Translate

Senin, 29 April 2013

Macam-Macam Kepemimpinan


MODEL DAN TEORI KEPEMIMPINAN

A.    Model Getzel dan Guba
Pada model ini, Getzel dan Guba mengadakan analisis perilaku pemimpin dalam sistem sosial. Dikemukakannya dua dua kategori perilaku yang menetapkan arah penekanan pada pemimpin, Yang pertama, perilaku yang bergaya normative (dimensi nometetis) di mana usahanya meliputi tuntutan organisasi. Dimensi ini menunjukan kepada lembaganya yang ditandai dengan peranan-peranan dan harapan-harapan tertentu sesuai dengan tujuan sistem itu. Dimensi ini dikatan pula, dimensi psikologis. Yang kedua ialah perilaku kepemimpinan  yang bergaya personal (dimensi idiografis) yaitu mengutamakan kebutuhan dan ekspektasi anggota organisasinya (guru/dosen). Dimensi ini mengacu pada  individu-individu yang menempati sistem, masing-masing dengan kepribadian dan disposisi kebutuhan tertentu. Organiisasi sebagai sistem sosial, memiliki kedua dimensi  tersebut yang berbeda satu sama lain, bahkan saling mempengaruhi. (Dalam Oteng Sutisna, 1982: 267 a).
DIMENSI NOMOTESIS

                            LEMBAGA       PERANAN           HARAPAN

SISTEM                                                                                        PERILAKU YANG
SOSIAL                                                                                        NAMPAK

                         INDIVIDU         KEPRIBADIA         DISPOSISI KEBUTUHAN

B.    Model Kepemimpinan Kontingensi
Fred Fiedler, menyatakan bahwa seseorang menjadi pemimpin bukan hanya karena kepribadian yang dimilikinya, tetapi juga karena berbagai factor situasi dan saling berhubungan antara pemimpin dengan situasi. Keberhasilan kepemimpinan tergantung (“contingent”) baik kepada keadaan diri pemimpin,maupun kepada keadaan organisasi. Pemimpin yang cenderung berhasil dalam situasi tertentu, belum tentu berhasil pula pada situasi yang lain. Sebagai dasar penelitian, ditemukan tiga dimensi kritis dalam situasi yang mempengaruhi gaya kepemimpinan efektif, ialah:
1.    Kekuatan yang berasal dari organisasi (position power). Ini berarti sejauh mana pemimpin mendapatkan kepatuhan anak buahnya, dengan menggunakan kekuatan yang bersumber dari organisasi (bukan yang berasal dari kharisma atau keahlian). Dikatakannya bahwa pemimpin yang memiliki kekuatan yang jelas dari organisasi akan lebih mendapat kepatuhan dari anak buahnya.
2.    Tatanan tugas (task structure). Tatanan ini adalah ketentuan tentang tugas dan tanggung jawab setiap orang yang ada dalam organisasi. Apabila tugas cukup jelas, maka prestasi setiap orang lebih mudah dikontrol dan tanggung jawab seriap orang lebih pasti.
3.    Hubungan pemimpin dengan anak buah. Dimensi ini menurut Fiedler adalah sangat penting bagi pemimpin, karena menentukan sejauh mana pemimpin diterima oleh anak buahnya.

Berdasarkan ketiga dimensi tersebut di atas, dikeluarkan beberapa jenis gaya kepemimpinan dan dua tingkat yang menyenangkan (favorableness).
a.    Gaya kepemimpinan yang mengutamakan tugas (task oriented), di mana pemimpin merasa puas jika tugas bisa dilaksanakan. Di sini kekuasaan posisi dan tatanan tugas terumus dengan jelas.
b.    Gaya kepemimpinan yang mengutamakan pada hubungan kemanusiaan (human relationship)
c.    Gaya kepemimpinan Jepang. Terdapat lima aspek, manajemen Jepang dalam memberikan sesuatu pemahaman tentang kepemimpinan. (Tidak semua pemimpin di Jepang menerapkannya, beberapa pemimpin, tetap dikenal otoriter)

1.    Keputusan berdasarkan kesepakatan bersama. Proses suatu kesepakatan yang diterapkan oleh pemimpin di Jepag berdasar metode partisipasi. Dalam pendekatan menurut gaya mereka, suatu keputusan penting, seperti merubah proses produksi harus melibatkan seluruh bagian atau staf yang mungkin akan turrut dipengaruhi. Istilah di Jepang, disebut “memawashi”. Secara harfiah, ini berarti proses penanaman pohon yang bertakar pada lahan subur sehingga akan tumbuh.
2.    Memaksimalkan pengembangan sumber daya manusia. Sebagian besar pelaksanaan kepemimpinan di Jepang disesuaikan dengan minat mereka dalam pengembangan sumber daya manusia.
3.    Menghargai bawahan sebagai ahli. Para pemimpin menganggap bahwa bawahan cukup mampu melaksanakan tugas-tugasnya tanpa pengawasan dan peraturan yang lebih. Langkah pertama yang ditempuh dalam memperbaiki produktivitas adalah memperoleh pendapat karyawan tentang bagaimana hal ini dapat dicapai. Lingkaran mutu adalah teknik yang pada umumnya digunakan dan dipakai dasar/konsep. Hal ini menjadikan cirri khas manajemen dan filosofi orang Jepang.
4.    Manajemen yang aktif. Para pimpinan sangat memeprhatikan tentang menajemen yang aktif, mereka berbaur bebas dengan bawahan seperti di kantor dan dalam kegiatan sosial di luar kantor. Memanfaatkan waktu sebanyak mungkin untuk berhubungan dengan bawahan, hal ini untuk meningkatkan komunikasi yang lebih transparan.
5.    Mengarahkan pasda hasil-hasil jangka panjang. Gaya kepemimpinan menekankan pada kesabaran, menunggu hasil. Para pimpinan eksekutif memiliki kemauan untuk mendengarkan ide-ide yang sepertinya akan terasa menguntungkan dalam jangka panjang. Namun demikian, hasil jangka pendek menjadi prioritas utama. Bahwa filosifi kerja jangka panjang akan mengurangi keresahan mengenai keamanan kerja. Hal ini terbukti para pekerja sedikit sekali yang menolak adanya peningkatan teknologi yang terus berkembang.
Dari segi positif, manajemen gaya Jepang ini, membawa hasil utama yang baik terbukti keberhasilan Jepang di kancah Dunia. Pendapat kontroversional tentang Gaya kepemimpinan Jepang ini adlah keleluasaan dalam berfikir dan berperilaku. Tetapi kreativitas berkurang karena harmonisnya bentuk kerja kelompok, kepatuhan dan consensus dalam pembuatan keputusan. Gaya ni cocok karena budayanya praktis homogen.
C.   TEORI Kepemimpinan Tiga Dimensi
Teori Gaya kepemimpinan 3 – D Reddin, mengungkapkan bahwa dua perilaku kepemimpinan yang penting adalah penganjuran (initiating) dan pertimbangan (consideration) (Dalam William J. Reddin, 1970: 361-379), tergerak untuk memperkenalkan kombinasi gaya dalam empat empat jenis situasi pokok sebagaimana gambar berikut:
 







Situasi I – pekerjaan dengan orientasi kemanusiaan, misa, departemen personalia.
Situasi II – pekerjaan dengan orientasi terpadu, missal manajemen puncak
Situasi I – pekerjaan yang agak terpisah, missal, pemrosesan data, keuangan
Situasi I – pekerjaan yang sangat berorientasi pada tugas, missal, produksi

Pembagian seluruh bidang ke dalam empat sel menghasilkan situasi di mana manajer dapat menjadi: (1) Terpisah, baik dari pertimbangan kemanusiaan maupun tugas; (2) Sangat mengutamakan tugas dan kurang memperhatikan pada manusia; (3) Sangat memperhatikan manusia dengan perhatian yang berbalas pada tugas dan (4) sangat memperhatikan pemaduan antara tugas dan sasaran-sasaran kemanusiaan.
Skema di atas diberi nama “3 – D” karena dalam setiap sel dari keempat sel yang ada dikenali dua jenis gaya satu yang paling efektif dalam berhubungan dengan situasi dan yang satunya lagi kurang efektif.
Situasi 1, Gaya Pengajur (missionary) adalah terlalu ekstrim dan gaya yang lebih efektif  adalah “pembangun (developer)” di mana orientasinya lebih diarahkan untuk membantu manusia mengembangkan keterampilan yang akan berguna dalam penyelesaian tugas. Para manajer yang bekerja dalam unit-unit personalia cenderung mempunyai gaya yang terleta dalam bidang ini. Situasi II, adalah khas untuk posisi teratas dalam organisasi. Di sini, prestasi jangka panjang menuntut terpadunya tugas dan nilai-nilai kemanusiaan. Gaya “eksekutif” yang lebihefektif mencoba memaksimalkan kedua perangkat nilai, sementara seorang “pembuat kompromi” (compromiser) mau merencanakan suatu pertukaran politis melalui pendekatan tukar menukar dan pendekatan untuk “memperkecil perbedaan”.
Pekerjaan yang berhubungan dengan penegakan prosedur, pemrosesan data, dan keuangan cenderung lebih menekankan cara daripada tujuan. Ini semua dicakup dalam situasi III, dengan gaya yang lebih efektif disebut “birokrat” dan yang kurang efektif disebut “pembelot”  (deserter). Situasi IV, berhubungan dengan pekerjaan di mana yang diutamakan adalah penyelesaian tugas. Gaya “otokrat yang penuh kebaikan” (benevolent autocrat) mencoba ‘membeli” kerjasama melalui himbauan, paternalism, tunjangan, dan keadilan eksekutif. Gaya “otokrat” yang lebih ekstrim cenderung menimbulkan perlawanan dan ketidakpatuhan.
D.   Teori Rustom S. Daver dan Dougles Mc. Gregor
LE                   =                     LPA               +             F              +             S
 
Rustom S. Daver (1994), menyatakan tentang Filosofi dan Gaya Kepemimpinan. Bahwasanya seorang pemimpin tidak lahir dengan sendirinya, kepemimpinan tersebut terdiri dari hubungan beberapa unsure yang yang cukup komplek sebagaimana diperlihatkan dalam rumusan:

Di mana :
LE     =                     Munculnya kepemimpinan
LPA = Filosofi dan kebijakan atau mutu pimpinan itu sendiri yang merupakan refleksi     Gaya kepemimpinan.
F    = Jenis pengikut
S    = Situasi di mana, kepemimpinan tersebut dilaksanakan.

Gaya kepemimpinan,digambarkan dengan berbagai cara. Pada umumnya tergantung dari prilaku pimpinan terhadap orang lain. Ini merupakan factor dari LFA atau filosofi dan kebijakan dalam kepemimpinan. Berikut disampaikannya gaya kepemimpinan:

1.    The Feudal Type. Ini adalah gaya feudal, dalam gaya ini,karyawan atau seseorang dianggap sebagai bagian paling penting dalam institusi dan diberikan keleluasaan untuk melaksanakan tugasnya secara segera. Hubungan yang ada adalah antara penguasa dan subyeknya.
2.    The Paternal Type. Ini adalah gaya kebapakan,di sini karyawan atau seseorang dianggap sebagai anggota keluarga oleh sebab itu ia dinamakan faternal/kebapakan. Hubungan yang terjadi seperti seorang bapak dan anak. Bentuk seperti ini sangat berhasil di Jepang.
3.    The Dictatorial Type. Ini gaya dictator, gaya ini memberi kesan jelas sekali tentang seseorang yang suka memberikan perintah yang harus dilaksanakan dengan patuh dan keputusannya tidak menghiraukan pendapat bawahan.
4.    The Contibutory Type. Ini gaya yang bersifat mendukung, di sini  perilaku pimpinan membantu mengembangkan dan meningkatkan partisipasi karyawan atau bawahannya.
5.    The Development Type. Ini merupakan gaya pengembang, disini seorang pimpinan merasa bahwa sudah menjadi tugasnya untuk mengembangkan semua orang. Dia menganggap mereka memiliki potensi yang sangat besar bagi peningkatan. Untuk itu ia menekankan tujuan utamanya sebagai seorang pemimpin, yaitu untuk mengembangkan bawahannya.
6.    The Bureaucratis or “Rule-Centered” Type. Ini gaya birokrat atau yang terpaku pada aturan, dalam hal ini seorang pimpinan sangat tergantung pada aturan, undang-undang dan prosedur dan lain sebagainya. Secara tegas setiap bawahan harus mematuhinya. Jadi setiap bawahan harus melakukan sesuatu dengan cara yang telah ditentukan. Untuk itu peraturan ini lebih mengarah pada keharusan, akibatnya akan menimbulkan kebencian pada karyawan.
7.    The Manipulative Type. Ini gaya yang bersifat menggerakan, seorang pimpinan merasa bahwa karyawan harus didorong oleh dia untuk memperoleh tujuannya sendiri. Gaya kepemimpinan seperti ini akan berhasil apabila seorang pemimpin dapat mendorong bawahannya untuk beranggapan bahwa dia memahami kebutuhan – kebutuhan mereka dan membantu mewujudkannya untuk kepentingan mereka sendiri. Namun apa bila hal ini telah diketahui, kepemimpinannya yang bersifat memanifulasi menjadi jelas terlihat dan karyawan menyadari bahwa mereka telah diperdaya. Dan kebencian akan timbul dengan sendirinya.

Cara pengelompokan diatas, apabila dipersingkatmenjadi :

1.    Autocratic or Authoritaria;
2.    Democratizet or Participative;
3.    Laissez – faire or free-rain;
4.    Paternalistic and
5.    “job-centered” as against “employee-centered” supervision.


Dari lima pengelompokan kemudian dijadikan tiga dasar bentuk kepemimpinan:

1.    The Autocratic or Authorian leader, termasuk di dalamnya: “feudal” dan “dictator”;
2.    The Democratic or participate leader, termasuk di dalamnya: “paternalistic”,contributory” dan developmental;
3.    The laissez-faire or free-rein leader.
Gaya kepemimpinan otoriter atau “authoritarian”. Dalam kepemimpinan yang otoriter, pemimpin bertindak sebagai dictator terhadap anggota-anggota kelompoknya. Baginya pemimpn adalah menggerakkan dan memaksa kelompok. Kewajiban bawahan atau anggota hanyalah mengikuti dan menjalankan perintah dan tidak boleh membantah atau mengajukan saran. Mereka harus patuh dan setia kepada pemimpin secara mutlak. Pemimpin yang otoriter tidak menghendaki rapat atau musyawarah. Berkumpul atau musyawarah hanyalah berarti untuk menyampaikan instruksi-instruksi. Setiap perbedaan di antara anggota kelompoknya dinyatakan sebagai kelicikan, pembangkangan atau pelanggaran disiplin terhadap perintah atau instruksi yang telah diberikan. Dalam tindakan dan perbuatannya ia tidak dapat diganggu gugat. Inisiatif dan daya fikir anggota sangat dibatasi, sehingga tidak diberikan kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Pengawasan bagi pemimpin yang otoriter hanyalah berarti mengontrol, apakah segala perintah yang diberikan ditaati atau dijalankan dengan baik oleh anggotanya. Mereka melaksanakan infeksi, mencari kesalahan dan meneliti orang-orang yang tidak taat dan tidak percaya kepada si pemimpin, kemudian orang-orang seperti itu diancam dengan hukuman, dipindahkan atau dipecat dari jabatannya dan sebagainya. Sebaliknya orang-orang yang berlaku taat dan patuh serta dapat menyenangkan pribadinya, menjadi anak “emas” dan bahkan diberi penghargaan.
Dalam gaya kepemimpinan laissez-faire sebenarnya pemimpin tidak memberikan kepemimpinannya, dia membiarkan bawahannya berbuat sekehendaknya. Pemimpin sama sekali tidak memberikan control dan koreksi terhadap pekerjaan bawahannya. Pembagian tugas dan kerjasama diserahkan sepenuhnya kepada bawahannya tanpa petunjuk atau saran-saran dari pemimpin. Kekuasaan dan tanggung jawab bersimpang siur, berserakan secara tidak merata diantara anggota kelompok. Dengan demikian mudah terjadi kekacauan-kekacauan dan bentrokan-bentrokan. Tinggkat keberhasilan organisasi atau lembaga semata-mata disebabkan kesadaran dan dedikasi beberapa anggota kelompok, dan bukan karena pengaruh dari pimpinan. Struktur organisasi tidak jelas dan kabur, segala kegiatan dilakukan tanpa rencana dan tanpa pengawasan dari pimpinan.
Dalam gaya demokratis pemimpin memposisikan di tengah-tengah anggota kelompok. Hubungan dengan anggota-anggota kelompok bukan sebagai majikan terhadap buruhnya, melainkan sebagai kakak terhadap saudara-saudaranya. Pemimpin yang demokratis berusaha menstimulasi anggota-anggotanya agar bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan bersama. Dalam tindakan dan usaha-usahanya ia selalu berpangkal pada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya, dan mempertimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya. Dalam melaksanakan tugasnya, ia mau menerima dan bahkan mengharapkan pendapat dan saran-saran dari kelompoknya. Juga kritik-kritik yang membangun dari para anggota diterima sebagai umpan balik dan dijadikan bahan pertimbangan dalam tindakan-tindakan selanjutnya. Ia mempunyai kepercayaan pula kepada anggota-anggotanya bahwa mereka mempunyai kesanggupan bekerja dengan baik dan bertanggung jawab. Pemimpin selalu berusaha memupuk rasa kekeluargaan dan persatuan ia selalu berusaha membangun semangat anggota kelompok dalammenjalankan dan mengembangkan daya kerjanya. Di samping itu juga memberi kesempatan pada anggota kelompoknya agar mempunyai kecakapan memimpin dengan jalan mendelegasikan sebagai kekuasaan dan tanggung jawabnya.

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL

Transformasional berasal dari kata Transformator (alat listrik yang berfungsi mengubah tegangan/voltage dari 110-220) yang berarti seorang pemimpin harys dapat merubah keadaan menjadi lebih baik dengan berlandaskan nilai-nilai budaya sertaa kearifan local (local indigenus) yang masih relevan untuk diterapkan (lihat BAB II) yang dikombinasikan dengan perkembangan teori kepemimpinan modern dengan dimensi-dimensinya sebagai berikut :

A.    Mengidentifikasi Diri Sebagai Agen Perubahan (Self Identification As An Agent Of Change)

Pemimpin harus bertindak sebagai “agen pembaharu” yang bekerja berdasarkan system “nilai-nilai budaya” berani merubah keadaan yang statis menjadi dinamis dengan berdasarkan pada nilai-nilai luhur bahwa perubahan tersebut demi kepentingan organisasi, bukan untuk kepentingan pribadi atau kroni. Upaya awal yang harus dilakukan dalam mengawali perubahan ini adalah dengan:
1.      “Create a Vision”. Yaitu dengan menciptakan visi yang harus dibuat bersma berdasarkan hasil analisa SWOT (Strength, Weaknes, Oportunity, dan Treat) atau kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Visi bukan hanya pernyataan kehendak, cita-cita, keinginan atau harapan dan cara memandang. Viisi dibuat dengan memperhatikan masa depan (forward looking) serta memicu inspirasi (inspiring the other) bai guru dan staf untuk memunculkan ide-ide baru (inovasi) yang didorong oleh adanya imaginasi (imaginative) tersebut ingin menjadi lebih baik atau yang terbaik bahkan menjadi “the centre of excellent” (puast keunggulan) terutama dalam mutu.
2.      Shared Vision”. Memasyarakatkan visi adalah tindakan selanjutnya yang harus dilakukan oleh pemimpin dan komite. Visi harus dipahami dan dimengerti oleh seluruh stakeholder. Dengan asumsi tersebut maka visi harus dib uat tida muluk-muluk tetapi harus realistis dan bias dicapai. Visi harus dibuat tidak terlalu panjang dengan kalimat deklaratif yang mudah diingat dan disetujui oleh stakeholder. Memasyarakatkan visi bertujuan agar mendapatkan dukungan baik dari pihak atasan maupun bawahan. Dukungan dari pihak atas merupakan dukungan politis yang akan sangat menguntungkan bagi kepentingan. Akan tumbuh semangat Political Will dari pihak pemerintah bagi kepentingan lancarnya program-program perubahan. Dukungan dari bawahan akan memberi dampak berkurangnya konflik kepentingan dimana secara moral mereka ikut bertanggung jawab untuk merealisasikan visi tersebut. Dukungan dari masyarakat seperti orang tua dan berbagai elemen yang ada dimasyarakat seperti dunia usaha dan industry akan merupakan modal yang sangat besar bagi kepentingan terselenggaranya perubahan.
3.      Create A Strategic Path”. Menyusun dan mengembangkan jalan yang strategis adalah langkah-langkah yang selanjutnya dalam merealisasikan visi. Model baru dalam menyusun strategis adalah dengan “Compass Strategic Planning” yang artinya strategi yang disusun berdasarkan lingkungan dan arus yang penuh ketidak pastian (uncertainty). Strategi juga adalah harus berdasarkan kajian “Social Radar”  (Radar Sosial) yang memberikan data-data tentang arah dan arus perubahan yang sedang terjadi, di samping harus berlandaskan nilai-nilai (values) yang berlaku dan penuh kebijaksanaan (wisdom) dan hati nurani (conscience). Pertimbangan lainnya dalam menyusun strategi adalah penggunaan kekuasaan (power) yang harus sesuai diterapkan dalam kapasitas sebagai pemimpin, baik pemimpin maupun komite bias saja akan menggunakan  coercive power (kekuasaan untuk memaksa) pihak lain terutama bawahan agar mengikuti perintah-perintah namun hendaknya diperhitungkan bahwa biasanya pihak lain atau bawahan pasti akan melakukan perintah tersebut, namun dengan rasa terpaksa. Hal inilah yang harus dicegah. Penggunaan kekuasaan yang memaksa sebaiknya harus dilakukan bila keadaan darurat (emergency) dan tidak terlalu sering dilakukan. Penggunaan kekuasaan yang tepat di lingkungan adalah melalui “Expert Power” atau kekuasaan keahlian di mana pihak lain atau bawahan merasa bahwa apa yang harus dia lakukan adalah menjadi tanggung jawabnya dan sesuai dengan keahliannya. Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin baik pemmpin maupun komite harus menunjukan bahwa mereka adalah orang yang ahli dalam bidangnya.

Compass strategic planning berarti membuat perencanaan strategis yang tepat arah dan sasaran. Dalam merencanakan berbagai perubahan baik perubahan untuk meningkatkan SDM, sarana dan prasarana, maupun lingkungan perlu dibuat secara matang dengan pertimbangan. Baik kemampuan anggaran serta pelaksanaannya. Dengan demikian diperlukan perencanaan dengan tahapan-tahapan perencanaan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang yang merupakan sit berikut sumber-sumber pendanaan.

