan kedua adalah keamanan seperti perlunya
manusia punya tempat berlindung seperti rumah. Tingkatan ketiga adalah cinta
atau kasih sayang. Tingkatan keempat adalah harga diri dan tingkatan kelima
sebagai yang paling puncakadalah aktualisasi diri.
Menurut
maslow tingkatan-tingkatan ini ada kaitannya langsung dengan prilaku manusia
dan juga pemimpin. Menurut teorinya manusia akan selalu beruypaya untuk
memenuhi dulu kebutuhan (phisik) seperti makan, minum, dan sex, untuk
selanjutnya baru secara bertahap memenuhi kebutuhan lainnya. Tingkatan
kebutuhan tersebut secara bertahap dapat dilalui manusia dan tidak mungkin
meloncat-loncat. Orang tidak akan teremotivasi untuk memenuhi tuntutan harga
diri bila kebutuhan untuk makan,minum,sex, perumahan dan cinta belum
terpenuhi.pemimpin sebagai pemimpin tentu harus tahu dan mengenal bawahannya
apakah kebutuhan dasar dalam arti phisik tersebut tidak terganggu? Beberapa
tahun yang lalu dalam sebuah surat kabar bahkan ditayangkan disalah satu
stasion televisi salah seorang guru dasar yang menjadi tukang ojek untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbagai komentar timbul dari peristiwa tersebut
yang antara lainmenyatakan bahwa guru tersebut tidak mempunyai harga diri (self
esteem)dan sangat merusak citra seorang guru. Bila dihubungkan dengan teori
motivasi dari maslow ini komentar tersebut tidak proporsional. Adalah sangat
wajar seorang guru tidak punya motivasi untuk mempertaruhkan harga dirinya
sebagai seorang guru yang punya citra sebagai orang yang kurang tepat menjadi
tukang ojeg, karena motivasi yang utama yang ada pada dirinya adalah perlunya
segera memenuhi kebutuhan dasar yaitu makan, minum, dan kebutuhan lainnya yang
mendesak.
Bagai mana dengan seorang
pemimpin yang disamping dia sendiri
harus memeriksa keadaan kesehatan keluarganya, disamping harus pula melihat dan
mengetahui keadaan keseharian dari bawahannya yaitu guru-guru dan staf. Pemimpin
harus mengadakan dialog baik secara langsung maupun secara tidak langsung
menanyakan kepada bawahan atau pihak lainnya tentang bagai mana keadaan
keseharian mereka. Seorang pemimpin ( kepala SMP Negri di Kabupaten Sukabumi
Bapak Drs. Saepulah) bahkan pada awal dia bertugas ditempat tersebut tiap
minggu mengunjungi guru dan staf tata usaha kerumah mereka dan berdialog dengan
istri serta anak-anaknya sambil menanyakan masalah-masalah yang dihadapi.
Dengan acara anjangsana ini pemimpin bisa mengetahui keadaan keseharian guru
dan staf sehingga dalam memberikan tugas dapat lebih proporsional. Pemimpin
memang berkewajiban untuk memotivasi bawahannya agar mereka bisa menjadi
pegawai yang punya harga diri dan bisa mengaktualisasikan dirinya dimana hal
ini penting dalam meningkatkan kinerja mereka. Adanya peningkatan kinerja akan
berkorelasi positif dengan tercapainya suasana belajar dan bekerja yang
menyenangkan, dan pada gilirannya akan menghasilkan produktivitas kerja yang
tinggi.
Alat memotivasi bisa berupa
materil dan non materil. Alat materil adalah berupa uang atau barang misalnya
kendaraan, rumah, serta hadiah-hadiah. Alat motivasi yang berupa non materil
adalah yang bukan berupa barang atau uang atau uang seperti misalnya piagam,
medali, dan bintang jasa atas pengabdian yang telah diberikan. Alat motivasi
juga diberikandua-duanya baik materil maupunn non materil dean tentunya bila
dilakukan akan lebih merangsang orang kepuasan yang dia peroleh karena berupa
uang dan barang yang bernilai ekonomis serta penghargaan berupa bintang jasa
yang bernilai kepuasan atau kebanggaan.
Pemimpin harus berupaya agar
bawahannya mendapatkan berbagai penghargaan baik melalui maupun mengusulkan
kepada atasan yang lebih tinggi bagi bawahan yang berprestasi mendapat
penghargaan baik materil maupun non materil. Penghargaan atas keberhasilan
suatu pekerjaan yang ringan bisa saja dilakukan kepada karyawan dengan cara
memberikan ucapan selamat dan terima kasih secara langsung atau dengan mengajak
makan bersama di restoran biarpun sederhana.
1.
Perkembangan
Teori Maslow
Perkembangan teori Maslow telah
menimbulkanberbagai tanggapan dan kritik dari para ilmuwan akhir-akhir ini
sebagai akibat dari makin sulitnya kehidupan terutama dalammemenuhi kebutuhan
phisik, manusia cenderung untuk mendapatkan dengan jalan yang tidak wajar. Maraknya
berbagai kejahatan baik yang dilakukan orang miskin maupun kejahatan yang
dilakukan oleh pemimpin dengan melakukan korupsi (white color crime) adalah sebagai bukti bahwa manusia telah
didorong untuk memenuhi kebutuhan phisik dan biologis tanpa mengenal dan
memahami diri sendiri (self
actualization) untuk apa sebenarnya mereka hidup. Maraknya berbagai
kejahatan dengan demikian merupakan salah satu akibat dari kurangnya manusia
menerapkan sikap dan cara kehidupan rohani yang tepat.
Memperhatikan sifat hedonisme
(kebendaan) yang saat ini merupakan salah satu fenomena manusia zaman modern
yang salah satunya ditandai dengan berlomba-lombanya manusia dalam memenuhi
kebutuhan dunia ini, tumbuh berbagai pemikiran tentang perlunya membalik teori
Maslow dari yang palin atas yaitu (self
actualization) menuju yang palin bawah (physical
needs). Manusia yang menyadari dirinya sendiri tentang hakikat dan makna
suatu kehidupan cenderung untuk tidak akan gegabah melakukan suatu tindakan
dalam memenuhi kebutuhan phisik dan biologis. Yang berorientasi pada
implementasi dalam kehidupan sehari-hari merupakan salah satu alat dalam
mengelolahidup baik dan benar menurut ajaran agama yang dianutnya. Pelatihan
ESQ (Emotional and Spiritual Quatient)
yang dirancang oleh Ary Ginanjar Agustin, serta diimplementasikan dengan
lingkungan yang ditata dengan tepat, diharapkan dapat menyadarkan manusia
melalui proses self actualizaton agar
mereka sadar akan dosa serta perbuatan yang keliru dan mulai memperbaiki
dirinya untuk bertindak dan berbuat lebih baik.