B.    Merealisasikan Perubahan (Realization of Change and Mobilization of commitment)

Langkah-langkah berikutnya bila pemimpin serta Komite sudah sepakat membuat berbagai rencana strategis dalam mengembangkan  diperlukan berbagai langkah lanjutan agar rencana tersebut dapat dilaksanakan yang antara lain:

1.      “Create Team Work” adalah dalam rangka membagi tugas-tugas yang menyangkut berbagai pekerjaan yang harus dikerjakan, pembagian tugas-tugas ini adalah sagat penting mengingat banyaknya agenda perubahan yang harus segera dilaksanakan. Dalam membentuk Tim kerja pemimpin bersama komite harus berdasarkan pada kompetensi masing-masing. Hal ini berhubungan dengan kelancaran dalam menjalankan tugas-tugas. Komposisi tim kerja perlu juga memperhatikan Inter Personal Communication di antara tim.
2.      “Delegation of Authority” (Pelimpahan Wewenang). Bila tim kerja sudah dibentuk pemimpin harus rela melimpahkan wewenang kepada tim baik kewenangan untuk mengambil langkah-langkah maupun dalam mengatur keuangan. Dalam ramgka mencapai efektivitas kerja tim perlu juga para ketua tim diberikan pengarahan-pengarahan (directing) agar tidak menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai. Tim perlu dibina agar tercipta kekompakan (solid) di samping mencegah terjadi konflik. Kegiatan “out bound” misalnya merupaka kegiatan yang bertujuan adanya kekompakan dalam kelompok (dinamika kelompok).
3.      “Fair Play” (berlaku adil), sumber konflik di suatu organisasi seperti adalah bila terjadi ketidak adilan dalam berbagai tugas dan berbagai uang. Pemimpin harus bijaksana dalam menerapkan keadilan. Bagi orang sunda niali-nilai yang luhur yang harus dipegang dalam menerapkan keadilan adalah “ulah cuet kanu hideung, ulah ponteng kanu koneng” yang artinnya semua mendapat bagian yang setimpal, dan tidak condong kepada pihak tertentu. Keadilan juga harus proporsional dalam arti masing-masing pihak mendapat hak yang sesuai dengan porsi tugas dan tanggung jawabnya.
4.      “Believe and Motivate The Staff” (Mempercayai dan Memotivasi Staf), bila pemimpin telah melimpahkan tugas-tugas pada tim atau orang perorang, maka mereka harus dipercaya. Tindaka yang tepat agar semua pekerjaan berjalan adalah dengan melakukan pengawasan (Contrilling), baik periodic maupun secara mendadak. Di samping itu tim atau bawahan juga perlu diberi motivasi (dorongan) baik dengan kata-kata atau dengan memberikan “reward” atau iming-iming agar tim atau bawahan bekerja dengan semangat.
5.      Risk Taking. (berani mengambil risiko), pemimpin dan komite harus berani mengambil kabijakan dan keputusan yang cepat dan tepat. Pemimpin tidak boleh ragu-ragu dalam mengambil keputusan yang tentunya risiko yang akan terjadi sudah diperhitungkan dengan cermat. Jangan pernah ragu untuk memutuskan suatu kebijakan kalau untuk kebaikan dan kemaslahatan.
6.      “A Bisa for Action” (siaga), pemimpin dan komite harus tetap siaga dalam mengamati perubahan. Siaga berarti waspada terhadap berbagai ancaman terhadap gagalnya berbagai program yang sedang dijalankan. Berbagai gangguan yang mungkin timbul sudah dideteksi sejak dini sehingga disiapkan upaya preventif agar hal yang sedang burukpun sudaj diantisipasi sejak dini.
7.      “sence of Wonder” (Waswas), bukan berarti cemas atau ketakutan yang tidak beralasan. Waswas berarti perasaan takut bila sebuah ancaman atau program tidak berhasil atau mencapai target, sehingga diperlukan upaya yang serius dan sunguh-sungguh dalam melaksanakannya. Perasaan waswas memberi dampak positif pada pemimpin untuk selalu melakukan pemeriksaan yang seksama berulangkali (check and recheck) agar kessalahan yang paling kecilpun tidak sampai terjadi (zero defeck).
8.      Total Involving People (melibatkan orang secara total). Keterlibatan adalah kunci sukses dari suatu perubahan. Melibatkan orang secara total hendaknya berdasarkan “level of skills” (tingkat keahlian) orang tersebut. Hal ini bertujuan agar perubahan bias segera terwujud. Hal yang harus diperhatikan dalam melibatkan orang adalah antisipasi  kecenderungan orang terhadap perilaku dan kebiasaan cara-cara lama, pandangan-pandangan kuno, gaya yang kuno, yang sulit untuk dirubah. Pemimpin harus menjadi katalisator dalam merubah keadaan-keadaan tersebut dengan metode pencerahan (enlightment) bahwa perubahan tersebut sangat diharapkan banyak orang (expected changes).
9.      Synergize (sinergis). Sinergis artinya semua program harus mengarah kepada suatu titik yang sama dalam arti menuju tercapainya suatu pembelejaran yang diharapkan.





C.   Melambangkan Perubahan (institusionalization of changes)

Tindakan apa selanjutnya bila berbagai perubahan telah dan sedang terjadi. Setiap perubahan bukan hanya harus melembagakan tetapi juga harus berlangsung terus dan melakukan peningkatan-peningkatan.
1.    Keep on going process. Perubahan-perubahan yang sedang berlangsung dan terjadi baik upaya revitalisasi fisik maupun program pengembangan sumber daya manusia harus dijaga agar tetap berlangsung perubahan yang baik tentuny selain perubahan itu dapat memenuhi harapan para pelaku perubahan tetapi juga mereka yang menuntut perubahan itu. Oleh karenanya perubahan keproses sesuai dengan tuntutan dan harapan tersebut, sehingga perubahan memiliki kebermaknaan yang dalam untuk menyikapi dan menghadapi semua fenomena sosial yang mungkin dapat menghambat perubahan-perubahan yang memiliki nilai-nilai sosial tinggi. Keep on going process, memberikan suatu isyarat agar perubahan tetap dijaga untuk tidak melenceng kepada perubahan yang merugikan dan menyesatkan, perubahan yang berguna dan bermakna bagi masyarakat, organisasi harus selalu dipertahankan dan dikembangkan.
2.    Continuous Progress and Monitor (kemajuan titian tangga dan memonitor perkembangan). Perubahan-perubahan yang sedang terjadi hendaknya merupakan titian tangga yang lebih ke atas atau meningkat. Setiap tangga sebaiknya dimonitor mengenai apa yang telah dicapai atau kerugian apa yang telah diperoleh, baik fisik ataupun non fisik. Keberlangsungan dan kesinambungan suatu perubahan yang telah membuahkan hasil yang telah dicapai harus melangkah ketingkat yang lebih tinggi (titian tangga) dan dimonitor agar terhindar dari anasir-anasir atau implik-implik yang membelokkan perubahan yang sudah memenuhi setiap sasaran melalui tingkat-tingkat yang sudah dicapai tersebut. Continous monitor and progress memberikan pemahaman bahwa setiap perubahan harus terpantau dan terkendali agar hasil yang dicapai memperoleh keberhasilan yang optimum.
3.    Anticipate Barriers (mengantisipasi hambatan-hambatan). Setiap perubahan pasti akan membawa risiko tumbuhnya hambatan-hambatan bahkan risiko yang akan muncul pertama adalah tantangan dari pihak yang tidak menyenangi perubahan apalagi perubahan yang dilakukan merupakan suatu hal baru (inovasi) dimana sudah bias akan ada kelompok yang menolak bahkan tak mau berubah (resistant to change). Kelompok orang-orang seperti itu harus diantisipasi sejak awal karena akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran jalannya perubahan. Upaya-upaya pendekatan pribadi (personal approach) yang menyentuh kepentingan mereka akan sangat tepat dilakukan.
4.    Keep Consistent and Persistent (menjaga keajegan dan lurus). Perubahan-perubahan yang sudah dicapai harus tetap dijaga agar tetap berlangsung dan sesuai dengan arah yang telah ditetapkan.
5.    Continous improvement. Melakukan berbagai perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan-penyempurnaan yang terus-menerus.
6.    Constant innovation. Mencari dan menerapkan inovasi-inovasi (hal-hal baru untuk dicobakan dan diaplikasikan sebagai pengganti hal-hal atau cara-cara lama yang sudah tidak sesuai.

Dapat disimpulkan bahwa transformational leadership bagi para pemimpin berintikan pemberdayaan (Empowerment) terhadap sumber-sumber daya yang ada organisasi terutama sumber daya manusia yang berlandaskan kepada nilai-nilai (Values) budaya setempat, terutama yag harus dianut dan djadikan dasar berpijak bagi pemimpin.


KEARIFAN LOKALDALAMKEPEMIMPINAN
A.     Dimensi Budaya Terhadap Kepemimpinan
Banyak definisi tentang budaya, yang paling harus dijelaskan bahwaarti budaya adalah “bagaimana cara berfikir dan bertindak suatu kelompok orang atau masyarakat yang membedakannya dari kelompok masyarakat lainnya. Kesenian adalah sebagian saja dari kebudayaan. Budaya direfleksikan dalam hal bagaimana orang tua mendidik anaknya, guru mendididk muridnya, serta pemimipibn mempengaruhi pada bawahannya. Bagaimana seorang pemimpin melihat suatu persoalan dan bagaimana memecahkannya sangat dipengaruhi oleh budaya yang sudah terpolakan dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku pemimpin dalam menghadapi berbagai persoalan dalam organisasi juga dipengaruhi oleh cara ia berfikir serta nilai-nilai dan kebiasaan yang sudah ada dan berlaku di suatu kelompokmasyarakat tertentu.
Secara umum bangsa indonesia oleh ilmuan di golongkan kepada masyarakat kolektif (kebersamaan) yang berbeda dari masyarakat barat yang pada umumnya di golongkan sebagai masyarakat individualistik (perseorangan). Masyarakat kolektif selalu terikat oleh nilai serta norma kelompok yang selalu dipatuhinya serta akan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku. Dengan demikian ada semacam ketergantungan yang menjadi seseorang tidak bebas untuk melakukan sesuatu. Dalam masyarakat kolektif perilaku seseorang pemimpin dalam menjalankan peran dan fungsinya dipengaruhi oleh jarak kekuasaan, ketidakpastian, dan gender.
Jarak kekuasaan adalah sekat yang memisahkan pemimpin dari bawahannya. Kadang-kadang sekat inilah yang menjadi penghambat sulitnya komunikasi antara pemimpin dan bawahannya. Banyak pula sekat-sekat yang menghalanginya. Situasi ketidakpastian adalah jaminan (garansi) yang dapat di jadikan pegangan seorang pemimpin untuk berani atau tidak berani dalam mengambil suatu keputusan dan tindakan. Gender adalah sifat yang membedakan antara pria dan pria dan wanita. Dalam masyarakat kolektif ketiga hal ini kadang-kadang menjadi penghabat bagi seorang pemimpin dalam pengambilan keputusan dan tindakan disebabkan dia akan berhadapan dengan sangsi yang akan dirasakannya baik dari atasannya atau dari masyarakat di sekitarnya.
Sebagai seorang pemimpin selalu akan terikat dengan atasan, jenis kelamin antara pria dan wanita, serta jaminam pasti dan ketidakpastian yang ada. Ketiga berpengaruh dalam bagaimana dia membuat berbagai kebijakan dalammengelola organisasinya seperti bagaimana membuat perencanaan dalam mengelola sumberdaya, sarana dan prasarana, keuntungan, serta yang berkaitan dengan lingkungan. Di samping itu norma serta nilai-nilai dan kebiasaan yang berlaku, juga mempengaruhinya sepanjang hal itu dia ketahuibaik melalui transfer organisasi dan pelatihan, organisasi dari orangtua, serta informasi melalui media lainnya.
Norma, nilai, kebiasaan, jarak sosial, pengaruh ketidakpastian, serta gender yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan pemimpin akan sangat berdampak pada iklim organisasi yang di pimpinnya. Iklim organisasi yang sehat akan memberi dampak terjadinya kerjasama yang harmonis antara pemipin dan bawahan sehingga program-program kerja dapat dilaksanakan dengan lancar.
Pengaruh budaya terhadap perilaku kepemimpinan dapat digambarkan dengan latar belakang adat istiadat norma yang berkembang dalamsuatu kelompokmasyarakat.
B.     Sifat-sifat Kepemimpinan Budaya Sunda
Sebenarnya tidak ada alas an bila orangsudah tidak berhasil dalam usaha bila menjadi pedagang ataupun menjadi pegawai atau politikus. Ajaran-ajaran leluhur sudah cukup menjadi pedoman dalam mengarungi hidup ini. Banyakpepatah, petuah yang berlandaskan nilai agama dan filsafat yang bila difahami dan dilaksanakan akan merupakan penunjuk arah menuju keberhasilan dalam kehidupan.petuah bagi para pemimpin agar “sing cageur,bener, pinter, dan kreatif merupakan sifat-sifat yang harus ada pada diri pemimpin dan juga bagi semua orang.
Ajaran lainnya menegaskan bahwa pemimpin harus “ati-ati, surti, weruh, sadurung pinara” yang bila diartikan pemimpin itu harus hati-hati, bijaksana, dan melihat ke depan apayang mungkin terjadi (forecasting) merupakan pedoman dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Beberapaperilaku yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah sebagai berikut:
1.      Handap asor, yang artinya rendah hati dan tidak sombong
2.      Ulah getas harupateun, jangan terburu-buru dalam mengambil keputusan atau tindakan.
3.      Landing kandungan, laer aisan, leuleus jeujeur liat tali, yang artinya fleksibel dalam bertindak.
4.      Nete taraje, nincak hambalan, yang artinya bekerja secara sistematis.
5.      Jangan seperti monyet (kera) menunjukan watak serakah, jangan seperti keledai (malas).
6.      Harus berparilaku seperti nyiruan (lebah), artinya jangan senang yang kotor-kotor, sebab lebah selalu hinggap di tempat yang bersih seperti bunga yang diambilsrinya yang kemudian menjadi madu yang sangat bermanfaat bagi manusia. Hal ini menginagtkan bahwa pemimpin harus banyak member manfaat bagi orang lain.
Ada hal yang sangat menarik untuk di jadikan pedoman dalam memilih seorang pemimpin, para leluhur (karuhun dalam bahasa sunda) telah membuat kriteria bagi calon pemimpin yaitu dengan criteria 5 (lima) W, ialah:
1.                  W pertama: wara, artinya cerdik, pandai, cerdas, untuk menjadi seorang pemimpin itu syaratnya harus cerdas
2.                  W kedua: wanda, artinya dalam bahasa sunda hade gogog hade tagog malah ada tambahan hade gogobrog (rumah) wanda  diartikan juga  performance, berpenampilan menarik baik tutur kata maupun perilaku.
3.                  W ketiga: wacana, artinya seorang pemimpin harus memiliki visi dan misi, memiliki idealisme yang tinggi untuk dijadikan organisasi, yang mengisyaratkan manfaat dan kesejahteraan orang-orang yang dipimpinnya.
4.                  W keempat: wawasan, artinya seorang pemimpin harus memiliki segudang pengalaman, pemimpin harus memiliki pengetahuan yang luas sebagai bekal dalam memimpin, agar benar-benar menjadi seorang panutan yang dapat memberikan suritauladan bagi yang dipimpinnya. Sifat-sifat seperti “leuleus jeujeur liat tali” (fleksibel dalam menangani masalah) “landing kandungan laer aisan” (mempertimbangkan segala sesuatu dengan penuh kearifan sebelum mengambil tindakan).
5.                  W kelima: wawanen, artinya keberanian, ceritera ini tampaknya yang paling berat untuk dilakukan. Tidak sedikit pemimpin yang cerdas, berpenampilan menarik, memiliki visi dan misi, yang baik, berpengalaman yang luas, tapi ….. jarang memiliki wawanen yaitu “keberanian” sebab untuk keberanian diperlukan syarat kesemuanya tersebut di atas. Karena tidak jarang kegagalan pemimpin disebabkan oleh tidak beraninya mengambil tindakan yang tegas, rasa takut untuk mendapatkan tantangan, atau menjadi tidak popular seorang pemimpin setidaknya menjadi hambatan untuk mengambil sikap tegas. Rasa was-was dan cemas yang mungkin mengancam jiwanya dalam mengambil tindakan tegas kadang-kadang menyurutkan keberanian seorang pemimpin. Wawanen atua keberanian menjadikan pemimpin sebagai seorang yang istiqomah, ngadek saclekna, nilas saplasna, teu cueut kanu hideung, teu ponteng kanu koneng artinya tetap padaaturan dan ketentuan yang ada yang berlaku dan telah ditetapkan bersama.untuk memiliki suatu keberanian yang dapat mengeliminir risk (resiko) mari kita melihat sejenak budaya Baduy dalam mengambil tindakan atau keputusan, seorang tetua adat Baduy (kokolot, sesepuh Baduy) dalam mengambil suatu keputusan, para sesepuh/tetua adat memiliki ugeran/tetekon/patokan yaitu: 1. Uteuk;                      2. Utek;                        3. Iteuk. Artinya: uteuk, seorang pemimpin dalammengambil tindakan atau keputusan haru menggunakan uteuk atau otak, rasio, logika atau akal sehat tidak emosional, sebab mengambil keputusan meski hati panas tapi pemimpin harus tetap dingin. Utek, seorang pemimpin dalam mengambil tindakan harus menggunakan nuraninya/rasa hati tapi bukan emosi, utek cenderung merupakan kebenaran jiwa, nurani ialah cahaya hati, inilah yang menuntun seseorang kearah kebenaran hakiki. Ituek atau tongkat, dimaksudkan dengan iteuk di sini ialah pedoman, aturan, undang-undang, norma-norma, adat istiadat yang menjadi pedoman hidup suatu kelompok, suku bangsa pada suatutatanan kelompok makro dan mikro. Seorang pemimpin dalam mengambil tindakan/keputusan haruslah pula berpedoman pada undang-undang, aturan-aturan dan budaya local agar dapat diterima oleh semua pihak.
Biasanya seorang pemimpin mempunayai keberanian yang kuat dalam mengambil tindakan apabila: dapat dukungan yang kuat dari semua pihak, sesuai dengan undang-undang/aturan yang berlaku, sesuai dengan kebenaran hakiki (nurani).
Selanjutnya bagi bekal seorang pemimpin ada pepatah dalam budaya sunda yang mendeskripsikan seorang sunda bagai orang yang luar biasa. Seperti pemimpin itu kudu bias ngapung (harus bias terbang), pemimpin itu kudu bisa nerus bumi (masuk ke dalam tanah), pe,mimpin itu kudu bias napak sancang (berjalan di atas air). Pemimpin kudu bisa ngapung maksudnya bahwa seorang pemimpin harus memiliki idealisme yang tinggi (bukan terbang seperti burung) pemimpin harus mempunyai cita-cita, visi, misi, yang futuristic untuk kesejahteraan bangsa. Pemimpin kudu bisa nerus bumi (harus bisa masuk ke dalam tanah) seorang pemimpin harus memahami lubuk hati yang paling dalam dari para bawahannya atau orang-orang yang dipimpinnya, sehingga pemimpin dapat melakukan langkah-langkah kebijakan yang dapat memenuhi harapan anak buahnya atau masyarakatnya. Pemimpin kudu bisa napak sancang (berjalan di atas air) artinya pemimpin harus berada di atas semua golongan, tidak boleh memihak apalagi seorang pemimpin hanya mementungkan golongan sendiri atau kelompoknya. Pemimpinmah teu menang cueut kanu hideung ponteng kanu koneng (pemimpin tidak boleh memihak salah satu golongan) tetapi harus mementingkan kepentingan semua golongan yang dipimpinnya. Dalam menjalankan kepemimpinannya, seorang pemimpin harus bekerjasama untuk kepentingan bersama sebab dengan cara inilah seorang pemimpin dapat mencapai tujuan organisasi.
Isyarat leluhur Sunda dalam pepatah Sunda disebutkan: ari jalma kudu hirup kumbuh, kudu rukun sauyunan, silih asih, silih asah, silih asuh, silih ajenan, silih agehan, artinya dalamkehidupan ini apapun kedudukan kita, pemimpin sebaiknyalah saling saying menyayangi, saling bimbing, saling memperhatikan dan saling berbagi pengalaman, saling mengasihi dan saling member. Inilah kondisi dalam kehidupan baik dalam kelompok organisasi formal, informal, atau nonformal dalam manajemen kita kenal istilah kolaborasi dan koordinasi kunci dari semua ini adalah komunikasi yang harmonis dengan berpedoman pada silih asih, silih asah, silih asuh, silih ajenan, silih agehan (5 SA). Dengan 5 SA ini tugas berat apapun dari sebuah organisasi akan dapat diselesaikan, dan tujuan organisasi akan dapat dicapai. Selain 5 SA ada sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin yaitu escprit decorp, kebersamaan dan kebersatuan, inilah yang oleh leluhur Sunda diibaratkan sebagai berikut sarendeuk saigel, sabata sarimbagan, saketrek sapihanean kacai jadi saleuwi kadarat jadi salogak.
Seorang pemimpin dituntut untuk memliki kemampuan, kecerdasan, budi pekerti yang luhur, ahlak yang mulia, dapat menjadi suri tauladan dan panutan untukkepentingan orang-orang yang dipimpinnya.
C. sifat-sifat Kepemimpinan Budaya Minang
Orang minang yang biasanya sebutan bagi orang padang, terkenal dengan jiwa wirasswastanya dalam membuat restoran atau rumahmakan serta berdagang. Hamper diseluruh kota di Indonesia  pastiada rumah makan padang yang terkenal dengam makanan yang siap saji dan selalu pedas. Bahkan ada anecdot yang menceritakan pada waktu astronaut Neil Amstrong mau mendarat di bulan maka yang terlihat lebih dulu adalah seperti rumah maka padang di bulan.
Mengapa rumah makan padang bisa berkembang di mana-mana? Penelitian menbuktikan bahwa rumah makan padang telah terjadi proses organisasi luar dan kepemimpinan dalam mengelola rumah makan dengan berfalsafah pada budaya orang Minang dahulu yaitu: adat basanding sara, sara basanding kitabullah yang artinya adat harus berdasarkan agama dan agama harus berdasarkan kitab Allah (Al-qur’an). Pemimpin rumah makan padang selalu memperhatikan keluarga seperti falsafah “anak dipangku, kemenakan dibimbing, Bandai taulan dipatenggangkan”  yang artinya anggota keluarga serta kerabat dipersilahkan bekerja di restoran padang dengan harus berperilaku jujur, menjalankan syariat agama islam, Serta mau belajar secara bertahap dari mulai tukang cuci piring sampai, pegang khas. Sampai menjadi pemilik  warung atau kedai. Pegawai yang sudah cukup berpengalaman di persilahkan untuk membuka usaha warung nasi di tempat lain dengan di bantu modal dan di bimbing oleh majikan atau seniornya. Pemilik restoran atau pemimpin tidak merasa tersaingi bila mantan anak buahnya berhasil dalam mengembangkan usaha rumah makan.
D. Sifat-Sifat Kepemimpinan Budaya Jawa
            Para raja di Jawa zaman dulu terkenal dengan keberhasilan nya dalam mengelola Negara. Hal ini tentu saja berkat kepemimpinan sang raja. Raja Hayam Wuruk sebagai raja Majapahit dengan patihnya bernama Gajah Mada terukir sejarah sebagai raja dan patih yang berhasil menguasai Nusantara. Di sekitar abad 19 dan 20 pada para pemimpin seperti sultan jogja dan surakarta dalam memimpin negeri ternyata sudah berpedoman pada buku-buku serta petuah-petuah para pendahulunya. Pemimpin pada masa tersebut selalu berlandaskan filosifis seperti misalnya landasan filosofis yang lain adalah apa yang telah di kemukakan oleh Empu Prapanca dalam bukunya Negara Kertagama yang seperti di kutip oleh iman S (1992) bahwa ada empat belas sifat-sifat yang harus di miliki oleh seorang pemimpin,di antaranya:
1.      Wijina, memiliki sifat bijaksana.
2.      Mantra wira, pembela Negara.
3.      Wicaksaning Naya, pengalaman, kemampuan analisa.
4.      Matagwan, percaya pada bawahan.
5.      Satya Bakti Haprabu, sifat loyal ke atas.
6.      Wakjana, pandai diplomasi dan pidato.
7.      Sajawopasana, tidak sombong tapi rendah diri.
8.      Dbirottsbaba, rajin, kreatif, dan inisiatif.
9.      Tan-liana, gembira atau periang.
10.  Disyacitra, terbuka dan jujur.
11.  Tanca trisna, tidak egois.
12.  Misibi samsatha buana, penyayang dan cinta alam.
13.  Ginong prtidina, tekun, penegak kebenaran.
14.  Ansyaken, mampu memusnahkan lawan.

Landasan filosofis lain adalah apa yang terdapat dalam buku ramayana yang mengajarkan tujuh sifat yang di ajarkan para leluhur dalam memimpin anak buah antara lain seorang pemimpin harus mempunyai:
1.      Surya (matahari) yang artinya memberi energi, yang merupakan sumber kehidupan, pemimpin harus memberi semangat dan gairah kerja, energik, kreatif, dan dinamis.
2.      Candar (bulan) yang artinya sejuk, menawan, indah, dan menerangi, pemimpin harus mampu memberi keteduhan, ketentraman.
3.      Kartika (bintang) yang artinya memberi petunjuk tentang arah , menarik dan gemerlapan. Pemimpin harus memberi tuntunan, teladan, dan conto yang baik.
4.      Bayu (angin) yang artinya merata, mengisi kekosongan, dan menuju ke segala arah. Pemimpin harus mampu meneliti , cermat tahu perilaku bawahan. Dan mampu menghimpun data yang benar untuk mengambil keputusan.
5.      Mega (awan) yang artinya memberi kesegaran dan kehidupan. Pemimpin harus berwibawa , bijaksana dan bermanfaat bagi bawahan.
6.      Samudra (laut) yang artinya luas, tempat penampungan . pimpinan harus memiliki pandangan yang luas , sabar, mampu menampung segala macam persoalan , dan tidak boleh membenci bawahan.
7.      Bantala Bumi yang artinya kokoh , kuat, dan sentosa, Pemimpin harus bersifat l;uhur , dan berbudi luhur , mampu memanfaatkan situasi dan kondisi , baik bawahan maupun lingkungan.
Sosrokartono seorang filosof Jawa pada abad ke-19  merumuskan sifat kepemimpinan dengan empat hal, yaitu:
1.      Sifat ratu dan Raja. Pemimpin harus bijaksana ambeg para marta
2.      Sifat pandito. Pemimpin harus bujaksana sederhana tidak mewah , dan dapat melihat situasi yang akan datang.
3.      Sifat petani. Pemimpin harus memilik sifat jujur,sederhana,tekun,ulet, dan terbuka.
4.      Sifat guru, pemimpin harus meberi teladan yang baik, menularkan ilmu, dan member harapan.

Butir-butir budaya Jawa yang harus melandasi perilaku seorang pemimpin lainnya adalah:
1.      Mulat salira, tansah eling kalawan waspada artinya pemimpin harus mawas diri, selalu ingat dan waspada.
2.      Andap asor artinya merendahkan diri.
3.      Tumindak kantbi duga lan prayoga artinya bila bertindak harus di pikirkan dan di pertimbangkan
4.      Mandur kebencikan artinya selalu menanam kebaikan.
5.      Wedi ing luput wedi ing bener artinya takut berbuat salah dan berani berbuat bener.
6.      Ojo lali piwulang kang becik artinya jangan suka membuat perselisihan.
7.      Ojo aja seneng gawe gendra artinya jangan suka membuat perselisihan.
8.      Ojo emberu aleman artinya jangan ingin di puji-puji
9.      Ojo selingkub artinya tidak berbuat serong dan tidak jujur.
10.  Ojo seneng maido artinya jangan suka membantah.
11.  Ojo dadi wong pinter kablinger artinya jangan sampai menjadi orang pandai yang salah jalan.
12.  Ojo dumeb artinya jangan mentang-mentang kuasa.
13.  Ojo bosenan artinya jangan menjadi pembosan.
14.  Ojo degsura artinya jangan kurang ajar.
15.  Ojo seneng royal artinya jangan menjadi pemboros.
16.  Ojo nyenyamab wong tua artinya jangan menghina orang tua.
17.  Ojo pisan nacat inglian artinya jangan mencela orang lain.
18.  Ojo gawe serilung atining lian artinya jangan menyakiti hati orang lain .
19.  Ojo gelek mengasub artinya jangan mencari musuh .
20.  Ojo mung rumangsa bias, nangis ora bias rumangsa artinya jangan hanya merasa pandai tapi tidak pandai merasa.

E. Sifat-Sifat Kepemimpinan Budaya Aceh
      Suku aceh adalah salah satu yang memperkenakan criteria untuk kepemimpinan . Menurut suku aceh , pemimpin itu harus menekankan sifat-sifat 5 P , dalam rangka pengambilan keputusan , yaitu : peusiap ( persiapan ) pengumpulan data dan perbandingan , peubanding ( telaahan dan pembahasan ), peunilai ( mengadakan penilaian ) , peutunyok , ( memohon petunjuk pada allah S.W.T .), dan peupatah  ( mengambil keputusan ).
      Dari conto-conto tersebut di atas, dapat di jelaskan bahwa yang dapat menunjukan cirri-ciri seorang pemimpin yaitu , telah memiliki pembawaan dan sifat-sifat yang mendukung bagi seorang pemimpin sifat-sifat itu sebagian bisa di pelajari dan di peroleh dalam kehidupan. Sedangkan kebahagiaan memang telah ada sejak lahir . kebenaran tentang teori itu , dalam kaitannya ada hubungan antara sifat-sifat seseorang dengan kapasitas kepemimpinannya secara efektif dan sistematis , selalu di pertanyakan oleh para sarjana yang menekuni bidang kepemimpinan.
      Pola kepemimpinan yang di kemukakan yang di kemukakan di atas, tidak lepas dari system nilai budaya masyarakatb yang berakar pada nilai nilai warisan pusaka nenek moyangnya , corak khas pemimpin dalam budaya lama Aceh mengisyaratkan nilai-nilai kewibawaan, berani , dan ketaatan , terutama kepada pemimpin tingkat atas atau sultan . lihat salah seorang pemimpin kerajaan aceh abad ke-17 yaitu Sultan Iskandar Nuda (Zakaria Ahmad ,1971:64-67). Setelah kemerdekaan terutama di alam merdeka diminta persyratan lain untuk menjadi pemimpin di aceh. Pemimpin yang turun temurun tentulah tidak di mungkinkan lagi Karena nilai budaya telah bergeser jauh sehingga ,membutuhkan syarat baru untuk menjadi pemimpin aceh lebih-lebih di masa pembangunan dewasa ini. Persyaratan pemimpin di tingkat manapun dewasa ini di tuntut sifat kepemimpinan yang baru yang di dasarkan atas tiga criteria pokok yakni kepribadian atau karakter, idealism , dan visi atau wawasan ke depan (Alfian, Kompas 14 Mei 1988 ). Seorang pemimpin perlu memiliki karakter yang kuat sehingga dari satu masyarakat dapat melihat kepadanya sebagai seorang yang memang memiliki ketegasan.
      Untuk menjadi seorang pemipin , criteria kedua bahwa seorang pemimpin harus bersifat realistis, ia harus mengetahui dengan sesungguhnya kondisi masyarakat yang aspirasi getaran hati nuraninya berhasil dia jamah. Sebaliknya dia juga memahami peluang dan hambatan yang dihadapinya dalam masyarakat, sehingga mengetahui cara terbaik untuk memperjuangkan aspurasi dan getaran hati nurani masyarakat terseubut. Criteria ketiga adalah pemimpin perlu memiliki visi atau wawasan kedepan, melalui visi atau wawasan itu ia akan dapat melukiskan masa depan bagaimana yang dapat dibangun bersama-sama oleh masyarakat.
C. sifat-sifat Kepemimpinan Budaya Minang
Orang minang yang biasanya sebutan bagi orang padang, terkenal dengan jiwa wirasswastanya dalam membuat restoran atau rumahmakan serta berdagang. Hamper diseluruh kota di Indonesia  pastiada rumah makan padang yang terkenal dengam makanan yang siap saji dan selalu pedas. Bahkan ada anecdot yang menceritakan pada waktu astronaut Neil Amstrong mau mendarat di bulan maka yang terlihat lebih dulu adalah seperti rumah maka padang di bulan.
Mengapa rumah makan padang bisa berkembang di mana-mana? Penelitian menbuktikan bahwa rumah makan padang telah terjadi proses organisasi luar dan kepemimpinan dalam mengelola rumah makan dengan berfalsafah pada budaya orang Minang dahulu yaitu: adat basanding sara, sara basanding kitabullah yang artinya adat harus berdasarkan agama dan agama harus berdasarkan kitab Allah (Al-qur’an). Pemimpin rumah makan padang selalu memperhatikan keluarga seperti falsafah “anak dipangku, kemenakan dibimbing, Bandai taulan dipatenggangkan”  yang artinya anggota keluarga serta kerabat dipersilahkan bekerja di restoran padang dengan harus berperilaku jujur, menjalankan syariat agama islam, Serta mau belajar secara bertahap dari mulai tukang cuci piring sampai, pegang khas. Sampai menjadi pemilik  warung atau kedai. Pegawai yang sudah cukup berpengalaman di persilahkan untuk membuka usaha warung nasi di tempat lain dengan di bantu modal dan di bimbing oleh majikan atau seniornya. Pemilik restoran atau pemimpin tidak merasa tersaingi bila mantan anak buahnya berhasil dalam mengembangkan usaha rumah makan.
D. Sifat-Sifat Kepemimpinan Budaya Jawa
            Para raja di Jawa zaman dulu terkenal dengan keberhasilan nya dalam mengelola Negara. Hal ini tentu saja berkat kepemimpinan sang raja. Raja Hayam Wuruk sebagai raja Majapahit dengan patihnya bernama Gajah Mada terukir sejarah sebagai raja dan patih yang berhasil menguasai Nusantara. Di sekitar abad 19 dan 20 pada para pemimpin seperti sultan jogja dan surakarta dalam memimpin negeri ternyata sudah berpedoman pada buku-buku serta petuah-petuah para pendahulunya. Pemimpin pada masa tersebut selalu berlandaskan filosifis seperti misalnya landasan filosofis yang lain adalah apa yang telah di kemukakan oleh Empu Prapanca dalam bukunya Negara Kertagama yang seperti di kutip oleh iman S (1992) bahwa ada empat belas sifat-sifat yang harus di miliki oleh seorang pemimpin,di antaranya:
15.  Wijina, memiliki sifat bijaksana.
16.  Mantra wira, pembela Negara.
17.  Wicaksaning Naya, pengalaman, kemampuan analisa.
18.  Matagwan, percaya pada bawahan.
19.  Satya Bakti Haprabu, sifat loyal ke atas.
20.  Wakjana, pandai diplomasi dan pidato.
21.  Sajawopasana, tidak sombong tapi rendah diri.
22.  Dbirottsbaba, rajin, kreatif, dan inisiatif.
23.  Tan-liana, gembira atau periang.
24.  Disyacitra, terbuka dan jujur.
25.  Tanca trisna, tidak egois.
26.  Misibi samsatha buana, penyayang dan cinta alam.
27.  Ginong prtidina, tekun, penegak kebenaran.
28.  Ansyaken, mampu memusnahkan lawan.

Landasan filosofis lain adalah apa yang terdapat dalam buku ramayana yang mengajarkan tujuh sifat yang di ajarkan para leluhur dalam memimpin anak buah antara lain seorang pemimpin harus mempunyai:
8.      Surya (matahari) yang artinya memberi energi, yang merupakan sumber kehidupan, pemimpin harus memberi semangat dan gairah kerja, energik, kreatif, dan dinamis.
9.      Candar (bulan) yang artinya sejuk, menawan, indah, dan menerangi, pemimpin harus mampu memberi keteduhan, ketentraman.
10.  Kartika (bintang) yang artinya memberi petunjuk tentang arah , menarik dan gemerlapan. Pemimpin harus memberi tuntunan, teladan, dan conto yang baik.
11.  Bayu (angin) yang artinya merata, mengisi kekosongan, dan menuju ke segala arah. Pemimpin harus mampu meneliti , cermat tahu perilaku bawahan. Dan mampu menghimpun data yang benar untuk mengambil keputusan.
12.  Mega (awan) yang artinya memberi kesegaran dan kehidupan. Pemimpin harus berwibawa , bijaksana dan bermanfaat bagi bawahan.
13.  Samudra (laut) yang artinya luas, tempat penampungan . pimpinan harus memiliki pandangan yang luas , sabar, mampu menampung segala macam persoalan , dan tidak boleh membenci bawahan.
14.  Bantala Bumi yang artinya kokoh , kuat, dan sentosa, Pemimpin harus bersifat l;uhur , dan berbudi luhur , mampu memanfaatkan situasi dan kondisi , baik bawahan maupun lingkungan.
Sosrokartono seorang filosof Jawa pada abad ke-19  merumuskan sifat kepemimpinan dengan empat hal, yaitu:
5.      Sifat ratu dan Raja. Pemimpin harus bijaksana ambeg para marta
6.      Sifat pandito. Pemimpin harus bujaksana sederhana tidak mewah , dan dapat melihat situasi yang akan datang.
7.      Sifat petani. Pemimpin harus memilik sifat jujur,sederhana,tekun,ulet, dan terbuka.
8.      Sifat guru, pemimpin harus meberi teladan yang baik, menularkan ilmu, dan member harapan.

Butir-butir budaya Jawa yang harus melandasi perilaku seorang pemimpin lainnya adalah:
21.  Mulat salira, tansah eling kalawan waspada artinya pemimpin harus mawas diri, selalu ingat dan waspada.
22.  Andap asor artinya merendahkan diri.
23.  Tumindak kantbi duga lan prayoga artinya bila bertindak harus di pikirkan dan di pertimbangkan
24.  Mandur kebencikan artinya selalu menanam kebaikan.
25.  Wedi ing luput wedi ing bener artinya takut berbuat salah dan berani berbuat bener.
26.  Ojo lali piwulang kang becik artinya jangan suka membuat perselisihan.
27.  Ojo aja seneng gawe gendra artinya jangan suka membuat perselisihan.
28.  Ojo emberu aleman artinya jangan ingin di puji-puji
29.  Ojo selingkub artinya tidak berbuat serong dan tidak jujur.
30.  Ojo seneng maido artinya jangan suka membantah.
31.  Ojo dadi wong pinter kablinger artinya jangan sampai menjadi orang pandai yang salah jalan.
32.  Ojo dumeb artinya jangan mentang-mentang kuasa.
33.  Ojo bosenan artinya jangan menjadi pembosan.
34.  Ojo degsura artinya jangan kurang ajar.
35.  Ojo seneng royal artinya jangan menjadi pemboros.
36.  Ojo nyenyamab wong tua artinya jangan menghina orang tua.
37.  Ojo pisan nacat inglian artinya jangan mencela orang lain.
38.  Ojo gawe serilung atining lian artinya jangan menyakiti hati orang lain .
39.  Ojo gelek mengasub artinya jangan mencari musuh .
40.  Ojo mung rumangsa bias, nangis ora bias rumangsa artinya jangan hanya merasa pandai tapi tidak pandai merasa.

E. Sifat-Sifat Kepemimpinan Budaya Aceh
      Suku aceh adalah salah satu yang memperkenakan criteria untuk kepemimpinan . Menurut suku aceh , pemimpin itu harus menekankan sifat-sifat 5 P , dalam rangka pengambilan keputusan , yaitu : peusiap ( persiapan ) pengumpulan data dan perbandingan , peubanding ( telaahan dan pembahasan ), peunilai ( mengadakan penilaian ) , peutunyok , ( memohon petunjuk pada allah S.W.T .), dan peupatah  ( mengambil keputusan ).
      Dari conto-conto tersebut di atas, dapat di jelaskan bahwa yang dapat menunjukan cirri-ciri seorang pemimpin yaitu , telah memiliki pembawaan dan sifat-sifat yang mendukung bagi seorang pemimpin sifat-sifat itu sebagian bisa di pelajari dan di peroleh dalam kehidupan. Sedangkan kebahagiaan memang telah ada sejak lahir . kebenaran tentang teori itu , dalam kaitannya ada hubungan antara sifat-sifat seseorang dengan kapasitas kepemimpinannya secara efektif dan sistematis , selalu di pertanyakan oleh para sarjana yang menekuni bidang kepemimpinan.
      Pola kepemimpinan yang di kemukakan yang di kemukakan di atas, tidak lepas dari system nilai budaya masyarakatb yang berakar pada nilai nilai warisan pusaka nenek moyangnya , corak khas pemimpin dalam budaya lama Aceh mengisyaratkan nilai-nilai kewibawaan, berani , dan ketaatan , terutama kepada pemimpin tingkat atas atau sultan . lihat salah seorang pemimpin kerajaan aceh abad ke-17 yaitu Sultan Iskandar Nuda (Zakaria Ahmad ,1971:64-67). Setelah kemerdekaan terutama di alam merdeka diminta persyratan lain untuk menjadi pemimpin di aceh. Pemimpin yang turun temurun tentulah tidak di mungkinkan lagi Karena nilai budaya telah bergeser jauh sehingga ,membutuhkan syarat baru untuk menjadi pemimpin aceh lebih-lebih di masa pembangunan dewasa ini. Persyaratan pemimpin di tingkat manapun dewasa ini di tuntut sifat kepemimpinan yang baru yang di dasarkan atas tiga criteria pokok yakni kepribadian atau karakter, idealism , dan visi atau wawasan ke depan (Alfian, Kompas 14 Mei 1988 ). Seorang pemimpin perlu memiliki karakter yang kuat sehingga dari satu masyarakat dapat melihat kepadanya sebagai seorang yang memang memiliki ketegasan.
      Untuk menjadi seorang pemipin , criteria kedua bahwa seorang pemimpin harus bersifat realistis, ia harus mengetahui dengan sesungguhnya kondisi masyarakat yang aspirasi getaran hati nuraninya berhasil dia jamah. Sebaliknya dia juga memahami peluang dan hambatan yang dihadapinya dalam masyarakat, sehingga mengetahui cara terbaik untuk memperjuangkan aspurasi dan getaran hati nurani masyarakat terseubut. Criteria ketiga adalah pemimpin perlu memiliki visi atau wawasan kedepan, melalui visi atau wawasan itu ia akan dapat melukiskan masa depan bagaimana yang dapat dibangun bersama-sama oleh masyarakat.
KEPEMIMPINAN
CARA ISLAMI

Bagai mana kepemimpinan dilihat darisudut pandang agama islam? Jawaban yang pastiuntuk pertanyaan tersebut adalah “semua yang mempunyai jabatan atau kedudukdn sebagai seorang pemimpin baik dalam bidang pemerintahan, kemiliteran, dan organisasi harus menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam menjalankan kepemimpinannya”. Lebih jelas lagi karena Al-Qur’an bukan hanya harus dijadikan pedoman dalam memimpin, usaha yang paling praktis adalah mencontoh ahlak atau periliaku Rasulullah Muhammad S.A.W dalam memimpin umat Islam baik waktu damai maupun waktu berperang.
Seorang sahabat bertanya pada Aisyah r.a. tentang ahlak Rasulullah, maka ia menjawab, “Ahlak Rasulullah tidak lain adalah Al-Qur’an!” dengan kata lain, Rasulullah the walking and the living Qur’an contoh nyata aktualisasi Al-Qur’an.
Karena itu memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dengan merujuk kepada konteks perilaku Rasulullah sebagai teladan yang sempurna, merupakan bagian dari upaya setiap muslim yang ingin mengaktualisasikan iman dan takwanya secara nyata. Dalam upaya mengasah kecerdasan rohani, dibawah ini kitaakan membahas dimensi atau kandungan ahlak Rasulullah. Dengan demikian, diharapkan dapat menjadi kebutuhan dan kebiasaan perilaku yang menghujam di dalam hati sanubari. Karena, merasakan kebahagiaan tiada tara bagi seorang muslim untukmeneladaani sikap dan perilaku Rasulullah saw.
Ulama terkenal KH.Toto Tasmara dalam bukunya yang berjudul “Kecerdasan Ruhaniah” (Transcendental Intelligence), menguraikan tentang perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim dengan konsep “Harus Berahlak Mulia”. Ahlakmulai yang harus ada pada setiap muslim terutama para pemimpin adalah: Shiddiq, Fatanah, Amanah, Tablig, dan Istiqomah. Secara terperinci kecerdasan ruhaniah yang dicerminkan dengan perilaku berakhlak mulia tersebut adalah:
A.     Shiddiq
Salah satu dimensi kecerdasan rohani terletak pada nilai kejujuran yang merupakan mahkota kepribadian orang-orang mulia yang telah dijanjikan Allah akan memperoleh limpahan nikmat dari-Nya. Kedudukan disejajarkan dengan para nabi (shiddiqon nabiyaa) dan dijadikan untuk menjadi teman dalammenungkatkan kualitas hidup, sebagaimana firman-Nya,
“Barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka itu akan bersama-sama dengan orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqqiin, syuhada, dan orang-orang shaleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (an-Nisaa’:69)
Seorang yang cerdas secara rohaniah, senan tiasa memotivasi dirinya dan berada dalam lingkungan orang-orang yang memberikan makna kejujuran, sebagaimana firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).” (At-Taubah: 119).
Kejujuran adalah komponen rohani yang memantulkan berbagai sikap terpuji (honorable, respectable, creditable, maqaman mahmuda). Mereka berani menyatakan sikap secara transparan, terbebas dari segala kepalsuan dan penipuan ( free from fraud or deception ). Hatinya terbuka dan selalu bertindak lurus (open-minded and straight forwardness). Sehingga, mereka memiliki keberanian moral yang sangat kuat. Seorang sufi terkenal, yaitu a-Qusyairi, mengatakan bahwa  shiddiq adalah orang yang benar, dalam semua kata, perbuatan, dan keadaan batinnya.
Hati nuraninya menjadi bagian dari kekuatan dirinya karena dia sadar bahwa segala hal yang akan mengganggu ketentraman jiwaya merupakan dosa . Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari an-Nuwas bin Sam’an bahwa dia berkata, “saya bertanya kepada Rasulullah tentang dosa. Maka beliau bersabda.
“Dosa ialah yang merisaukan hatimu dan kamu tidak suka orang lain mengetahuinya.”
Dengan demikian, kejujuran buka datang dari luar, tetapi adalah bisikan qalbu yang secara terus-menerus mengetuk-ngetuk dan memberikan percikan cahaya Ilahi. Ia merupakan bisikan moral luhur yang didorong gelora cinta kepada Ilahi (mahabbah lillah.). Kejujuran bukan suatu keterpaksaan, melainkan sebuah panggilan dari dalam (calling from within) dan sebuah keterikatan (commitment, aqad, i’tiqad).
Adapun orang yang tidak jujur (al-kadzab) adalah orang yang menipu dirinya sendiri dengan menghancurkan atau menghapuskan seluruh nilai moral yang dimilikinya. Orang yang tidak jujur berarti tipikal manusia yang dengan teganya menyangkal suara qalbu dan dengan sangat memalukan berani melecehkan harga dirinya sendiri.
Orang menjadi tidak jujur karena dia tampil sebagai manusia pengecut (moral cowardice) yang kehilangan kepribadian untuk menyatakan keyakinan-keyakinan sendiri . Dia bukan lagi dirinya sendiri sehingga orisinalitas atau keaslian dirinya hilang. Akar batinnya sangat rapuh dan gampang tumbang ketika diterpa angin. Kalau toh harus berdiri, dia bagaikan pucuk bambu yang bergerak kemana angin berhembus . Jati dirinya terkubur oleh polesan bedak penuh kepalsuan. Orang yang tidak jujur adalah orang yang bersembunyi dari orisinalitas atau keaslian dirinya. Ia berpura-pura, hipokrit, atau munafik.
Perilaku yang jujur adalah perilaku yang diikuti dengan sikap tanggung  jawab atas apa yang diperbuatnya. Dia siap menghadapi risiko dan seluruh akibatnya dengan penuh suka cita. Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk melemparkan tanggung  jawab kepada orang lain karena sikap tidak bertanggung  jawab merupakan pelecehan paling azasi terhadap orang lain, dan sekaligus penghinaan terhadap dirinya sendiri dan Tuhan,
“Janganlah kamu mengetahui bahwa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang  kepadamu.” (al-Maidah:48)
“Hai orang orang yang beriman , bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang orang yang benar.” (at-Taubah:119)
Kejujuran dan rasa tanggung  jawab yang memancar dari qalbu, merupakan sikap sejati manusia yang bersifat universal. Sehingga , harus menjadi keyakinan dan jati diri serta sikapnya yang paling otentik, asli, dan tidak bermuatan kepentingan lain,  kecuali ingin memberikan keluhuran makna hidup. Dia sadar bahwa keaslian kepribadiannya itu merupakan ungkapan kejujuran yang kepribadiannya itu merupakan ungkapan kejujuran yang paling fundamental, tanpa dipengaruhi dan dibentuk orang lain atau lingkungannya. Dia bertanggung jawab, bersikap jujur, dan siap untuk menerima segala risiko karena kerinduannya untuk menjawab bisikan qalbunya. Itu benar benar kesadaran azasi untuk memenuhi tugas sosial, maupun manusia ilahi.
1.                  Jujur Pada Diri Sendiri

Salah satu dimensi moral yang dilahirkan shalat adalah kejujuran, keikhlasan, dan ketabahan. Seseorang yang sedang melaksanakan Shalat, begitu taat dan bersungguh-sungguh untuk mengikuti seluruh proses sejak dari takbir sampai salam. Tidak pernah kita dengar ada orang yang menipu jumlah rakaat dalam shalat walaupun dia shalat sendirian.

Shalat ritual telah melahirkan nuansa kejujuran dan melaksanakan seluruh kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab. Bagi orang-orang yang shiddiq, esensi shalat tidak berhenti sampai ucapan assalamu’alaikum, tetapi justru ucapan itu merupakan awal bagi dirinya untuk membuktikan hasil shalatnya dalam kehidupannya secara actual dan penuh makna manfaat.

Kita tidak pernah akan jujur kepada diri sendiri selama tidak mempunyai makna hidup yang sejati yaitu berpihak kepada kebenaran juga selama tidak merasakan kebahagiaan sejati adalah terpenuhinya makna hidup tersebut.
Jujur pada diri sendiri juga berarti kesungguhan yang amat sangaat untuk meningkatkan dan mengembangkan misi dan bentuk keberadaannya (mode of existence) untuk memberikan apa yang terbaikbagi orang lain. Dia menanpakkan dirinya yang sejati, apa adanya, as it is,lurus, bersih dan otentik. Dia meyadari bahwa keberadaan hanya punya makna bila memberikan manfaat bagi orang lain secara terbuka (transparan) tanpa kepalsuan, apa lagi meyembuyikan fakta kebenaran tau memanipulasinya. Inilah yang disebut sebagai keberadaan ot5entik ( autbentice xistence ) atau berdiri lurus sebagai mana allah berfirman,
“jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama islam) benar – benar kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak) .” ( al-jin:16)

Dia adalah tipe manusia yang berjalan dengan penuh keyakinan diri yang kuat. Berdiri diatas kebenaran (qadama sbiddiain) dan sadar bahwa dia harus mengambilkeputusan, mandiri, dan berbuat tanpa harus menggantungkan diri kepada orang lain (idependen).
Kesadaran otentik berarti juga meyadari sebenarnya amanah yang diterimanyasebagai rahmat lil alamin. Sehingga, orang yang jujur tidak hanya sekadar mengungkapkan keberadaanya, tetapi juga bertanggung jawab atas seluruh ucapan dan perbuatanya. Sebaliknya, keberadaan yang “tidak otentik atau hidup yang palsu itu” adalah tipe manusia yang meyembuyikan atau mengingkari tugas dan tanggung jawabnyadalam keberadaan dirinya di dunia. Keberadaannya menjadi tidak murni dikarenakan ketergantungannya kepada orang lain. Dia hanya mau berbuatatau mengukuhkan dirinya ( self affirmation ) karena pamrih, tepuk tangan pujian, dan dorongan orang lain. Keberadaan dirinya beserta perbuataan dan tindakanya benar-benar hanya digerakan oleh orang lain, sebuah ke pura-puraan.
Bagi seseorang yang memiliki jiwa kejujuran yang otentik, tepukan pujian dan penghargaan hanyalah sekedar akibat sampingan (side effect) dari upya dirinya meberikan makna hidup yang sejayi. Pujian, tepukan, uang dan kenikmatan duniawi bukan;ah tujuan atau motipasi yang sebenarnya. Orang yang sibddiq termasuk dalam kelompok al-abrar, yang bekerja bukan mencari kedudukan duniawi melainkan ridha allah semat-mata sebagai man tercantum dalam surah al-inssan ayat 8-9 dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah saw. Bersabda,
“begitu mendalamnya kerinduan orang-orang yang berbuat baik (al-abrar) untuk berjumpa dengan –Ku, padahal kerinduan-Ku untuk berjumpa dengan mereka adalah lebih besar lagi.”
Sebaiknya para pendusta dan orng munapik baru tergerak bila ada paktor luar (yang bersipat duniawi, terrestrial) mempengaruhi dirinya. Norma-norma lingkungan di luar dirinya sangat dominan. Haw nafsu menjadi dorongan dan kerangka acuan untuk memenuhi ego dirinya saja. Mengapa harus mendengarkan suara hati, selama orang lain mendukungnya untuk bersepakat berkolusi ? Bagi orang yang munafik, nilai kejujuran dianggap nilai kelemahan, sok moralis, kemustahilan yang tidak masuk akal, absur dan nonsense!
“jujur hancur, curang menang”. Inilah moto-moto-orang munafik, sang pengecut yang tidak pernah siap untuk menghadapi tantangan. Mereka telah menjadi pecundang sebelum bertanding karena seluruh gerak tindakannya tidak lagi otentik. Mereka tidak senang dengan tantangan dan tekanan, apalagi harus berusaha payah. Etos kerjanya sangat rendagh dan hidup ingin cepatdapat tanpa pengorbanan atau perjuangan. Persetan dengan kejujuran, yang penting tujuan bisa tercapai . audzubillahi min dzaalik !
Koentjaraningrat menulis, “Mentalitas yang bernafsu untuk tujuan secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha dari permulaan selangkah demi selangkah. Untuk mudahnya, kita sebut saja ‘mentalitas meneraba’. Dalam masyarakat indonesia sekarang ini, tampak banyak usahawan yang mau saja mencapai dan memamerkan taraf hidup mewah dalam waktu secepat-cepatnya dengan cara-cara tidak lazim atau dengan cara menyikat keuntungan sebesar-besarnya mumpung ada kesempatan, tanpa mau mengunyah pahit getirnya permulaan berusaha.”
Orang yang sudah tidah lagi menjadikan kejujuran sebagai martabat, adalah tipe manusia tidak memiliki keberanian moral atau pengecut. Dia tidak mempunyai nyali untuk bersikap otentik, jujur, dan mempunyai makna hidup yang sejati. Sering kali dia berdalih dengan sangat fasih hanya sekedar untuk menutupi segala kegagala dan kelemahan dirinya. Dia sangat piawai merekayasa kebohongan dan memanipulir fakta untuk mewujudkan keinginanya. Bahkan, bila perlu, dia halalkan segala cara untuk memenuhi ambisi pribadinya.
Orang yang tidak jujur pada dirinya adalah orang yang kehilangan sikap kesatria (futuwwah). Dia seorang pengecut dan tidak mempunyai nilai atau martabat. Orang yang kehilangan keberanian untuk bersikap jujur, adalah orang yang pada hakikatnya tidak mencintai dirinya sendiri. Kepentingan diri tidak selamnya menggambarkan cinta diri karena dalam muatan cinta ada tanggung jawab. Sebaliknya, dalam kebencian dan kemarahan tanpak bahwa perilaku seseorang cenderung kepada kekuatan yang merusak dan mengabaikan jeritan hati nurani. Dia mejadi manusia yang berpihak kepada tuntutan luar tanpa memeliki keberanian yang berbeda atau meyatakan pendapat.
Sebenarnya inilah yang dimaksud dengan selfish. Erich From menggambarkan sikap manusia yang hanya mementingkan dirinya sediri (selfish) sebagai “ orang yang tidak mampu mencintai orang lain, dan pada saat yang sama dia pun tidak mampu mencintai dirinya sendiri” (incapable of loving others, but they are not capable of loving themselves either). Semangat ucapan ini telah disampaikan ratusan tahun sebelum oleh Rasulullah SAW. Yang bersabda,
“bukanlah pengikutuku, mereka yang tidak mencintai orang lain sebagaimana mencintai dirinya.”
Untuk itu,orang yang berpihak kepada kebenaran selalu berkeinginan untuk memberikan makna terhadap tujuan, prinsip-prinsip, serta mengambil peran yang jelas dalam keberadaan dirinya di tengah-tengah pergaulna social yang merupakan awal dari ungkapan kejujuran pada dirinya.
Jujur pada diri berarti dia “memulai dengan sikap disiplin, taat,dan mengakui kemampuan yang dimikilinya”. Dia mampu mengendalikan diri dan tidak ingin memaksakan kehendak apabila keinginannya tidak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Tidak terlintas untuk melakukan kepalsuan atau kebohongan hanya karena alasan “gengsi” atau “prestise” karena kejujuran berarti juga keberanian untuk mengatasi dirinya sendiri. Atau, untuk berkonfrontasi dengan dorongan nafsu rendah yang bertentangan dengan suara qalbunya. Bahkan, dia merasa ada kenikmatan yang sangat luar biasa apabila mampu berpihak pada nuraninya, mampu mempertahankan kebenaran, dan dengan penuh disiplin mengabdi pada prinsip-prinsip yang diyakininya meskipun resiko atau situasi yang terburuk sekalipun harus menerpa dirinya.
Seorang filsuf memuji para pemberani yang mampu mau mempertahankan jati dirinya, Brave is who knows fear but conquers,who sees the abyss, but with pride ‘keberanian adalah mereka yang tahu ketakutan, tetapi mampu menaklukan apa yang ditakutinya’.mereka yang melihat jurang yang dalam, tetapi merasa bangga’.”
Pokoknya, dapat kita katakan bahwa keberanian adalah jodohnya kekuatan; dan sang pengecut adalah mitra manusia yang berjiwa lemah, berkepribadian budak, dan yang berbuat menurut kehendak orang lain. Ketika keberanian telah tercerabut dari dadanya, dia terombang-ambing bagaikan sampah-sampah yang dipermainkan deru ombak samudra.
Jiwa pecundang dan pengecut terperangkap oleh ambisi diluar jangkauan kemampuannya. Dia pergunakan segala cara untuk memenuhi keinginanannya tersebut dengan memaksakan diri dan mencoba mencari celah-celah hukum. Hal ini terjadi karena dia tidak mampu mengakui keterbatasan kemampuannya sendiri.
Dia tidak jujur pada dirinya. Dengan sangat sinis, Nietzsche menuding tipe manusia seperti ini sebagai manusia dengan moral yang sangat renda, ”Will nothing beyond your capacity; there is a wicked falseness who will beyond their capacity’ jangan menghendaki sesuatu yang melebihi kemampuanmu. Mereka yang menginginkan sesuatu diluar kemampuannya sendiri,mengandung kepalsuan yang sangat memalukan’.”
Jujur pada diri sendiri berarti keterbukaan jiwa yang sangat transparan, bagaikan kaca-kaca bening yang tidak ada noktah sedikitpun. Tidak ada yang tersembunyi dari kesadaran nuraninya.dengan gagah berani, dia akui kelemahan dirinya.dia tidak merasa hina apabila menaati prinsip-prinsip keyakinannya, kendati hal tersebut membawa konsekuensi yang pahit bagi pergaulan sosialnya. Lebih dari itu, seorang yang memiliki sifat shiddiq sangat takut terhadap ancaman Allah yang ditujukan kepada mereka yang dihatinya ada penyakit nifak,
“Sesungguhnya orang-orang munafikitu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. “ (an-Nissa: 145)
Itulah sebabnya, mereka yang bersemi benih shiddiq di hatinya tidak pernah mau manggadaikan makna hidupnya untuk perbuatan dan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keyakinannya. Baginya, kebahagiaan bukanlah terletak padamateri, jabatan, ataupun pujian orang lain, melainkan terletak pada kata hatinya sendiri. Hal yang paling esensial bukanlah bagaimana caranya memperoleh dunia walaupun kita sadar bahwa duniamutlak kita butuhkan. Tetapi, yang esensial adalah prinsip-prinsip moral yang melandasi upaya kita untuk mendapatkannya. Dia sadar bahwa dunia hanyalah sekedar sandiwara, sebuah permainan yang penuh dengan tipu daya (delusi).
2.                  Jujur terhadap orang lain
Jujur terhadap orang lain bukan hanya berkata dan berbuat benar, namun berusaha memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi orang lain, sebagaiman Rasulullah saw. Bersabda,
Sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
Secaradeskriptif, Allah menjelaskan akhlak Rasulullah dalam hal kepeduliannya terhadap orang lain.
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat blaskasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at-Taubah: 128)
Sikap jujur terhadap orang lain berarti sangat prihatin melihat penderitaan yang dialami mereka. Sehingga, seorang yang shiddiq mempunyai sikap empatiyang sangat kuat dan mempunyai jiwa pelayanan  yang prima (sense of stewardship). Maka, tidak mungkin seseorang merasa gelisah berada bersama-sama dengan kaum shiddiqiin karena mereka adalah sebaik-baik teman yang penyantun dan penyayang serta direkomendasikan Allah. Tidak mungkin para shiddiqiin itu akan mencelakakan orang lain karena di dalam jiwanya hanya bersemi cinta kasih dan kepedulian yang amat sangat untuk memberikan kebaikan, sebagaimana Rasulullah saw. Bersabda,
“Barang siapa yang menyayangi yang di bumi ini niscaya akan disayangi oleh Yang di langit .”
Selanjutnya, Rasulullah bersabda,
“Tiada manusia yang merendahkan seorang muslim pada suatu tempat dengan merampas kehormatannya dan mencela harga dirinya, melainkan Allah akan merendahkannya di suatu tempat ketika diamenghendaki pertolongan-Nya. Tiada manusia yang menolong seorang muslim pada suatu tempat yang dirampas kehormatan dan harga dirinya, melainkan Allah akan menolongnya pada tempat di mana dia menghendaki pertolongannya.” (HR Abu Dawud)
Kejujuran yang merasuki seluruh sukma para shidddiqiin  itu memberikan pengaruh yang nyata terhadap sikap dan prilakunya terhadap orang lain. Kepribadian orang yang shiddiq  sangat memikat. Raut wajahnya mencerminkan sikap yang optimis, berfikir positif, dan penuh gairah. Mereka selalu bersiap diri untuk mengulurkan tangan penuh manfaat untuk peningkatan mutu orang lain yang secara otomatis memberikan pengaruh positif terhadap dirinya, karena mereka sadar bahwa keberadaan dirinya hanya dapat berkembang bersama dengan orang lain pula. Bila seorang pemikir berkata, “Aku ada karena aku berfikir (cogito ergo sum),” maka seorang yang shiddiq akan berkata, “Aku ada karena aku bersama orang lain untuk menegakkan kebenaran dan kejujuran.”
Jiwa pelayanan telah merasuki para nabi dan sahabatnya. Nabi Muhammad saw. merasa  sangat prihatin dan ikut berempati ketika seoran anak kehilanagan burung kesayangannya. Bahkan, Abu Bakar r.a. memerah susu kambing untuk tetangganya, walaupun saat itu kedudukannya sudah menjadi seorang khalifah. Semua itu karena rasa perhatian dan ingin memberikan arti bagi orang lain, merupakan sisi lain dari kepribadian seorang yang mempunyai sifat shiddiq. Jujur terhadap orang lain, adalah kerinduannya untuk memberikan manfaat.
Seorang yang shiddiq tidak bersifat reaktif menyalahkan orang lain tetapi mengintrospeksi dirinya  atau melakukan muhasabah pada dirinya terlebih dahulu karena dia sadar bahwa dirinya bagian dari kelompok tersebut. Inilah yang dikatakan Rasulullah sebagai, “ibda bin-nafsik’mulai dari diri sendiri’”, yang saat ini kita mengenalnyadengan istilah proaktif. Kejujuran melahirkan sikap percaya dirinya yang mendorong dirinya sebagai lampu yang terang, sebagaimana misi kenabian yang dinukilkan Al-Qur’an,
“Hai. Nabi, sesungguhnya kami mengutusmu untuk menjadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Juga untuk jadi penyatu kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi (as-sirajan muniran).” (al-Ahzab: 45-46)
Dengan mengikuti jejak Rasulullah saw., orang berada dalam kegelapan tercerahkan menuju cahaya. Orang yang terperangkap kemelutan  permasalahan merasa terbebaskan karena kehadiran dan bantuan dirinya yang tulus dan Kafan (menyeluruh). Yang sempit dilapangkan dan yang tersesat disadarkan.
Bagaikan air suci yang menyucikan, dan tidak hanya ingin memurnikan dirinya sendiri, tetapi ada semacam misi suci (sacred mission) untuk mengajak orang lain. Itu dilakukan sebagai rasa tanggung jawabnya untuk melangkah menapaki jalan lurus menggapai ridha Ilahi,
“Orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya. Mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (az-Zumar: 33)
Dalamhubungannya dengan dunia kerja, sikap shiddiq akan melahirkan para karyawan yang enerjik penuh antusiasme. Karena, dalam melaksanakan tugas-tugasnya, mereka tidak merasa terhambat oleh berbagai kebohongan yang akan merusak dirinya. Mereka menyadari bahwa setiap kebohongan akan diikuti oleh kebohongan-kebohongan lainnya. Para ahli psikologi sudah membuktikan bahwa kebohongan akan melahirkan penyakit mental, rasa takut, stres, dan merasa tidak aman dalam menapaki kehidupannya, bahkan kebohongan merupakan cikal bakal dari penyakit psikis yang akan menggangu dirinya dan menimbulkan gangguan dengan keluarga, teman sejawat, bahkan masyarakatnya.
Kejujuran telah melahirkan sifat kepemimpinan yang berorientasi pada upaya menunjukan bentuk keteladana (uswatun hasanah, excellen exemplary) sebagaiman kerinduan kita pada Rasulullah saw. yang memberikan begitu banyak mutiara akhlak untuk sijadikan suri teladan,
Sesungguhnya, telah adapada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. Yaitu, bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat serta dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)
Dengan semangat meneladani akhlak Rasulullah saw. para shiddiqiin yang menjadikan kepribadian dirinya sebagai inspirasi dan motivasi yang kuat dalam rangka meningkatkan mutu dan memberdayakan kualitas orang lain (yang di dalam literature manajemen dikenal dengan super leadership).
Jiwa kepemimpinan para shiddiqiin  itu sangat peka terhadap penderitaan, kesulitan,dan tekanan masalah yang dihadapi orang lain. Mereka sangat peduli untuk dapat mengulurkan tangan meringankan beban dan mengangkatnya kepada kemudahan dan kebahagiaan. Inilah akhlak yang paling dominan sebagai dasar utama kepemimpinannya, sebagaimana suasana hati Rasulullah yang difirmankan secara deskriptif di dalamAl-Qur’an,
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat blaskasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at-Taubah: 128)
Khalifah Umar ibnul-Khathab r.a.menggigil dan merasakan tubuhnya sangat lemah karena beberapa hari berpantang minyak samin yang merupakan vitamin untukmemperkuat tubuh. Para sahabat mendesaknya agar meminta uang dari baitul mal untuk membeli minyak samin, tetapi ibnul-Khaththab menolaknya dan bertahan sampai keadaan normal kembali. Ia berkata, “Bagaimana aku dapat memperhatikan kepentingan rakyat bila aku tidak merasakan derita yang mereka rasakan.” (fipud Da’wah: 234)
Inilah sifat para shiddiqiin yang cepat bergetar jiwanya melihat penderitaan dan kerusakan orang lain. Mereka memiliki daya empati yang luar biasa sehingga mampu melebur diri dan merasakan rintihan lingkungannya.
Rasa empati merupakansalah satu cirri orang yang mempunyai sikap shiddiq. Dirinya tidak mungkin berpangku tangan (al-Qu’ud) melihat permasalahan di sekitarnya. Sikapnya yang proaktif selalu bersiap diri untuk mengulurkan tangan memberikan pertolongan tanpa mengharapkan balasan apapun karena apa yang dilakukannya hanya mengharapkan ridha Allah.
Dirinya ingin selalu memberikan nilai tambah . bahkan, dalam halmemperoleh kebaikan dari sesame temannya, dia ingin sekali membalasnya melebihi apa yang telah dia terima. Hal ini sesuai dengan semangat akhlak Qur’ani yang menyatakan,
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya, Allah  memperhitungkan segala sesuatu.” (an-Nisaa: 86)
Dalam hal mengambil keputusan atau memecahkan persoalan, bentuk musyawarah merupakan salah satu cirri kepemimpinan beliau. Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“ apabila pemimpin –pemimpin kamu orang-orang baik , apabila orang-orang kaya diantara kamu orang yang murah hati, dan apabila perkara kamu dimusyawarahkan diantara kamu, maka permukaan bumi ini (kehidupan) lebih baik bagimu daripada bumi (kematian).” (HR at-Tirmidzi)
Alah SWT berfirman,
“Makadisebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjaukan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu,. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya..” (Ali Imran: 159)
3.                  Jujur Terhadap Allah
Jujur terhadap Allah berarti berbuat dan memberikan segala-galanya atau beribadah hanya untuk Allah. Hal ini sebagaimana di dalam doa iftitah, seluruh unat islam menyatakan ikrarnya bahwa sesungguhnya solat, pengorbanan, hidup, dan mati mereka hanya diabaikan kepada Allah Yang Maha Mulia. Pernyataan ini merupakan komitmen yeng secara terus-menerus harus diperjuangkan agar tidak keluar atau menyimpang dari arah yang sebenarnya. Itulah sebabnya di dalam Al-Qur’an banyak ditemukan kata shirat, syari’ah, thariqah, sabil, dan min haj, yang semuanya memberikan makna dasar “jalan.”
Al-Qur’an seakan-akan memberikan tamsil (metafora) bahwa kejujuran dan petunjuk menuju kebenaran hanya akan dapat ditempuh melalui jalan lurus, luas, dan lapang (shiratahal mustaqiim) yang diberikan Allah untuk mempermudah manusia mencapai ridha-Nya. Abdullah Yusuf Ali memberikan tafsirnya atas shiratahal mustaqiim, “mungkin kita tersesat karena berjalan tanpa arah tujuan. Langkah pertama ialah mendapatkan jalan dan kedua supaya tetap di jalan itu (for we may be wandering aimlessly, and the first step is to find the way and the second need is to keep in the way).”
Jalan ini akan memberikan kemudahan bagi pemakainya sehingga dijamin keselamatannya danlebih cepat serta lebih efisien untuk mencapai tujuan. Jalan selainnya hanya akan menambah jauh perjalanan, bahkan bias tersesat karena terpedaya oleh jalan yang penuh dengan fatamorgana, delusi, dan melelahkan.Allah berfirman,
“Ini adalah jalanku yang lurus maka ikutilah dia. Janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (al-An’am: 153)
Berkaitan dengan shiratahal mustaqiim ini, cendekiawan muslim Dr. Nurcholis Madjijd menjelaskan, “keotentikan hidup yang dihasilkan iman kepada Tuhan itu didapatkan dengan menempuh jalan lurus, berbentuk sikap jujur dan sejati secara ikhlas (murni). Keikhlasan itulah yang membawa kepada ketuhanan hidup manusia.”
Jujur terhadap Allah adalah soal hati nurani. Ada semacam sebongkahan iman yang merasakan bahwa dirinya senantiasa dilihat Allah. Ada kamera Ilahi yang secara terus-menerus menyoroti qalbunya. Dia merasakan bahwa Allah senan tiasa hadir dan menampakkan diri di mana-mana (omnipresent), sebagaimana firman-Nya,
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qaaf: 16)
Karena itu Rasulullah memberikan bekal iman untu menempuh jalan tersebut,
“Beribadahlah seakan-akan engkau melihat-Nya dan bilaengkau tidak melihat-Nya, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah melihatmu..”
Suasana batin yang merasakan kehadiran Allah, menyebabkan mereka tidak sekalipun terlintas untuk berbohong. Karena kebohongan bagi mereka merupakan kebodohan dan pengingkaran yang amat nyata terhadap keimanannya, sebagaimana Allah berfirman,
“Sesungguhnya, yang mengada-ngadakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tdak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (an-nahl: 105)
“Jangan kamu ikuti orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. Merekamenginginkan supaya kamu bersikap lunaklalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (al-Qalam: 8-9)
Orang-orang yangshiddiq terhadap Allah itu memelihara cahaya ilahi dalam bentuk petunjuk (budaa) yang menerangi seluruh relung qalbunya, sehingga tampaklah sebuah keyakinan yang mendalam bahwa dirinya tidak pernah sendirian karena Allah selalu melihat dan beserta dirinya sebagaimana tercantum dalam surat al–Baqarah ayat 115.
            Hal ini tentu saja menjadi gumpalan iman yang membuat dirinya menjadi tenteram (aman) dan tidak pernah mempunyai keraguan sedikitpun di dalam membawa misinya yang selalu berada di atas jalan yang lurus untuk mengantarkan dan menyebarkan nilai-nilai kebenaran. Dengan modal kejujuran yang dimilikinya, mereka memberikan peringatan, seruan, dan ajakan mengembangkan kualitas kehidupannya secara bersama, syumul wasy-syamil sempurna dan luhur’, sebagai mana firman-nya,
            Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi (qaddama shidqin) di sisi tuhan mereka.” (Yunus: 2)
            Para shiddiqiin itu memperoleh kemuliaan dan tempat yang tinggi di sisi Allah. Mereka berada di tempat yang berkelimpahan karunia yang tiada tara dan menjadi contoh teladan yang disiarkan dalam bentuk sebutan yang baik,
            “Kami anugrahkan kepada mereka sebagai diri rahmat kami dan kami jadikan mereka buah tutur yang baik (lisaana shidqin) lagi tinggi (“aliyaan).” (Maryam: 50)
4. Menyebarkan Salam
            Salam tidak hanya member pengertian selamat, tetapi mempunyai kandungan bebas dari segala ketergantungan dan tekanan, sehingga hidupnya terasa damai,tenteram,dan selamat. Karena itu, setiap[ muslim akan mengucapkan salam setiap akhir sholat, seakan-akan mereka ingin membuktikan bahwa hasil dari audiensinya dengan Allah akan dinyatakan secara nyata dan aktual dalam kehidupannya, yaitu ikut berpartisipasi dan dirinya sendiri merupakan bagian dari salam tersebut,
            Dengan demikian, makna salam merupakan benang merah dan identitas palinng monumental yang menjadi misi dan hiasan kepribadian serta sikap dan prilaku seorang muslim, seakan meneruskan misi para nabi. Bahkan, agama-agama semitik sudah mengenal kata salam tersebut. Misalnya kaum Yahudi mengenal arti kata salomlikum yang sama artinya dengan assalmu’alaikum.
            Dalam hadits riwayat bukhari, Rasulullah saw. Bersabda tentang identitas atau definisi muslim yang diungkapnya dalam sebuah kalimat yang sangat menggetarkan hati. Beliau menyatakan bahwa yang disebut sebagai seorang muslim itu adalah mereka yang menyebabkn saudaranya selamat dari lidah dan tangannya.
            Minimal Sembilan kali, setiap muslim akan mengucapkan salam dalam sholatnya. Sebagai mana kita melakukannya pada saat memberikan tahiyah , yaitu salam kepada Allah. Mengapa kita harus memberikan salam kepada Allah ? karena kita tidak ingin ada lagi ikatan atau serba kekurangan yang akan membebani diri, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan tahiyah, berarti kita ingin menghadap dan memperoleh ridha-Nya (approval ) atas tanggung jawab seeluruh amal kita di dunia. Sehingga, pada saat kita kembali pulang ke kampong akhirat, jiwa kita merasa tenteram dan hati kita utuh (salim) tampa merasa kekurangan kecuali limpahan karunia allah, sebagai mana firman-Nya,
            “Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (salim).” ( asy-Syu’araa : 89)
            Menghsdsp Allah dengan hati utuh, damai, dan sejahtera itulah yang dimaksudkan dengan jiwa yang mutmainah. Allah ridha dan kita pun bergembira menerima keridhaan-Nya sebagai mana firman-Nya,
            “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Masuklah kedalam jemaah hamba-hamba-Ku.” (al- Fajr: 27 – 30)
            Kita pun mengucapkan salam kepada Nabi saw. Dengan penuh rasa tanggung jawab dan muhabbah ingin meneladani Sunnah dan akhlakn beliau sebagai tanda syukur kita kepada allah SWT. Kita juga menyampaikan salam kepadaseluruh umat yang termasuk salam kategori shalihin agar kita mampu mengambil hikmah dari kesalahan mereka dan ingin memberikan makna serta bagian dari karakter atau kebribadian yang saleh tersebut.
            Mereka ingin menciptakan surga tidak hanya yang tergambar dalam pengertian akhirat (jannah), tetapi benar-benar surge yang terlahir di dunia. Mereka juga ingin mewujudkan wahyu allah sebagai mana firman-Nya,
            “Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, tetapi mereka mendengar ucapan salam.” (al-Waaqi’ah: 25-26)
            Mereka yang ingin memiliki kecerdasan ruhaniah dan etos kerja Ilahiah, tentunya akan memberikan makna atau kondisi yang sangat mendalam terhadap kata salam sebagai bentuk atau kondisi yang akan menjadi kerangka acuannya. Karena mereka akan memulai segaloa sesuatu dari dalam dirinya, seluruh sikap kepribadian, lisan, dan tindakannya selalu membuahkan nilai atau dimensi salam. Bahka, pada saat mereka mendapatkan tekanandan kritikan sekalipun, mereka tetap tegar untuk membalasnya dengan salam, sebagai mana firman-Nya,
            “Hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati. Apabila orang-orang jahil menyapa mereka, maka mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (al-Furqaan: 63)
            Sikap salam menjadi darah daging dan mata hatinya (intuisi), sehingga seorang salim itu akan tampak dari cara dirinya berbicara. Mereka tidak berbicara kecuali fakta dan cara berkomunikasinya penuh empati serta memberikan bekas yang mendalam (impression) kepada lawan bicaranya. Mereka santun dan penuh perhatian serta selalun memberikan tanggapan positif yang menyebabkan lawan bicaranya merasa terjaga self esteemnya ‘harga diri’.
            Hal ini membuktikan melalui penelitian terhadap tiga ribu eksekutif yang diteliti dari cara mereka mengambil keputusan. Ternyata, mereka yang berhasil meraih prestasi puncak adalah mereka yang mampu memanfaatkan intuisinya. Allah berfirman,
            “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengatahui apa-apa yang ada dalam hati mereka. Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka dan berilah mereka pelajaran. Katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka (qaulan balighan0.” (an-nisaa: 63)
                                                      
b. Fathanah
            Pada mereka, fathanah diartikan sebagai kecerdasan, kemahiran, atau penguasaan terhadap bidang tertentu padahal makna fathanah merujuk pada dimensi mental yang sangat mendasar dan menyeluruh, sehingga dapat kita artikan bahwa fathanah merupakan kecerdasan yang mencangkup kecerdasan intelektual, emosional, dan dan terutama spiritual.
            Seorang yang memiliki fathanah, tidak saja menguasai bidangnya, tetapi memiliki dimensi ruhani yang kuat.   Keputusan-keputusannya menunjukkan warna kemahiran seorang professional yang didasarkan pada sikap moral atau akhlak yang luhur. Seorang yang fathanah itu tidak hanya cerda, tetapi juga memiliki kebijaksanaan dan kearifan dalam berfikir dan bertindak. Al-Qur’an menyebutkannya sebagai ulul-al-baab, bentuk jamak dari kata “lubbun” yang artinya kesadaran bawah sadar yang paling hakiki. Mereka mempunyai daya intuisi yang kuat sebagai hasil dari pembelajaran diri dari pengalaman-pengalamannya.
            Berdasarkan penelitian Aston agor yang dilakukan terhadap tiga ribu eksekutif, diketahui bahwa ternyata mereka yang berhasil meraih prestasi puncak adalah mereka yang paling cerdas dalam pendayagunaan intuisi pada saat pengambilan keputusan. Sedangkan, David Coleman mendefinisikan intuisi dan firasat sebagai kemampuan mengindra pesan-pesan dari gudang penyimpanan memori emosi kita, yakni tempat tersimpannya kebijaksanaan dan kearifan.
1.      Diberi Hikmah Dan Ilmu
      Mereka yang memiliki sikap fathanah mampu menangkap gejala dan hakikat di balik mata batinnya (basirah), mereka mampuu mengenal apa yang berada di balik apa yang tampak tersebut. Inilah yang dimaksudkan dengan hikmah yang lain diartikan sebagao kearifan (the man of wisdom). Allah SWT berfirman,

“Allah menganugrahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang dianugrahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Hanya orang-orang yang barakallah (ulul-al-baab) yang dapat mengambil pelajaran dari firman Allah.” (al-Baqarah : 269)

“Orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, Kami berfirman kepada ayat-ayat yang mutsyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan Kami. ‘Tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal (ulul-al-baab).” (ali Imron : 7)
            Kenijaksanaan dan kearifan atau hikmah tersebut, tentu saja tidak datang begitu saja, tetapi hasilnya dari proses belajar yang melahirkan kepekaan rasa batiniah. Kearifan hanya muncul bila kita mau mendengarkan suara batin (qalbu, conscience). Mengasahnya dengan perenungan, tafakur, serta menjadikan shalat dan doa sebagai terminal untuk mengistirahatkan beban fikiran yang seharian kita pergunakan. Shalat, doa, dan bertafakur memiliki makna lain dalam menumbuhkan kecerdasan fathanah, yaitu sebgagai sarana untuk memasuki dunia pribatin, mendengarkan ketukan halus dari dalam, dan merasakan bisikan rasa bawah sadar kita.
            Sesekali Berhenti sejenak, memarkir fikiran dan mulai merasakan bisikan dari suara hati. Memang benar bahwa perasaan selalu bersama kita, tetapi jarang sekali kita mau bersama dengan perasaan kita sendiri.
            Mereka yang memiliki nilai fathanah,  sangat besar kerinduannya untuk melaksanakan ibadah. Mereka mengharapkan Rahmat Allah dan dengan penuh rasa cinta mereka bangun di tengah malam untuk mengarungi samudra batinnya melaksanakan tahajud.
     “Apakah kamu hai orang-orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang dia takut kepada azab akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, ‘adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah (ulul-al-baab) yang dapat menerima pelajaran.” (az-Zumar : 9)
“orang-orang yang mengingat (berzikir) Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring.” (Ali Imron : 191)
            Ketaatan beribadah menunjukkan komitmennya terhadap hati nurani sekaligus menunjukkan wawasan jangka panjang (akhirat). Mereka mempunyai persepsi bahwa pekerja bukan untuk keperluan jangka pendek yang bersifat sesaat, melainkan sebuah amanah yang harus dipikulnya dengan tanggungjawab. Itulah sebabnya, ketaatan mereka dalam ibadah akan tampak dari cara mereka menaati peraturan sebagai role of the game  yang mengatur kehidupan kerja untuk mencapai keharmonisan, ketertiban, dan suasana kondusif yakni sebagai sarana yang akan memayungi dirinya untuk lebih kreatif dan bekerja lenih produktif.
            Bagi mereka, bekerja adalah menanam benih untuk kemudian mereka tuai di masa depan sebagai bentuk ibadah melalui pencapaian prestasi atau amal shaleh. Ketekunanya dalam menjalankan ibadah, melahirkan kepercayaan diri karena mereka bertawakal atau mengandalkan Dia sebagai pendukungnya (ta’wakal, ta’wakul wakil artinya tempat bersandar atau menjadi andalan).
            Kepercayaan diri ini pula yang mengantarkan banyak eksekutif mencapai sukses, sebagaimana yang di telilti oleh boyatzis. Ia mengatakan bahwa kepercayaan diri dapat muncul dengan sendirinya dalam penampilan diri yang sungguh-sungguh. Orang yang percaya diri seakan memancarkan karisma dan menularkannya kepada orang lain.
            Dikalangan para penyeria, manager, dan eksekutif, percaya diri yang tinggi bisa membedakan mana orang yang berprestasi dan mana yang biasa-biasa saja. Karena kemahirannya dalam menguasai bidang tertentu (professional) dan wawasannya yang selalu berangkat dari nilai moral yang luhur, seorang yang fathanah memiliki intuisi yang tajam dalam menganalisis persoalan dan mengambil keputusan dengan berani dan percaya diri.
            Saya mengenal seorang teman yang tidak pernah putus mengamalkan shalat sunnah dhuha. Dia bekerja di sebuah bank sebagai dealer money market yang selalu dating lebih awal dari jam kerjannya, hanya untuk menunaikan shalat dhuha sebelum kesibukan kantor mulai menyitanya.
            Salah satu kelebihan teman saya ini adalah intuisinnya yang tajam. Setiap keputusannya selalu membuktikan kepiawaiannya dalam membaca isyarat-isyarat yang tidak dapat di tangkap orang lain. Saat ini, dia memiliki perusahaan sendiri yang bergerak di bidang pengelolaan money changer.
            Demikian pula dengan Marzuki Usman. Sebagai seorang eksekutif, birokrat, dan aktivis, ia termasuk sosok pribadi yang kuat dan selalu dating di kantor lebih awal untuk menunaikan shalat dhuha sebelum melakukan apapun di kantornya.
            Dari kedua contoh nyata itu, kita ketahuai bahwa mengasah mata batin melalui shalat, doa, dan dzikir ternyata mampu memperkaya kepekaan intuisi.
            Paul Hersey, pengarang buku situational Leadership, mengatakan bahwa “pemimpin yang efektif bukan hanya mampu membaca situasi, melainkan mampu menangkap isyarat-isyarat yang tidak terucapkan. Mereka tidak hanya menguasai keilmuan dalam bidangnya, tetapi arif dan bijaksana dalam melihat situasi”.
            Mereka yang berjiwa fathanah mampu menempatkan dirinya sebagai focus perhatian lalu menjadikan dirinya sebagai figur teladan atau uswatun hasanah karena kemahirannya (profesionalisme) dan kepribadiannya yang mampu menumbuhkan situasi yang menentramkan. Orang dengan kecakapan seperti ini, menurut david Coleman, akan melakukan hal-hal sebagai berikut.
1.      Sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahannya.
2.      Menyempatkan diri untuk merenung dan belajar dari pengalaman.
3.      Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima perspektif baru, mau terus belajar, dan mengembangkan diri sendiri.
4.      Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan perspektif yang luas.
            Mereka yang memiliki jiwa fathanah mampu belajar dan menangkap peristiwa yang ada di sekitarnya, kemudian menyimpulkannya sebagai pengalaman berharga dan pelajaran yang memperkaya Khazanah pemikirannya. Mereka tidak segan untuk belajar dari dan mengajar. Karena bagi mereka, hidup hanya semakin berbinar ketika seseorang mampu mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut.
            Sikapnya proaktif, yaitu ingin memberikan makna yang berarti bagi lingkungannya. Dia ingin memahami orang lain sebelum dirinya di fahami, sehimgga sikapnya yang proaktif itu menyebabkan dirinya selalu berorientasi pada prestasi (achievements orientation). Sikap yang positif menumbuhkan kekayaan batin yang kuat karena ada semacam nyala api yang terus berbinar untuk belajar dan menagkap segala fenomena yang ada dengan sikapnya yang arif. Hal ini telah dinyatakan berulang-ulag di dalam Al-Qur’an,
“Hanyalah orang-orang yang berakal (ulul-albaab) yang dapat mengambil pelajaran.” (ar-Ra’d : 19)
“Supaya mereka mengetahui bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal (ulul-albaab) mengambil pelajaran.” (Ibrahim : 52)
“Inilah adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran (ulul-albaab).” (Shaad : 29)
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapatpengajaran bagi orangh-orang yang mempunyai akal (ulul-albaab).” (Yusuf : 111)
“Orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘kami beriman kepada ayat-ayat yang mustasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. ‘Tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal (ulul-albaab).” (Ali Imron : 7)
2.      Mereka Berdisiplin Dan Proaktif
              Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, disiplin diartikan sebagai “latihan dan watak dengan maksud supaya segala hal perbuatan selalu menaati tata tertib; ketatan pada aturan dan tata tertib”. Dari definisi tersebut, tampak beberapa aspek yang terkandung didalam pengertian disiplin.
a.       Disiplin merupakan latihan watak yang erat kaitannya dengan pemerkayaan mentalitas individu serta pembentukan sikap dan perilakunnya.
b.      Disiplin merupakan perbuatan atau perilaku untuk menaati tata tertib.
              Poerwadarminta melihat disiplin sebagai sebuah bentuk “layihan”, padahal yang sesungguhnya yang terjadi justru disiplin itu merupakan hasil dari sebuah latihan kebiasaan-kebiasaan.
              Selanjutnya harus diingat bahwa di dalam perilaku atau perbuatan disiplin terkandung pemahaman dan pengertian yang jauh lebih mendalam dari hanya sekedar hasil latihan atau mengetahui perilaku disiplin dari bentuk luarnya saja. Karena sebuah perilaku dapat saja sebuah tiipuan, rekayasa, atau perilaku yang berpura-pura.
              Sikap disiplin melahirkan perilaku proaktif yang didefinisikan oleh Stephen R. Covey sebagai taking initiative and responding to outside based one one’s principles, accept responsibility for their own actions, don’t blane and accuse others when things go wrong, work continuously within their circle of influence, and change and develop nthemselves first in order to have greater influence with others. ‘mengambil inisiatif dan member respons pada rangsangan dari luar berdasarkan pada prinsip-prinsip seseorang. Tidak menyalahkan dan menuduh orang lain ketika terjadi kekacauan. Terus bekerja di dalam lingkaran pengaruh mereka, mengubah dan mengembagkan diri mereka sendiri terlebih dahulu agar memiliki pengaruh yang lebih besar pada orang lain’.
              Covey menegaskan bahwa proactive is the most basic of highly effective person in ay environment ‘proaktif merupakan kebiasaan yang paling mendasar dari seseorang yang sangat efektif dalam setiap keadaan’.
Mereka yang proaktif berkata,
              “Marilah melihat alternative atau kemungkinan lain
              Saya dapat memilih atau mencari pendekatan lain
              Saya dapat mengendalikan perasaan saya
              Saya akan mencoba mencari cara dan metode lain
              Saya akan terus mencoba
              Saya tetap optimis”
Sedangkan yang reaktif akan berkata,  
“Ah, saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi
Ini memang sudah suratan takdir, sudah nasib
Mereka membuat sata benar-benar gila
Pokoknya saya harus
Mau apa lagi, pokoknya tidak bisa
Rasanya susah, ya. Saya pesimis, kok”

Orang yang fathanah pasti bersikap positif dan memandang disiplin sebagai konsep dan gambaran diri (self image) serta martabat diri (meaning and self esteem). Mereka menerjemahkan disiplin secara lebih mendalam dan hakiki, yaitu pola probatin dalam bentuk keterpanggilan untuk taat dan bertanggung jawab. Dalam pengertian pribatin ini, nurani kita terpanggil untuk berbuat dan siap mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut. Inilah sebenarnya yang kita maksudkan dengan disiplin, sebuah perilaku yang keluar secara sejati dari hati nurani, sebuah komitmen untuk setia terhadap nurani dan menunjukkan rasa tanggung jawab yang tinggi.

Mereka memenuhi setiap komitmen atau janji karena mereka sadar bahwa harga dirinya terletak pada sejauh mana mereka disiplin terhadap komitmen tersebut.
“Hanyalah orang-orang yang berakal saja (ulul albaab) yang dapat mengambil pelajaran. Yaitu orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut akan hisab yang buruk. Juga orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan solat, dan menafkahkan sebagian Rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan. Orang-orang itulah yag mendapat kesudahan yang baik.” (ar-Ra’d: 19-22).

Mereka yang fathanah memandang disiplin sebagai cara individu untuk menunjukkan jati diri dan harga dirinya. Memang, sekilas tampak bahwa disiplin itu mengikat dirinya, tetapi secara lebih mendalam justru merupakan ciri dan cara seorang menghayati nilai kemerdekaan. Dia sadar bahwa dia merdeka bukan untuk merdeka, tetapi merdeka dalam keterikatan. Dengan demikian, disiplin adalah salah satu bentuk ikatan yang justru merupakan ciri dan cara manusia yang menghayati  makna kemerdekaan. Disiplin adalah keniscayaan manusia yang ingin memuliakan dirinya. Karena, tanpa disiplin, sungguh mustahil manusia akan menemukan makna dirinya dalam upaya meningkatkan martabat dan derajatnya dari waktu ke waktu.

a.       Sikap disiplin adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam keberadaan individu di tengah-tengah norma-norma yang ada di lingkungannya. Sikap disiplin belum menjadi perilaku, tetapi baru dalam bentuk tendensi dan kecenderungan berperilaku dengan cara tertentu terhadap objek tertentu apakah berupa orang, tempat, benda, gagasan, situasi dan lain-lain.
b.      Sikap disiplin bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan arah, apa yang harus dipatuhi dan dihindari, sehingga mempunyai daya pendorong atau motivasi.
c.       Sikap disiplin timbul dari pengalaman, tidak dibawa-bawa sejak lahir. Disiplin merupakan hasil belajar dan mencakup aspek kognitif, apektif dan behavioral. Keyakinan dan prinsip kepercayaan adalah komponen kognitif, kebiasaan-kebiasaan adalah komponen afektif, dan tindakan merupakan bentuk behavioral.

Dengan demikian, tampak dengan jelas bahwa menegakkan disiplin adalah sama dan sebangun dengan menegakkan kebenaran, prinsip yang kita yakini. Itu semua dinilai dari hati nurani. Pasukan yang berdisiplin dan berpihak pada prinsip-prinsip kebenaran itu akan bertarung dan harus mengalahkan hawa nafsu yang mempunyai pasukan kekufuran. Para serdadu disiplin akan terus- menerus bertempur dengan serdadu hawa nafsu yang selalu membawa kepada penyagkalan hati nurani.

PASUKAN DISIPLIN MELAWAN PASUKAN KEKUFURAN









DISIPLIN
KEKUFURAN
Taat Patuh
Menerima
Berani
Jiwa Ksatria
Terbuka
Efisien
Tepat Waktu
Amanah
Tepat Janji
Ksatria
Berani terhadap Resiko
Harga Diri
Solidaritas, Tepo Saeliro
Rendah Hati
Ulet, Tangguh
Membangkang
Menolak
Takut
Tertutup
Selingkuh
Boros
Jam Karet
Khianat
Ingkar Janji
Munafik
Tidak Bertanggung Jawab
Tidak Punya Malu
Egois
Gila Hormat, Serakah
Kurang Sabar, Menggerutu









3.      Mampu Memilih yang Terbaik

Instuisi, kecerdasan, dan kearifannya menuntun dirinya untuk selalu berpihak kepada kebenaran. Mereka tidak segan untuk belajar dari siapapun karena kesadaran dirinya untuk selalu memprkaya batiniahnya. Rasulullah bersabda, “Ambilah kebenaran walaupun datangnya dari mulut seorang habsy.”

Sikapnya terbuka dan menjadikan dialog serta musyawarah sebagai bagian dari cara dirinya berinteraksi dengan orang lain. Dalam suasana berdialog atau bermusyawarah tersebut, mereka akan belajar dan memperoleh nilai-nilai penuh hikmah dan pemerkayaan batin yang dengan pengalamannya itu pula mereka mampu mempertajam instuisinya untuk memilih yang terbaik.
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk Allah dan meraka itulah orang-orang yang berakal (ulul albaab).” (az-Zumar: 18).
“Katakanlah. Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu. Maka, bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang berakal (ulul-albaab).” (al-Maa’idah: 100).

Mereka sangat inovatif dan mau menerima gagasan-gagasan baru, memiliki gaya adaptabilitas yang tinggi terhadap perubahan dan selalu berorientasi pada prestasi.

Orang-orang yang inovatif dan adaptif itu diuraikan ciri-cirinya oleh David Coleman sebagai berikut.

a.             Selalu mencari gagasan baru dari berbagai sumber.
b.            Mendahulukan solusi-solusi yang orisinil dari dalam pemecahan masalah.
c.             Menciptakan gagasan-gagasan baru.
d.            Berani mengubah wawasan dan mengambil resiko akibat pemikiran baru mereka.
e.             Terampil menangani baragam kebutuhan walaupun pesatnya perubahan atau bergesernya prioritas.
f.             Siap mengubah tanggapan dan taktik untuk manghadapi perubahan.
g.             Luwes dalam memandang situasi.

Dari uraian singkat di atas, tampaklah bahwa fathanah dapat pula kita katakan sebagai kecerdasan total yang berawal dari ketajaman instuisi mata batin (basirah) yang berada pada dimensi ruhiah. Beberapa karakteristik yang terkandung dalam jiwa fathanah antara lain sebagai berikut.
a.             The man of wisdom. Mereka tidak hanya menguasai dan terampil melaksanakan profesinya, tetapi juga sangat berdedikasi dan dibekali dengan hikmah kebijakan (al-Baqarah: 296)
b.            High in integrity. Mereka sangat bersungguh-sungguh dalam segala hal, khususnya dalam meningkatkan kualitas keilmuan dirinya. Mereka tidak hanya memikirkan apa yang tampak, tetapi mampu melihat apa dibalik yang tampak tersebut melalui proses perenungan atau tafakur (Ali Imran: 190
c.             Willingness to learn. Mereka memiliki motivasi yang sangat kuat untuk terus bekajar dan mampu mengambil pelajaran dari setiap peristiwa yang dihadapinya (Yusuf: 111)
d.            Proactive stance. Mereka bersifat proaktif, ingin memberikan kontribusi yang positif bagi lingkunganny sebagai sosok yang mampu mengambil keputusan yang terbaik dan menjauhi hal-hal yang akan merugikan (al-Maidah: 100)
e.             Faith in god. Mereka sangat mencintai Tuhannya dan karenanya selalu mendapatkan petunjuk dari-Nya. Hidupnya bagaikan telah di-sibghah Allah sehingga tumbuh rasa optimis untu menjadikan allah sebagai tempat dirinya bersandar atau bertawakal (Ali Imran: 7, 30-31, al-Baqarah: 138)
f.             Creditable and reputable. Mereka selalu berusaha menempatkan dirinya sebagai insan yang dapat dipercaya sehingga tidak pernah mau mengingkari janji atau mengkhianati amanah yang dipikulkan kepada dirinya (ar-Ra’d: 19-22
g.             Being the bes. Selalu ingin menjadian dirinya sebagai teladan (the excellent examplary) dan menampilkan unjuk kerja yang terbaik (Ali Imran: 110)
h.            Emphaty and compession. Meraka menaruh cinta kepada orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (at-Taubah: 128)
i.              Emotional mutarity. Mereka memiliki kedewasaan emosi, tabah, dan tidak pernah mengenal kata menyerah serta mampu mengendalikan diri dan tidak pernah terperangkap dalam keputusan yang emosional (Lukman: 17)
j.              Balance. Mereka memiliki jiwa yang tenang, sebagaimana dikenal dalam Al-Qur’an sebagai nafsul muhmainah (al-Fajr: 27-30, as-Syu’araa: 89)
k.            Sense of mission. mereka memiliki arah tujuan atau misi yang jelas dalam kehidupannya (at-Taubah; 33, al-Fat-h: 28, ash-Shaff: 9)
l.              Sense of competition. Mereka memiliki sikap untuk bersaing dengan sehat. Karena mereka sadah bahwa setiap umat memiliki kiblat dan martabatnya dengan memiliki sense of competition (al-Baqarah: 148).


A.           Amanah

Indikator lain dari seorang yang memiliki kecerdasan ruhaniah, adalah sikapnya yang selalu ingin menampilkan sikap yang bisa dipercaya (kredibel), menghormati, dan dihormati (honorable). Sikap terhormat dan dipercaya hanya dapat tumbuh apabila kita meyakini sesuatu yang kita anggap benar sebagai summum bonum atau prinsip-prinsip yang tidak dapat diganggu gugat.
Banyak pejuang kemanusiaan yang terlempar di dalam penjara. Nelson Mandela mampu bertahan lebih dari dua puluh tahun dalam penjara yang pengap, dikarenakan memiliki prinsip kebenaran tersebut yang kemudian memancarkan kehormatan dirinya. Mahatma Ghandi menampilkan dirinya sebagai sosok manusia teladan dengan gerakan anti kekerasannya. Ahimsa dan Bande Mataram menjadikan dirinya sebagai sosok yang dipercaya dan dihormati.

Mereka yang memiliki kecerdasan ruhaniah dihormati dan dipercaya bukan karena kemampuan fisiknya, tetapi kekuatan ruhaninya yang senantiasa diterimanya dengan penuh rasa amanah. Mereka merasakan ada semacam getaran dalam sanubarinya. Ada Allah dihatinya, dan kemanapun mereka berpaling ia melihat-Nya (al-Baqarah; 115). Sikap seperti ini menumbukan gairah yang sangat kuat atau antusiasme (berasal dari kata etheos ‘di dalam hati ada Tuhan’).

Amanah merupakan dasar dari tanggung jawab, kepercayaan, dan kehormatan serta prinsip-prinsip yang melekat pada mereka yang cerdas secara ruhani. Di dalam nilai diri yang amanah itu ada beberapa nilai yang melekat.
1.            Rasa tanggung jawab (takwa). Mereka ingin menunjukan hasil optimal atau islah.
2.            Kecanduan kepentinagn dan sense of urgency. Mereka merasakan bahwa hidupnya memiliki nilai, ada sesuatu yang penting. Mereka merasa dikejar dan mengejar sesuatu agar dapat menyelesaikan amanahnya dengan sebaik-baiknya.
3.            Al-amin, kredibel, ingin dipercaya dan mempercayai. Hidup baginya adalah sebuah proses untuk saling mempercayai dan dipercayai. Struktur organisasi atau gaya manajemen apa pun yang dilakukan para top executive, akhirnya terpusat pada sejauh mana dirinya mampu mampu mempercayai bawahannya dan pada saat yang sama memberikan dorongan atau motivasi agar dirinya mendapatkan kepercayaan. Keguncangan sebuah sistem, apakah sistem birokrasi yang paling rendah sampai pada sisitem pemerintahan, terletak pada sejauh manakah presiden, kabinet, dan rakyatnya terkait dalam dua pola tersebut yaitu dipercaya dan mempercayai.
4.            Hormat dan dihormati (honorable). Hidup yang wajar dan mulai tidak harus menjadi seorang karismatik atau berupaya untuk membuat dirinya menjadi yang dikultuskan. Hidup harus berada pada tatanan mahabbah ‘rasa cinta’. Dia merasakan bahwa hanya mungkin dicintai bila dia pun terbuka untuk mencintsi. Bagaimana aku memperlakukan orang lian sebagaimana kau mempelekukan diriku sendiri (how I am treating others is assentially how I am treating my self and vice versa).



B.     Tablig

Fitrah manusia sejak kelahirannya adalah kebutuhan dirinya kepada orang lain. Bla seorang filsuf barat berkata cogito ergo sum ‘aku ada karena kau berfikir’, kita dapat mengatakan “aku ada karena aku memberikan makna bagi orang lain: sebagaimana Rasulullah saw. Bersabda,

“Engkau belum disebut orang yang beriman kecuali engkau mencintai orang lain sebagaimana mencintai dirimu sendiri.”

Ucapan Rasulullah ini memberikan makna bahwa seseorang tidak mungkin berkembang dan mempunyai kualitas unggul kecuali dalam kebersamaan. Itulah sebabnya, seorang muslim tidak munkin bersikap selfish, egois, atau annaniah ‘hanya mementingkan diri sendiri’. Bahkan, tidak mungkin mensucikan dirinya sendiritanpa berupaya untuk menyucikan orang lain. Kehadirannya di tengah-tengah pergaulan harus memberikan makna bagi orang lain bagaikan pelita yang bersinar memberi cahaya terang bagi mereka yang kegelapan (as-sirajan al-munira). Di dalam psikologi modern atau lebih tepatnya logo terapi, hal seperti itu disebut sebagai encounter, yaitu bentuk interaksi antar individu berdasarkan cinta kasih yang melahirkan rasa bahagia antara satu da lainnya.

Di sinilah salah satu peranan dan sikap tablig yang merupakansalah satu sifat akhlakul karimah dari Rasulullah saw, yaitu menyampaikan kebenaran melalui suri teladan dan perasaan cinta yang sangat mendalam.

Salah satu pesan agung Rasulullah yang disampaikan pada saat haji perpisahan adalah amanah beliau yang mewajibkan setiap muslim untuk menyampaikan pesan-pesan kebenaran, “Sampaikanlah apa yang telah engkau ketahui dariku walaupunh hanya satu ayat!” gemuruhlah mereka yang hadir dalam kesempatan itu. Mereka merasa mendapatkan kehormatan atas amanah yang disampaikan junjungan Rasulullah saw.. sejak itu, menyebarlah islam ke seluruh pelosok bumi karena setiap muslim merasa memperoleh kemuliaan peran dirinya sebagai mubalig atau komunikator yang menyampaikan pesan ilahiyah untuk memenuhi seruan dan perintah Allah,
“serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan dia lebih mengetahui siapa yang menerima petunjuk.” (an-Nahl: 125)

Seruan ini telah membangkitkan smangat tablig para assabiqunal awwaluun ‘para perintis awal’ yang telah mengubah dan memberikan sumbangan positif pada peradaban kemanusiaan. Mereka berhasil karena semangat yang dibalut dengan profesionalismenya sebagai komunikator yang unggul disertai pesan-pesan yang tidak hanya bersifat verbal belaka, tetapi diikuti pula dengan gerak amal nyata. Mereka menyelenggarakan organisasi (tarbiah) melalui madrasah dan pesantren. Setiap muslim merasakan dirinya mengemban amanah sebagai juru dakwah seraya menampilkan dirinya sebagai sosok muslim yang patut diteladani, sehingga tindakan dan keteladanannya lebih membekas dari hanya sekedar kata-kata (lisanulhaal afshahu in-lisanil maqal)!
Nilai tablig telah memberikan muatan yang mencakup aspek kemampuan berkomunikasi (communication skill), kepemimpinan (leader ship), pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya insani (human resources development) dan kemampuan diri untuk mengelola sesuatu (managerial skill).


1.            Communication Skill

Kata tablig di dalam Al-Qur’an disebut dalam bentuk kata kerja (fi’il) sedikitnya ada spuluh kali (al-Maa’idah: 67, al-Ahzab: 62, 68, al-Ahqaaf: 23, al-Jin: 28, al-A’raaf: 79, 92, Huud: 57) yang merupakan bentukan dari akar kata Ballagha-yuballighu-tabliighan. Artinya, proses menyampaikan sesuatu untuk mempengaruhi orang lain melalui lambing-lambang yang berarti (the process of transmitting the meaningful symbol).

Dengan berkomunikasi, berarti seseorang ingin menyampaikan gagasannya dan kemudian gagasannya tersebut diterima oleh komunikan (mad’u). sehingga tumbuhlah perubahan sikap dalam bentuk pengertian,  partisipasi, atau tindakan sebagaimana yang diharapkan oleh komunikator (da’i).

Mereka yang memiliki sifat tablig mampu membaca suasana hati orang lain dan berbicara dengan kerangka pengalaman serta rujukan atau tingkat organisasi lawan bicaranya (field of experience and frame of reference). Sebagaimana Ali bin Abi Thalib berkata, “Berbicaralah sesuai dengan kadar berfikir mereka. “Karena, segala sesuatu diterima menurut karakteristik si penerima (quidquid reciptur secundum modum recepientis).

Dalam, kehidupan, khususnya dunia kerja, kemampuan berkomunikasi merupakan salah satu persyaratan untuk meniti jenjang karir lebih tinggi. Seseorang tidak mungkin mengembangkan dirinya dalam organisasi perusahaan kecuali mereka mampu mengekspresikan gagasan dan hasil pekerjaan melalui komunikasi yang efektif dan empatik. Dari penelitian exit interview terhadap karyawan yang mengundurkan diri dari perusahaan, ditemukan penyebabnya bahwa mereka mengundurkan diri bukan karena mereka tidak mampu melaksanakan tugas-tugas teknis, melainkan gagal dalam membangun interpersonal skill. Secara teknis, mereka cerds dalam melaksanakan pekerjaannya tetapi mereka gagal dalam berkomunikasi secara vertical maupun horizontal.
Problem yang dihadapi dalam kaitan berkomunikasi antar individu (interpersonal skill) sering kali terkait dengan masalah persepsi, yaitu kemampuan seseorang dalam menafsirkan dan menyimpulkan pesan-pesan termasuk penilaian terhadap seseorang. Kesalahan daam persepsi (misperception) bias terjadi karena beberapa hal sebagai berikut.
a.       Kita menilai seseorang menurut tolak ukur diri kita sendiri (subjektif) dan tidak terbuka atas gagasan serta pengaruh dari lawan bicara kita, sehingga, terjadi konflik batin yang kemudian melahirkan penilaian terhadap pesan yang disampaikan lawan bicara kita.
b.      Tidak ingin berusaha untuk membuka diri dan memahami “keadaan orang lain”, sehingga kita berada dalam daerah yang gelap (dark area).
c.       Tidak menaruh kepercayaan (lack of creadibility) pada lawan bicara sehingga tidak mampu menerima seluruh pesan yang disampaikan secara utuh.

Dalam kaitan ini Stephen Covey mengidentifikasikan bahwa perception and creadibility problems may ultimately result in complicated knots, what we often call personality conflict or communication breakdowns ‘permasalahan persepsi dan kreadibilitas pada akhirnya menghasilka komplikasi yang sangat rumit, yakni apa yang kita sebut dengan konflik kepribadian atau kemacetan komunikasi,.

Untuk menghindari kemacetan komunikasi, Covey memberikan saran bagaimana kita bersikap dan berperilaku dalam menjalin komunikasi sebagai berikut.
a.       Sikap
-          Saya percaya, saya tidak mempertanyakan keikhlasan atau kewarasan Anda.
-          Saya sangat peduli membangun hubungan yang baik dan ingin menyelesaikan segala perbedaan. Tolonglah bantu saya menyelesaikan perbedaan tersebut dari cara pandang anda.
-          Saya sangat terbuka untuk menerima gagasan dan siap untuk menerima perubahan.

b.      Perilaku
-          Mendengar untuk memahami (listen to understand).
-          Berbicara untuk dipahami (speak to be understand).
-          Mengawali dialog dari titik pandang atau persetujuan yang sama dan bergerak  secara perlahan memasuki daerah yang berbeda.

Kemacetan dalam berkomunikasi akan mencair bila daerah pembicaraan diawali dari daerah kepentingan atau titik pandang yang sama (overlapping of interest) dan secara perlahan berupaya untuk membuka daerah yang sama tersebut dan mempersempit daerah yang berbeda.

 











Cara atau metode untuk melangsungkan komunikasi dapat berpariasi sesuai dengan kerangka berfikir dan pengalaman dari awal bicara kita (frame of reference and field of experience), apakah dalam bentuk persuasive (bujukan), coercive ‘paksaan’, pembicaraan satu atau dua arah (one way or two way communication). Al-Qur’an telah memberikan beberapa isyarat tentang  cara atau metode berkomunikasi tersebut yang diantaranya sebagai berikut.

a.      Qaulan Layyian

Salah satu bentuk berkomunikasi dengan menekankan pada sentuhan rasa. Kata layyin dapat diartikan sebagai sesuatu yang menyentuh cita rasa atau sentuhan hati. Materi bicara diarahkan pada hati nurani yang mendalam dan mencoba untuk menyentuh getaran hati lawan bicara dengan pembicaraan yang lemah lembut. Pada saat posisi masing-masing berada dalam sebagaimana  Musa a.s. yang berada pada posisi sangat percaya diri karena mengembang wahyu ilahi berhadapan dengan Fir’aun yang percaya diri karena merasa selruh kekuasaan berada dalam genggamannya, Musa a.s. melancarkan teknik komunikasi yang mampu menyentuh atau menggetarkan hati Fir’aun, sebagaimana firman-Nya.

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun karena sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka, berbicaralah kamu berdua dengan kata-kata yang lemah lembut (qaulan layyinan), mudah-mudahan ia ingat dan takut.” (Thaaha: 43-44)

b.      Qaulan Balighan

Teknik komunikasi lain yang diajarkan Al-Qur’an ialah ketika berhadapan dengan orang yang hatinya mendua (munafik) atau mereka yang berada dalam keadaan bimbang. Hendaknya teknik yang dilakukan adalah bentuk komunikasi yang mampu memberikan kesan yang mendalam dan membuat lawan bicara tidak mampu memberikan argumentasi lain (baligh berarti tepat pada sasarannya sehingga mad’u ‘lawan bicara tidak berkutik atau tidak lagi mampu menjawab) sebagaimana firman-Nya,

“Mereka itu adalah orang yang rahasia hatinya diketahui Allah. Karenanya, berpalinglah kamu dari mereka dan berilah mereka pelajaran. Katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas di hati mereka. (qaulan balighan).” (an-Nissa: 63)

c.       Qaulan Maysuuraa

Metode berkomunikasi ketika berhadapan dengan mereka yang berada dalam kondisi lemah atau berada dalam kesulitan diajarkan Al-Qur’an adalah dengan memakai teknik gaya bicara gaya qaulan maysuuraa (berasal dari kata yusra yang artinya mudah sebagai antonim dari kata kata ma’suura artinya sulit).


Atasan yang merasakan kesulitan anak buahnya akan memberikan jalan kemudahan dan memberikan penerangan yang membuka mata hati serta member peneragan yang membuka mata hati serta memberikan motivasibagi anak buahnya, sehingga mereka merasa bahwa atasannya sangat peduli dengan dirinya (menjaga dan meningkatkan self esteem ‘harga dirinya’). Qaulaan maysuura berarti komunikasi yang memberikan dorongan, mengarahkan, dan mengembangkan kualitas diri sehingga mereka keluar dari kesulitan dan terdorong untuk mengaktualisasikan dirinya secara optimal. Allah berfirman,
“jika kamu berpaling dari meraka untuk memperoleh rahmat dari tuhanya yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas (qaulan maysuura).”(al-Israa’: 28)
Ayat tersebut didahului oleh peringatan akan sikap seseorang yang boros. Bertindak mubazir, atau tidak efisien dalam pelaksanaan tugasnya,
“Sesungguhnya, orang-orang yang boros adalah saudara-saudara setan, dan adalah setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (al-Israa’:27)
Dengan metode komunikasi qaulan maysuura, setiap pimpinan harus mampu memberikan moticasi da mengarakan anak buah untuk bekerja secara efektif danefisien. Juga menggugah mereka agar menjauhi segala perbuatan mubazir.
D. qaulan kariima
Kariima mengandung arti kemuliaan, kebajikan, dan keluhuran budi pekerti, sehingga yang dimaksudkan dengan qaulan kariima berarti berkomunikasi dengan santun dan menunjukan sikap kepedulian yang sangat terhadap lawan bicara. Komunikator (dai) memahami benar lawan  bicaranya (komunikan, mad’u) berada dalam posisi yang harus dimuliakan. AL-Qur’an mengaitkan qaulan kariima ini dalam konteks hubungan dengan orang tua yang secara spesifik diajarkan agar kita tidak berbicara yang melukai hatinya, bahkan sikap melececehkan dengan mengucap “ah” sangat dilarang dalam tatanan pergaulan dengan kedua orang tuaatau mereka yang sudah berusia lanjut, sebagaimana firman-Nya.
“Tuhanmu telah memerintahkan agartidak menyembah apapun kecuali dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan kedua-duanya sampai keduanya perkataan “ah”, danjanganlah kamu membentak mereka. Ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (qaulan qarima).” (al-Israa’:23)
e. qaulan sdiida
bentuk komunikasi lain yang ditemukan di dalam AL-Qur’an adalah cara berkomunikasi yang disebut dengan sadiida yang dapat diartikan sebagai bentuk pembicaraan yang benar dan mantap (straight forwardness).
Bentuk komunikasi ini utamanya ditujukan kepada generasi muda atau dalam lingkungan kerja kepada mereka yang masih baru berada dalam lingkungan kerja (trainee). Mereka harus memperoleh informasi yang benar sehingga mereka mampu menjadi kader-kader yang professional di masa depan. Sebagaimana halnya Allah memberikan peringatan agar kita peduli untuk mempersiapkan generasi yang tangguh,
“Hendaklah takut kepada allah orang-orang yang sekiranya meninggalkan, anak-anak yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir, maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mengucapkan perkataan yang benar (qaulan sadiida).”(an-Nisaa’: 9)
Kemampuannya berkomunikasi dilandaskan pada sikap dirinyua yang memiliki sikap empati sebagai salah satu bentuk keterampilan social yang sangat penting dalam dunia kerja. Kecakapan ini meliputi kemampuan dirinya untuk memahami orang lain , mengindra perasaaan, dan memahami perspektif orang lain, memberikan informasi yang jelas dan menunjukkan minatnya yang besar terhadap kepentingan serta kesulitan orang lain. Mereka memiliki sikap yang berorientasi kepada pelayanan, mengantisipasi  mengakui, dan memenuhi kebutuhan pelanggan.
Dengan memampuan nya dorongan atau motivasi untuk mengembangkan orang lain, mengindra kebutuhan orang lain, berkembang dan meningkatkan kemampuan mereka. Bagi mereka, berkomunikasi berarti pula sewaktu-waktu mampu untuk menempatkan dirinya sebagai pendengar yang baik (good listener), karena mereka sadar bahwa dengan mendengar berarti pula mampu menahan diri dan sekaligus memberikan kesempatan dirinya untuk memahami orang lain dan memperoleh data lebih lengkap tanpa interupsi.
Dengan mendengar, mereka berupaya untuk memahami orang lain, memperhatikan isyarat-isyarat emosi, dan mendengarkannya dengan baik. Penelitian yang dilakukan departementenaga kerja Amerika Serikat membuktikan bahwa hamper 55% waktu kerja dipakai untuk mendengar, 22% untuk membaca dan menulis, dan 23% untuk bicara. Mereka yang kurang menaruh perhatian terhadap orang lain, dengan cara mendengarkan atau memberikan isyarat atentif , akan mendengarkan atau memberikan isyarat atentif, akan menyebabkan keengganan orang lain untuk melanjutkan komunikasi. Howard Friedman dan Robert DiMatteo dalam buku Impersonal Issues in Health care (1982), mengatakan bahwapenelitian yang lain mengungkapkan bahwa para dokter yang lebih peka untuk mengenal emosi pasien lebih berhasil dalam penyembuhan si pasien ketimbang rekan sejawat yang kurang peka.
Dengan sikap seperti ini , merekamampu mempengaruhi orang lain secara persuasife, simpatik, danselalu memberikan kesan mendalam kepada orang lain sebagaimana diidentifikasikan oleh David Coleman bahwa salah satu cirri seorang yang memiliki kecerdasan emosional adalah sebagai berikut.
a.       Memiliki pengaruh :menerapkan taktik persuasi secara efektif.
b.      Mampu berkomunikasi: mengirimkan pesan secara jelas dan meyakinkan.
c.       Manajemen konflik: merundingkan dan menyelesaikan pendapat.
d.      Kepeminpinan: menjadi pemandu dan pemberi ilham.
e.       Katalisator perubahan: mengawali, mendorong, atau mengelola perubahan.

2. kuat menghadapi tekanan
Mereka yang memiliki sifat tablig adalah mereka yang mampu menghadapi tekaan (tolerance to stress). Sikap percaya diri yang  dilandaskan pada iman menyebabkan segala bentuk tekanan tantangan yang akan membentuk kepribadian dirinya menjadi lebih cemerlang. Justru mereka senang bekerja dalam tekanan (working underpressure) yang akan menimbulkan kreativitas, dinamika, dan nilai tambah bagi dirinya. Sebagaimana Allah berfirman,
“Janganlah kkamu bersikap lemah dan bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang yang beriman (Ali-Imran: 139)
Sikap tablig melahirkan keyakinan, kekuatan, dan  kesungguhan untuk melahirkan hasil unjuk kerja yang bernilai tinggi (outstanding performance). Mereka tidak gampang menyerah, tidak gampang patah, walaupun tentangan atau tekanan menghadang setiap langkah pekerjaannya, karena mereka sangat yakin bahwa nilai sebuah pekerjaan akan terasa semakin bermakna bila mereka mampu mengatasi setiap tantangan atau kendala yang dihadapinya. Mereka sadar bahwa untuk memperoleh mutiara dibutuhkan perjalanan yang panjang, menyelam jauh ke dasar samudra. Tidak ada hasil yang gratis kecuali harus dia perjuangkan (no freelunch for suck a things, no pain no gain, no dean no venture)
Dalam upaya menyampaikan gagasannya sebagai hasil dari imajinasi kreatif yang mendorong dinamika kerja, menyebabkan seorangyang memiliki jiwa tablig adalah sosok seorang yang tangguh. Juga menjadi pekerjaan da kemampuan dirinya berkomunikasi merupakan refleksi dari keterpanggilan hatinya, sehingga dia tidak mungkin menjadi beban bagi orang lain, tidak pula merasa terhimpit jiwanya ketika menghadapitekanan pekerjaan.
Mereka yang kuat menahan tekanan, tampak pula dari cara dirinya menangani emosi dan orang lain sehingga caranya berkomunikasi tetap jernih dan memberikan kesan. Hal ini sebagaimana dikemukakan sepertiga responden ketika mereka ditanyatentang mitra efektif, diperoleh jawaban bahwa yang termasuk dalam mendengarkan, mengajukanpertanyaan-pertanyaan yang bijaksana, berwawasan terbuka, menggali saran-saran (18-283).
3. kerja sama dan harmoni
            Mereka yang memiliki sifat tablig memiliki kemampuan bekerja sama sebagai bagian dari sikap kepemimpinannya. Mereka melihat orang lain sebagai bagian dari jati dirinya sendiri dalam pengertian bahwa dirinya hanya mungkin berkembang bersama dan karena kualitas orang lain di sekitarnya.
Rasulullah saw. bersabda, “Maukah kalian aku runjuki amal yang lebih besar pahalanya dari shalat dan puasa? “Para sahabat menjawab, “Tentu saja.” Rasulullah berkata,
“Engkau damaikan orang-orang yang bertengkar, menyambung tali persaudaraan yang terputus, mempertemukan saudara-saudara yang berpisah, menjebatani berbagai kelompok dalam islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barang siapa yang ingin di panjangkan umurnya dan di perbanyak rezekinya, hendaklah menyambungkan tali silaturahmi.” (HR Bukhari dan Muslim)
Mereka mampu menangani emosi orang lain, menghargai dan menyayangi orang lain sebagai bagian dari rasa cintanya kepada Rasulullah saw..
“Tidak termasuk umatku orang yang tidak menyayangi yang muda, menghormati yang tua, menyuruh kepada kemakfun, dan mencegah kemungkaran.” (HR at-Tirmidzi dan ahmad)
Kemampuan bekerja sama tidak dapat diwujudkan kecuali diawali dengan kemampuan untuk membuka diri dan mengendalikan emosi diri sendiri. Pengendalian diri, tidak saja penting dalam berkomunikasi secar efektif, tetapi juga menjadi prasyarat untuk berhubungan dam berkerjasama dengan orang lain. Sebuah studi terhadap 130 orang eksekutif dan manajer menemukan bukti bahwa kecerdasan orang menangani emosinya sendiri menentukan seberapa besar orang mau berhubungan dengan mereka.
Mereka yang memiliki sifat tablig, tidak saja mampu berkomunikasi dan berker jasama, tetapi juga cara mereka berhubungan sangat menjunjung tinggi harmoni. Dalam kaitan ini, kita dapat menyimak kebudayaan Jepang (wakon) yang menerapkan parsitipatif manajemen dengan mengembangkan kerja sama kelompok diatas semangat harmoni tersebut. Budaya bisnis Jepang adalah menjunjung tinggi harmoni. Mereka menjunjung tinggi consensus sebagai cara terbaik menyelesaikan berbagai masalah. Karena itu, berbagai konflik yang timbul diupayakan dapat diselesaikan dengan cara “musyawarah mufakat”.
Orang Jepang memiliki in feeling group  dan ikatan kelompok yang sangat kuat. Tanggung jawab, kekompakan, kebanggaan, dan kohesivitas kelompok sangat kental, sehingga setiap anggota senantiasa saling memperhatikan dan saling mendorong untuk maju bersama.
Menurut  A.V Khadis, dalam tradisi Jepang, seorang pemimpin cenderung menempatkan dirinya bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai bagiab dari kelompok. Lewat kontak pribadi, hubungan antara atasan dan bawahan dapat dibangun secara lebih bergairah. Hideo Ogashi, Direktur Utama Sumito Cooperation, menceritakan betapa pentingnya kontak pribadi. Kemajuan perusahaan hanya dapat ditopamg oleh hubunga antara pribadi yang harmonis. Dia segan keluar-masuk pintu-pintu berbagai perusahaan  di bagian-bagiannya. Dengan cara itu,teryata energi kolektif dapat dibangun.
Di samping itu, semangat manajemen jepang di landaskan pada konsep nemawashi yang berarti mengikat akar, sehingga pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif, bersifay kolektif dan konscnsus. Semangat nemawashi  melahirkan dua kata yang sangat penting yaitu ringeisei dan ojoshungi. Ringeisei artinya musyawarah mufakat berdasarkan komunikasi logis, sedangkan yang di maksud dengan onjoshugi adalah komunikasi perasaan yang terwujud dalam hubungan emosional yang kuat antara pimpinan dan bawahan. Semangat yang dimiliki mereka seakan-akan bentuk aktual dari perintah allah
“dan bermusyawahlah diantara kamu dengan baik.”(ath-thlaq:6)
“dan,bagi orang-orang yang mengetahui seruan tuhannya dan mendirikan salat, sedang mereka memutuskan perkara dengan musyawarah diantara mereka.”(asyuura:38)
E. istigosah
Allah SWT berfirman,
“sesungguhnya orang-orang yang mengangkatkan, tuhan kami adalah allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka.:(fushshilat:30)
“maka , tetaplah (istiqomah) kamu dalam jalan yang benar,sebaimana diperintahkan ke padamu.”(huud:112)
Istiqomah diterjemahkan sebagai bentuk kualitas batin yang melahirkan sikap konsisten (taat azas) dan teguh pendirian untuk menegakkan dan membentuk lebih baik, sebagai mana taqwim merujuk pula pasa bentuk yang sempurna (qiwam),
“sesungguhnya Kami telah menciptakan manusi dalam bentuk yang sebaik-baiknya (takwim).” (at-Tiin:4)
Abu Aliad-Daqqaq “Ada tiga derajat pengertian istiqomah, yaitu menegakan atau membentuk sesuatu (taqwim), meyehatkan dan meluruskan (iqomah), dan berlaku lurus (istiqomah). Taqwim meyangkut disiplin jiwa, iqomah berkaitan dengan peyempurnaan, dan istiqomah berhubungan dengan tindakan mendekatkan diri kepada Allah.
Sikap istiqomah menunjukan kekuatan iman yang merasuki sekuruh jiwanya, sehingga dia tidak mudah goncang atu cepat meyerah pada tantangan atu tekanan. Mereka yng memiliki jiwa istiqomah adalah tipe manusia yang merasakan ketenangan luar biasa (iman,aman,muthmainah) walau penampakannya diluar bagaikan seorang yang gelisah. Dia merasa tenteram karena apa yang dia lakukan merupakan rangkaian ibadah sebai bukti mahbbah ‘cinta.’ Tidak ada rasa takut apalagi keraguan, sebagai mana firman-Nya,
“janganlah kamu bersikap lemah dan bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 139)
Kegelisahan yang dimaksud janganlah ditafsirkan sebagai resah. Ia adalah metafora (tamsil) dari sikap dinamis atau sebuah obsesi kerinduan untuk mengarahkan seluruh daya dan akal budinya agar hasil pekerjaannya berakhir dengan baik dan sempurna (taqwim).
Dengan  demikian, istiqomah bukanlah berarti sebuah sikap yang jumud, tidak mau adanya perubahan (status quo), namun, sebuah kondisi yang tetap konsisten menuju arah yang diyakininya dengan tetap tebuka (openminded) terhadap gagasan inovatif yang akan menunjang atau memberikan kontribusi positif untuk pencapaian tujuannya.
Mengomentari masalah ini, Dr. Nurcholis Madjijd berkata, “Kesalahan itu timbul antara lain akibat persepsi bahwa istiqomah mengandung makna yang statis. Memang istiqomah mengandung arti kemantapan, tetapi tidak berarti kemandekan, namun lebih dekat kepada arti stabilitas yang dinamis. Dapat dikiaskan dengan endaraan bermotor. Semakin teknologi suatu mobil, semakin mampu dia melaju dengan cepat tanpa guncangan. Maka, disebut mobil itu memiliki stabilitasatau istiqamah. Mobil disebut stabil bukan pada saat berhenti, tetapi ketika melaju dengan cepat.
1.                  Mereka Mempunyai Tujuan
Sikap istiqamah hanya mungkin merasuki jiwa seseorang bila mereka mempunyai tujuan atau ada sesuatu yang ingin dicapai. Mereka mempunyai visi yang jelas dan dihatinya sebagai penuh kebermaknaan. Merekapun sadar bahwa pencapaian tujuan tidaklah dating begitu saja, melainkan harus diperjuangkan dengan penuh kesabaran, kebijakan, kewaspadaan, dan perbuatan yang memberikan kebaikan semata, sebagaimana firman-Nya,
“Katakanlah, Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu. Orang-orang yang  bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (az-Zumar: 10)
Dengan menetapkan tujuan (goal setting), mereka mampu merencanakan setiap tindakannya serta mengelola asset dirinya agar lebih efisien dan efektif. Dalam bidang pekerjaan, mereka menghayati benar apa yang menjadi batas tugas dan tanggung jawab (job description) dan bagaimana mereka harus berperan melaksanakan tugas-tugasnya tersebut. Ituah sebabnya, mereka selalu melangkah dengan perencanaan dan pengelolaan waktu yang benar dan efisien. Mereka tidak pernah menunda atau membengkalaikan tugas-tugasnya karena merasa ada tengat waktu yang harus dikejar. Apabila diabaikannya, akan menghambat bahkan menyimpang dari arah tindakan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan.
Mereka membuat blueprint sebagai gambaran untuk melangkah. Bagaikan seorang pilot atau nahkoda, sebelum menerbangkan pesawatnya, setiap pilot pasti akan membuat semacam perencanaan pendahuluan, membaca, dan membicarakan peta dihadapan navigator. Demikian pula dalam dunia kerja dan kehidupan. Penetapan tujuan merupakan langkah yang paling menentukan. Orang-orang yang memiliki sikap istiqamah tidak mungkin mengerjakan sesuatu tanpa arah dan maksud, apalagi bekerja serabutan tanpa rencana yang benar. Hal ini diperingatkan Allah dengan firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allahmaha mengetahui apa yang kamu kerjaan.” (al-Hasyr: 18)
Ayat ini dengan gamblang memperingatkan agar setiap muslim mempunyai arah dan visi yang jelas sebagai pelabuhan hatinya dikemudian hari. Visi adalah gambaran atau kiblat kemana kita mengarah dan sekaligus alas an utama (raison d’etre) kenapa kita bertindak. Seseorang tidak mungkin memiliki sifat istiqamah bila tidak memiliki arah atau visi. Di dalam perusahaan, bahkan kehidupan bangsa sekalipun, dibutuhkan visi kolektif, yaitu keyakinan akan arah dangambaran masa depan yang dijadikan komitmen secara bersama-sama. Visi bukanlah sebuah mitos, melainkan sebuah keputusan atau pilihan yang didasarkan kepada alas an-alasan dan nilai-nilai yang diyakini sebagai hal yang benar.
Dengan demikian, setiap istiqamah akan tampak dari perilakunya yang senantiasa melakukan pekerjaan dengan tertib, cermat, dan terarah, sebagaimana disampaikan al-Albani bahwa rasulullah bersabda, “sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang jika melakukan suatu pekerjaan dilakukannya dengan cermat dan sempurna.”
Dalam upaya mencapai tujuannya, pada diri mereka ada semacam aksioma untuk memenuhi persyaratan 5-C, yaitu commitment, confidence, consistence, consequence, dan creative.
Yang dimaksud dengan commitment (dari bahasa latin committere, to connect, entrus the state of being obligated or emotionally impelled) adalah keyakinan yang mengikat (akad) sedemikian kukuhnya, sehingga membelenggu seluruh hati nuraninya lalu menggerakan perilaku menuju arah tertentu yang diyakini (I’tikad). Mereka tidak mungkin mengingkari atau menodai komitmennya karena sikap pengingkaran bukanlah sikap ksatria (futuwwah, gentlemen), sebagaimana firman-Nya.
“Anganlah kamu sebagai seorang wanita yang menguarikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai-berai kembali.” (an-Nahl: 92)
Komitmen adalah prinsip yang merupakan rumus atau aksipma yang menjadai periaku untuk menghasilkannya dalam kehidupan nyata. Sejarah kehidupan telah membuktikan bahwa manusia-manusia yang memiliki prinsip mampu menampilka dirinya sebagai pemenang, karena dengan prinsip itu, mereka memperoleh kekuatannya yang dahsyat.
Dalam kaitan ini, kiranya tepat bila diingat dan diresapkan sabda Rasulullah saw.,
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR Muslim)
Mukmin yang kuat dan yang lemah memiliki kebaikannya masing-masing. Maka, berambisilah mengerjakan sesuatu yang bermanfaat, memohon pertolonagn Allah, dan “jangan patah semangat”.”
Komitmen adalah tiang panca sebuah bangunan yang sangat kokoh, sehingga mampu menahan beban dan guncangan gempa bumi sekalipun. Mereka yang memiliki jiwa istiqamah mampu melaksanakan tugas dibawah tekanan (under pressure), dan mengndalikan kendaa dengan pemimpin dingin (emotional stability
). Setiap tugas adalah komitmen diri yang dilaksanakannya dengan penuh gairah (enthuseiasm) dan tidak takut untuk gagal maupun harus berkorban demi pencapaian tujuannya.
Penelitian menunjukkan bahwa pegawai yang memiliki komitmen tinggi kepada perusahaan merupakan orang yang paling rendah tingkat stresnya pada lingkungan pada saat menekan pekerjaan mereka dengan khas. Dilaporkan bahwa mereka yang berkomitmen itu merupakan orang yang paling merasakan kepuasan dari pekerjaannya itu.
Daniel Goleman, penulis buku laris working with emotional intelegence, melaporkan hasil penelitiannya, “Orang yang berkomitmen adalah para warga perusahan teladan. Mereka bersedia menempuh perjalanan yang lebih panjang. Seperti kerikil yang dilontarkan ketengah kolam, karyawan yang berkomitmen tersebut menyebarkan riak-riak perasaan kebahagiaannya ke seluruh lingkungan perusahaan. Komitmennya yang sangat tinggi memungkinkan dirinya berjuang keras menghadapi tantangan dan tekanan yang bagi orang tak berkomitmen dirasakannya sebagai beban berat dan menimbulkan stress. Para karyawan yang emandang dtungan mereka sendirinya sebagai tamu, bukannya sebagai warga perusahaan, hampir tidak menunjukkan komitmen pada perusahaan.
Sikap yang sama sering kita temukan di kalangan karyawan yang mungkin telah bertahun-tahun bekerja, tetapi merasa tidak diperhatikan dan tidak diikut sertakan dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada pekerjaan mereka. Orang-orang yang tidak puas ini paling mungkin menggunakan sumberdaya perusahaan hanya untuk keuntungan mereka sendiri. Kaum oportunis diantara mereka memandang jabatan yang sekarang sebagai batu loncatan untuk pindah ke tempat lain. Mereka merasa tidak diacuhkan bahkan tidak tertarik untuk naik. Sebaliknya, ketidakpuasan mereka mewujud dalam bentuk sikap yang tidak menunjukkan integritas, misalnya memalsukan biaya kesehatan atau mencuri alat tulis kantor.”
Goldman mengidentifikasikan ciri-ciri orang yang berkomitmen sebagai berikut.
a.       Siap berkorban demi pemenuhan sasaran perusahaan yang lebih penting.
b.      Merasakan dorongan semangat dalam misi yang lebih besar.
c.       Menggunakan nilai-nilai kelompok dalam pengambilan keputusan dan penjabaran pilihan-pilihan.
d.      Aktif mencari peluang guna memenuhi misi kelompok unit.
Selanjutnya, dalam mencapai dan menapaki arah tujuannya, mereka memiliki sikap konsisten (dari bahasa latin consistere, harmony of conduct or practice withprofessionability to be assertedtogether without contradiction), yaitu kemempuan untuk bersikap secara taat azas, pantang menyerah, dan mampu mempertahankan prinsip serta komitmennya walau harus berhadapan dengan risiko yang membahayakan dirinya sekalipun. Mereka mampu mengendalikan diri dan mengelola emosinya secara efektif. Mereka tetap teguh pada komitmen, positif dan tidak rapuh kendati berhadapan dengan situasi yang menekan. Sikap konsisten telah melahirkan kepercayaan diri yang kuat dan memiliki integritas serta mampu mengelola stress dengan tetap penuh gairah.
Dari sebuah penelitian, ditemukan bahwa mereka yang mampu mengelola stress dengan tabah dan keuletan, memandang tekanan bukan sebagai beban melainkan tantangan yang menyenangkan, dan memandang perubahan sebagai kesempatan untuk berkembang, ternyata lebih mampu mengatasi kesulitan, lebih adaptif dan berhasil. Mereka berhati-hati dalam mengelola pekerjaan dan penuh tanggung jawab memenuhi kewajibannya. Mereka yang berjiwa istiqamah, mata hati dan profesinya yang akan diraih (achievements) sehingga mampu menyesuaikan diri dalam situasi yang menantang. Merekapun mempunyai  daya adaptabilitas atau keluwesan untuk menerima inovasi atau gagasan baru. Daya adaptabilitasnya sangat luwes dalam cara dirinya menangani berbagai perubahan yang menekan. Karena sikapnya yang konsisten itu pula mereka tidak tertutup pada gagasan-gagasan baru yang bersifat inovatif.
Ciri lain dari sifat istiqamah adalah keberaniannya menerima “konsekuensi” dari keputusannya. Bagi mereka, hidup adalah pilihan (life is choice) dan setiap pilihan merupakan tanggung jawab pribadinya. Mereka tidak mungkin menyalahkan pihak manapun karena pada akhirnya semua pilihan ditetapkan oleh dirinya sendiri. Rasa tanggung jawabnya mendorong perilakunya bergerak dinamis, seakan di dalam dadanya  ada “nyala api”. Rasa itu merupakan sebuah motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan dan menjaga apa yang telah menjadi keputusan atau pilihannya. Orang yang konsekuen, mempunyai kemampuan untuk melakukan pengendalian dan mengelola emosinya menjadi daya penggerak positif untuk tetap semangat menapaki keyakinannya.
Kata harfiah motid dan emosi mempunyai akar kata sama dari bahasa latin, movere ‘menggerakkan’. Emosi, secara harfiah, berarti yang menggerakkan kita untuk meraih sasaran. Emosi menjadi bahan bakar untuk motivasi kita, yang pada gilirannya menggerakkan persepsi dan membentuk tindakan-tindakan kita. Karya besar dimulai dari perusahaan yang bergelora.
Kecerdasan pengendalian dan pengelolaan emosi disebut sebagai sabar. Sebagaimana  peribahasa Arab, “Man shabara zhafara ‘barang siapa yang bersabar pasti akan menang’”. Al-Qur’an memuji orang –orang sabar dan dijanjikan-Nya pahala tanpa perhitungan (az-Zumar: 10). Bahkan, mereka mendapatkan shalawat khusus dari Allah dan para malaikat (al-Baqarah: 174).
Tidak hanya itu! Mereka yang mampu mengendalikan diri atau disebut sebagai orang-orang yang sabar itu, menunjuk pada kualitas yang dapat mengalahkan orang-orang yang tidak mempunyai kecerdasan emosional. Allah berfirman,
“Hai nabi, kabarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscvaya mereka akan mengalahkan dua ratus orang musuh. Jika kamu seratus orang yang sabar diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (al-Anfal : 65)
Karyawan yang memiliki sifat istiqomah merupakan asset sumber daya isani yang paling berharga karena kualitasnya memresentasikan sepuluh kali lipat di bandingkan dengan orang-orang yang tidak mempunyai jiwa istiqomah.
Orang yang percaya diri tampil bagaikan lampu yang benderan, memancarkan raut wajah yang cerah dan berkharisma. Orang yang berda di sekitarnya merasa tercerahkan, optimis, tenteram, dan muthmainah. Penelitian Boyatzis membbuktikan bahwa penyelia, manager, dan eksekutif yang percaya diri lebnih berprestasi dari orang yang biasa-biasa saja.
Dengan demikian, percaya diri, konsistensi, komitmen, dan tanggung jawab untuk meraih prestasi adalh rumus hidup yang tidak bias di gugat (condition sine quanon), sebagaimana Allah berfirman,
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah kamu bersedih hati. Padahal, kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ali Imron : 139)
Percaya diri melahirkan kekuatan, keberanian, dan tegas dalam bersikap, yakni berani mengambil keputusan yang sulit walaupun harus membawa konsekuensi berupa tantangan atau penolakan. Sia bukan manusia kardus yang segera rapuh karena terpaan air. Orang yang percaya diri, tangkas mengambil keputusan tanpa tampak arogan atau defensive. Mereka teguh mempertahankan pendiriannya.
Lee Laocca mampu membangun kembali Chrysler dari puing-puing kehancurannya dikarenakan adannya sikap percaya diri yang memberikan aspirasi dan kekuatanuntuk melangkah dan mengambil keputusan dengan tepat. Dia berkata, “Kalau saya harus mengungkapkan dengan sepatah kata kualitas-kualitas yang menjadikan seorang manager baik, saya akan mengatakan bahwa itu adalah ketegasan! Pada akhirnya, anda harus menyatakan semua informasi, menetapkan jadwal, dan bertindak.”
2. Mereka Adalah Oprang Yang Kreatif
Orang yang mewmiliki sikap istiqomah dari kreatifitasnya, yaitu kemampuan untuk menghasilkan sesuatu melalui gagasan-gagasannya yang segar. Mereka mampu melakukan deteksi dini terhadap permasalahan yang dihadapinya, haus akan informasi, dan mempunyai rasa ingin tahu yang sangat besar (coriousity) serta tidak takut pada kegagalan . bukanlah kegagalan yang sangat menakutkan dirinya, melainkan kemalasannya untuk mencoba. Kemampuan untuk melakukan deteksi dini terhadap kemungkinan adanya penyimpangan, kekurngan informasi, dan kehilangan hubungan.
Termasuk cara dan cirri orang-orang yang kreatif adalah mereka selalu ingin mencoba metode dan gagasan baru, sehingga diharapkan hasil kinerjannya dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.seorang yang kreatif bekerja dengan informasi dan data lalu mengolahnya sedemikian rupa sehingga memberikan hasil atau manfaat yang besar. Hal ini sebagaimana ayat pertama (iqra) yang diterima Rosulullah saw. Yang artinya tidak hanya dalam pengertian membaca, tetapi juga mengumpulkan dan merangkum data menjadi satu arti. Bahkan, kegiatan membaca juga sebuah proses pengumpulan dan penyusunan huruf-huruf sehingga menjadi satu kata atau kalimat yang berarti.
Hidup bagaikan kanvas lukisan yang mendorong dan memanggil nuraninya untuk melukiskan gambar-gambar yang paling indah. Setiap hari adalah sebuah kegairahan untuk menjadikan dirinya memetik manfaat. Rosulullah bersabda, “sesungguhnya pada hari-harimu, Allah memiliki karunia, maka berusahalah untuk mendapatkannya.”
Tentang kreatifitas ini, toorance mendefinisikannya sebagai sebuah proses dari beberapa kemampuan.
a.          Merasakan berbagai kesulitan, masalah, jurang informasi kekurangan data, dan sesuatu yang harus diperiksa (sensing difficulties, problems, gaps in information, missing elements, and something asked).
b.         Kemampuan memformulasikan hipotesis atau konsep (making guesses and formulating hypoteheses about these deficiencies).
c.          Kemampuan melakukan penilaian dan pengujian (evaluating and testing these guesses and hypotheses).
d.         Kemampuan untuk melakukan perubahan dan uji ulang (possibly revising and retesting them)
e.          Kemampuan untuk mengomunikasikan hal yang di capai (communicating the result).
Kemampuan dini untuk merasakan permasalahan, kesenjangan informasi, dan sesuatu yang dianggap menyimpang dari standar. Mampu membuat formulasi dan rencana-rencana untuk mengatasi penyimpangan dan melakukan pembuktian serta penilaian secara objektif dan bertanggung jawab. Mereka juga termasuk tipe orang-orang proaktif dan spontan, memberikan respons secara positif terhadap lingkungan kerjanya, serta penuh antuisme dan terbuka.
Kesadaran mereka terhadap berbagi hal sangat kuat, karena mereka sadar bahwa lebih banyak informasi akan mendorong dirinya lebih adaptif (kemampuan menyesuaikan diri) dengan segala gagasan dan tantangan baru. Sebuah studi di Amerika Serikat terhadap hampir dua ribu penyelia, manager, dan eksekutif di perusahaan-perusahannya Amerika menunjukkan eratnya kaitan antara kurangnya spntanitas dan rendahnya kinerja.
Goleman merangkum ciri-ciri orang-orang yang kreatif, atau disebutnya sebagai star performer, memiliki beberapa ciri penting sebagai berikut.
a.          Kuatnya motivasi untuk berprestasi, sangat bergairah untuk meningkatkan dan memenuhi standar keunggulan, menetapkan sasaran yang menantang dan berani mengambil resiko yang diperhitungkan, mencari informasi sebanyak-banyaknya guna mengurangi ketidakpastian dan mencari jalan yang terbaik, dan tekun belajar untuk meningkatkan kinerja mereka.
b.         Komitmen, setia kepada visi merupakan sasaran perusahaan atau kelompok.
c.          Initiatif dan optimism merupakan kedua kembar yan menggerakkan orang untuk menangkap peluang dan membuat mereka menerima kegagalan dan rintangan sebagai awal keberhasilan. Orang dengan kecakapan kembar seperti ini mempunyai kekuatan berinisiatif, siap memanfaatkan peluang, mengejar sasaran lebih dari pada yang di persayaratkan, serta senang mengajak orang lain melakukan sesuatu yang tidak lazim dan bernuansa penuh tantangan. Mereka yang optimis menunjukkan sikap yang tekunbekerja dengan harapan untuk sukses bukannya takut gagal, dan memandang kegagala atau kemunduran sebagai kendala yang dapat di kendalika ketimbang sebagai kekurangan pribadi.
3. Mereka Sangat Menghargai Waktu
Waktu adalah asset ilahiah yang paling berharga, bahkan merupakan kehidupan itu yang tidak dapat disia-siakan. Sungguh benar apa yang di firmankan allah agar kita memperhatikan waktu (‘ashar’). Rasululloh saw. Bersabda,
“jangan mencerca waktu karena Allah pemiliki waktu”  (HR. Ahmad)
Di samping itu menunjukkan waktu ketika matahari telah melampaui pertengahan atau menuju ke magrib, kata ‘ashar  berasal dari kata ‘ashara yang artinya ‘memeras sesuatu sehingga tidak ada lagi yang tersisa dari benda yang dip eras tersebut’. Hal ini sebagaimana terdapat dalam surah Yusuf ayat 36 dan 49.
Selain itu, angin yang sangat kencang sehingga memporakporandakan segala sesuatu disebut sebagai I’shar. Begitu pula dengan awan yang mengandung butir air lalu menurunkan hujan. Awan seperti itu disebut sebagai  al-mu’shirat sebagaimana disebutkan dalam surah An-Naba ayat 14.
a.       Tanggung jawab dan disiplin
Sikap disiplin dengan menjadikan waktu sebagai salah satu parameter (tolak ukur) menyebabkan mereka yang memiliki kecerdasan ruhaniah dan etos kerja yang mengilahi itu, akan menunjukkan sikapnya yang bertanggungjawab, yaitu dengan penuh rasa waspada dan hati-hati.
Mereka sadar  bahwa harga dirinya merasa terhina bila dia tidak menepati janji. Doa- doanya dirasakan tiak akan mendapatkan approval ‘makbul’ bila dia telah mengingkari janji atau tidak menepati waktu. Karena, salah satu tanda orang munafik adalah sikapnya yang mengingkari komitmen, termasuk mengingkari janji yang salah satunya di ukur melalui waktu tersebut.
b.      Tidak menunda-nunda waktu
            Mereka yang mempunyai kecerdasan ruhaniah dank arena rasa tanggung jawabnya yang mengilahi itu, tidak mungkin menyia-nyiakan waktu, membengkalaikan pekerjaan, dan menumpuk-numpuk tugas. Kata ‘ashar yang berarti memeras sampai kering dia terjemahkan dalam bentuk yang nyata (workable),  sehingga pada hari menjelang senja seluruh pekerjaan dan tugasnya telah dia “peras” sehingga tidak ada lagi pekerjaan yang tertunda (pending job).
                 Lebih dari itu, semangat untuk tepat waktu menerangi seluruh qolbunya. Hal itu karena dia sadar bahwa waktu adalah milik Allah dan setiap Sang Pemilik bias saja mengambil haknya miliknya, sedangkanmereka akan menjadikan waktu sebagai lapangan  untuk berbuat kebaikan (al-birru) sebanyak-banyaknya karena suatu saat hak pakai akan segera di cabut oleh sang pemilik waktu.
                 Dengan demikian, mereka yang cerdas secara ruhaniah itu selalu memandang atau mempunyai visi jangka panjang (kebahagiaan di kampong akhirat,  long term planning),  tetapi dia terjemahkan dalam bentuk tindakan jangka pendek (kebahagiaan di dunia, short term planning), sebagaimana firman Allah telah menelusup di hati sanubariya,
                 “Carilah pada apa yang telah di anugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi. Berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya, allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (al-Qoshash : 77)
                 Di riwayatkan oleh bukhori dan muslim dari Anas bin Malik bahwa suatu ketika rosulullah saw. Berjumpa dengan seorang wanita yang sedang menangis di hadapan sebuah kuburan Nabi saw. Menegur wanita tersebut, yang kebetulan tidak mengetahui nabi, Ia menjawab, “pergilah! Jangan engkau campuri urusanku. Engkau tidak tahu kepedihan yang menimpaku.”
                 Setelah di beri tahu bahwa yang menegurnya adalah Nabi saw, wanita itu merasa menyesal dan segera menemui beliau untuk meminta maaf. Kemudian, Nabi saw. Bersabda, “Hakikat kesabaran dinilai pada saat pertama datangnya musibah”. Adapun yang dimaksudkan bukanlah harus menunggu setelah musibah itu berlalu.
                 Dengan demikian, sabar merupakan suasana batin yang tetap tabah, istiqomah pada awal dan akhir ketika menghadapi tantangan, dan mengemban tugas dengan hati yang tabah dan optimis, sehingga dalam jiwa orang yang sabar tersebut terkandung beberapa hal yang di antaranya sebagai berikut.
1.      Menerima dan menghadapi tantangan dengan tetap konsisten dan berpengharapan. Mereka memandang tekanan dalam tugas-tugasnya sebagai kesempatan untuk meningkatkan kualitas dirinya, sehingga mereka sangat kuat menghadapi beban tugas (tolerance to stress), karena mereka yakin Allah tidak akan memberikan beban di luar kemampuannya.
2.      Mereka tetap mampu mengendalikan dirinya dan mampu melihat sesuatu dalam perspektif yang luas. Tidak hanya melihat apa yang tampak, tetapi melihat sesuatu dalam kaitannya dengan yang lain.
Stress Dan Kepemimpinan

A.     Stress dan penyebabnya
                 Stress adalah gejala ketidaknyamanan emosi yang berupa tekanan yang dalam bekerja di hubungkan dengan rasa frustasi, cemas atau tekanan terhadap keamanan dan kepercayaan diri. Stress sekarang telah menjadi semacam penyakit yang menempati urutan ke enam (enam) yang menyebabkan kematian. Stress merupakan penyakit-penyakit manusia modern yang bukan hanya menyerang pada mereka dengan kondisi social ekonomi yang mapan (kaya) tapi juga mereka yang tingkat sosial ekonomi yang rendah (miskin). Bila stress tdak di kelola dengan baiktidak mustahil stress iinlah yang menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit lain seperti maag, jantung, tekanan darah tinggi, lever, dan penyakit lainnya. Sudah banyak para pejabat dan juga pemimpin yang secara tiba-tiba jatuh sakit dengan salah satu penyebabnya adalah stress, bahkan berakhir dengan kematian.
                 Mengapa stress bias menyebabkan kematian? Secara prinsip bila seseorang mengalami stress maka tekanan darahya berubah yang biasanya menjadi cenderung lewbih tinggi, sirkulasi darah tentu menjadi tidak normal dan hal inilah yang menyebabkan organ seperti jantung, hati, pemimpin, ginjal menjadi terpengaruh. Bagi mereka yang sebelumnya organ tubuh tersebut sudah pernah terganggu tentu saja akan menyebabkan sakit yang serius. Sebuah anekdot mengenai penyakit ini adalah apa yang di kenal dengan 3S, tiga es tersebut adalah stress, struk, dan stop yang artinya bila seseorang kena stress biasannya menjurus ke struk dan bila struknya sudah parah akan mengakibatkan stop (meninggal).
                 Pemimpin sebagai pejabat fungsional bias juga terkena stress. Beberapa penelitian yang di lakukan di Australia dan Amerika telah menghasilkan penyebab-penyebab stress dari stress yang di alami oleh pemimpin yang di antarannya adalah :
1.      Konflik
Konflik yang terjadi di bias terbentuk konflik vertical antara pemimpin dengan atasan serta konflik horizontal yang terjadi antara pemimpin dengan bawahan (pemimpin dan staff). Bila konflik ini tidak bisa di kelola dengan baik maka mustahil akan menyebabkan pemimpin menjadi frustasi yang menyebabkan stress.

2.      Beban peran
Jabatan pemimpin menuntut berbagai peran yang hrus di lakukan. Dia harus berperan banyak dalam mengelola organisasiny. Peranan menuntut tanggung jawab, dan tanggung jawab akan menjadi beban yang harus dipikul oleh pemimpin. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan bagaimana repotnya pemipin bila menghadapi nasional yang dilakuka tiap tahun yang menuntut tanggung jawab terhadap keberhasilan organisasinya, apalagi bila atasan menekan agar kegiatan harus berhasil. Situasi dan kondisi inilah yang memicu terjadinya stress yang dialami oleh pemimpin.
3.      Pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan (decision  making) bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Sebuah keputusan yang diambil  pemimpin akan berdampak yang negatiflah yang akan menyebabkan stress para pemimpin. Untuk itulah perlunya pemimpin harus bertindak hati-hati dalam mengambil keputusan. Langkah-langkah dalam mengambil keputusan seperti menyadari adanya masalah, mempelajari penyebab terjadinya masalah, mengkaji situasi dan kondisi terjadinya masalah, mencari alternatice-alternatif pemecahan masalah, mengecaluasi serta melakukan tindak lanjut.
4.      Beban kerja dan moral
Sejumlah pekerjaan harus dilakukan pemimpin dari mulai dari kantor bahkan bukan hanya dikantor tetapi juga ada pekerjaan yang harus dilakukan dirumah. Menjelang ujian nasional misalnya volume pekerjaan pemimpin (kepala sekolah) meningkat drastis seperti pekerjaan administratif. Pekerjaan yang banyak mengeluarkan tenaga misalnya mengikuti rapat-rapat dinas yang biasanya dilakukan di tempat atau kantor yang lokasinya dari tempat tinggal. Tentu saja pemimpin harus mengeluarkan tenaga dan biaya transfortasi  yang tidak sedikit. Bagi pemimpin beban kerja yang berlebihan (over load) ini sangat mempengaruhi kondisi fisiknya apalagi bila sudah berumur lebih dari 50 tahun. Kelelahan fisik sering memnyebabkan sterss, bila kurang istirahat. Hal ini bisa dipahami sebab pemimpin wanita yang juga ibu rumah tangga yang punya kewajiban di rumah yang tidak sedikit yaitu mengurus suami dan anak-anak.
Beban moral juga bisa menyebabkan stress. Banyak hal yang menyangkut moral yang menjadi beban bagi pemimpin. Instruksi dari pihak atasan yang berlatar dengan kaidah moral seperti penekanan agar pemimpin (contoh kepala sekolah) berbuat curang dalam membantu siswa agar lulus dalam ujian nasional merupakan beban moral yang berat karena di satu poihak dia adalah bawahan yang dituntut loyal kepada atasan, di lain pihak sebagai orang yang beragama dia takut dengan hukun Tuhan. Hal inilahyang menjadi penyebab perang dalam batinnya yang akan mendorong terjadinya stress. Beban moral lainnya adalah perilaku menyimpang dari bawahan baik pemimpin
5. Beban kehidupan rumah tangga
Beban kehidupan saat ini dirasakan beratambah berat. Beban ekonomi rumah tangga misalnya merupakan beban yang sulit untuk dipecahkan mengingat kesejahteraan kaun pendidikan seperti (guru) danpemimpin saat ini masih dari harapan. Gaji serta tunjangan lainnya yang diterima tiap bulan pada umumnya masih belum memadai apalagi bila pemimpin tersebut mempunyai banyak anak dan biaya yang dirasakan berat tetapi sangat perluialah biaya pendidikan anak di perguruan tinggi. Perhatian pemerintahan dengan lahirnya undang-undang tentang guru dan dosen di sampinmg memberikan harapan akan adanya penghargaan yang layak bagi kaum pendidikan, di lain pihak membawa dampak akan perlunya guru dan pemimpun (kepala sekolah) mempunyai sertifikat professional yang merupakan salah satu sarat bertambahnya penghasilan.
Kondisi rumahy tangga yang jugha bisa menimbulkan stress adalah konflik peranan antara suami dan istri. Salah satu iolustrasi adalah banyaknya pemimpin yang mempunyai istri yang berpenghasilan lebih tinggi dari suami. Secarabudaya masalah –masalah materi ini paling tidak akan mempengaruhi peran suami yang biasanya harus lebih dominan terutama dalam penghasilan dari istri. Sebuah suvey yang dilakukan di sebuah kantor pemerintah membuktikan bahwa 65% suami dengan istri berperan lebih tinggi baik dalam jabatan maupun penghasilan membuktikan bahwa mereka kurang bahagia dalam berumah tangga dengan salah satu akibatnya adalah berkurang pelayanan kepada suami, mengingat kesibukan sang istri dalam berbagai kegiatan kantor dan organisasi. Kadang sang suami merasa disepelekan serta kurang dihargai oleh istrinya sehingga dianggap hanya pelengkap penderita dalam rumah.
Sebaliknya adalah bila suami yang mempunyai kedudukan penting, terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga sang istri yang bila kebetulkan sebagai wanita karier merasa kurang diperhatikan. Kurangnya perhatian ini bisa menyebabkan sang istri menjadi tersinggung dan sering marah-marah hingga menyebabkan suamimenjadi kurang tenang dan hal ini bisa mendorong terjadinya stress. Kondisi lainnya adalah perilaku anak-anak serta tuntutannya yang harus dipenuhi oleh orang tua sedangkan kemampuan ekonomi rumah tangga sangat terbatas, sehingga hal ini bisa menyebabkan stress juga.
6. Manajemen Skill tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan
Prinsip “the right man on the right place” di lingkungan organisasi terutama dalam lingkungan birokrasi lambat dilakukan. Orang yang punya kompetensi dalam bidang tertentu untuk menduduki jabatan tertentu kadang-kadang terkontaminasi dengan budaya kolusi dan nepotisme. Sebagai akibatnya banyak pejabat yang terpaksa bekerja dalam jabatan tertentu yang tidak sesuai tuntutan pekerjaan yang memerlukan kopetensi tinggi tentunya akan memberikan tekanan pada jabatan tersebut, apalagi pada saat sekarang bukan hanya tuntutan untuk bekerja dengan baik tapi juga ancaman yang datang dari pihak luar dan atau pihak dalam. Dengan demikian adalah wajar bila tuntutan, tekanan, dan ancaman tersebut bisa mengakibatkan stress terhadap seseorang.
Tuntutan terhadap pemimpin sebagai seorang pemimpin sangat banyak, disamping tekanan serta ancaman yang terasa maupun tidak terasa saat ini sedang menimpa pemimpin lebih banyak tuntutan, tekanan, sertra ancaman yang harus dihadapi oleh pemimpin hingga tiba-tiba menderita sakit yang cukup serius, padahal sebelum jadi pemimpin dia tidak pernah mengalami sakit tersebut. Tentu saja keadaan ini akan sangat mengganggu organisasi dan akan memperlambat selesainya pekerjaan-pekerjaannya yang harus dilakukan oleh pemimpin.
Dari berbagai pengalaman dapat dijadikan salah satu indikator bahwa keahlian atau kompetensi suatu bidang pekerjaan yang diperolea pemimpin bukan hanya dapat menunjang terhadap lancarnya pekerjaan yang dilakukan, tetapi juga dapat menghilangkan stress . pemimpin yang dipersiapkan dengan pola recruitment atau penjaringan yang memakai standar, pelatihan yang diberikan dengan kurikulum yang tepat, serta bimbingan dan pembinaan yang terus menerus yangn dia peroleh dari pihak yang berkompeten paling tidak akan kinerja pemimpin. Pemimpin yang kompeten dan terlatih dalam memecahkan masalah-masalah dalam akan cepat melaksanakan berbagai tuntutan pekerjaan. Lancarnya tugas-tugas yang harus dipikul oleh pemimpin akan menenangkan hati dan pikiran pemimpin dan tentu saja situasi yang demikian yang diharapkan.

B. Penanggulangan Stress
Bagai mana menanggulangi stress? Upaya mengatasi stress bila menimpa diri kita dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1.      Manajemen Waktu
Walau yang diperlukan untuk mengerjakan, baik pekerjaan rutin maupun pekerjaan tambahan diluar kantor pasti sangat padat. Pembagian waktu menjadi amat penting agar semua pekerjaan bisa diselesaikan tepat waktu. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah jangan sekali-kali menunda pekerjaan, karena akan berdampak makin menumpuknya pekerjaan. Beban berupa pekerjaan yang belum dapat diselesaikan akan menimbulkan pikiran dan tidak mustahil akan mustahil akan menyebabkan stress karena bisa saja pihak-pihak lain seperti atasan, konsumen, dan stakeholder lainnya menekan dan pemimpin atas hasil kerja atau pelayanan yang mereka harapkan.
2.      Manajemen Kebutuhan Pribadi
Kebutuhan dan keperluan manusia sangat banyak dan kian hari kian bertambah sedangkan kemampuan  untuk memenuhi kebutuhan tersebut sangat terbatas. Peribahasa sangat besar pasak dari pada tiang harus menjadi pedoman dalam memenuhi kebutuhan hidup. Perilaku konsumtif memang sekarang sedang menggejala di masyarakat  kita yang salah satu penyebabnya adalah tayangan-tayangan media masa terutama  televisi yang tidak mendidik orang untuk  hidup hemat. Salah satu penyakit manusia modern saat ini adalah “memoralibia” yang artinya gemar berbelanja (shopping) kesuper market atau super mall yang kian menjamur di kota-kota. Sebaiknya membuat urutan prioritas atas kebutuhan pribadi mana yang perlu didahulukan dan mana yang perlu ditunda.
3.      Olah Raga
Olah raga baik yang ringan berupa senam atau yang cukup berat seperti main tenis dan bulu tangkis besar mamfatnya baik bagi kesehatan  tubuh maupun untuk mengatasi stress. Olah raga akan memberi dampak lenturnya oto-otot, terbuangnya garam dalam tubuh melalui keringat , lancarnya pencernaan, serta meningkatkan daya tahan tubuh  terhadap penyakit. Namun juga harus diingat  agar kegiatan olah raga disesuaikan dengan fisik serta usia, agar tidak berdampak buruk. Olah raga yang murah dan tidak banyak mengeluarkan  biaya adalah jalan kaki, senam dan jogging di pagi hari sambil menghirup udara segar.
4.      Gizi yang Seimbang
Pengaruh gizi bagi kesehatan tumbuh sangat kuat. Tubuh perlu gizi yang seimbang dalam arti karbohidrat , lemak, serta sayur-sayuran harus dikonsumsi dengan seimbang. Nutrisi yang seimbang akan menjamin terhindarnya dari penyakit-penyakit yang disebabkan kelebihan zat-zat dalam tubuh seperti glukaosa (gula), kolesterol (bagian dari lemak), serta garam akan menyebabkan timbulnya penyakit tekanan darah tinggi, vertigo, serta penyakit lainnya yang cenderung berbahaya bila diderita oleh orang dengan usia lanjut. Ada baiknya bila pemimpin tidak membiasakan mengisap rokok karena akan lebih mengganggu kesehatan, penelitian membuktikan bahwa nicotine dari rokok dapat menyebabkan 44 macam penyakit yang mengancam si perokok seperti: penyakit paru-paru, tekanan darah tinggi, kanker, jantung, serta penyakit lainnya. Pendapat bahwa merokok dapat menghilangkan stress adalah pendapat yang keliru, justru orang yang merokok menunjukan bahwa dia itu sedang emosional. Agama islam bahkan menggolongkan rokok kepada “makruh” yang artinya diperbolehkan tapi bila ditinggalkan akan mendapatkan pahala.
5.      Positive Thinking
Berpikir positif perlu dilatihkan pada setiap orang. Jangan sesuatu persoalan dilihat dari aspek negatif. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya asal kita mau ihtiar dan berdo’a. dalam agama islam setiap muslim dihimbau untuk selalu “Husnuzon” (berbaik sangka) bukan sebaliknya yaitu “suuzhon” (berburuk sangka) pada perilaku orang. Hindarkan sikap sinis pada orang lain serta kembangkan sikap empati terhadap orang lain. Bila ditimpa musibah hendaknya selalu tabah dan percaya bahwa akan ada hikmah dibalik musibah atau “Blessing in Diguise” yang tidak diperhitungkan oleh manusia. Percayalah bahwa pikiran yang selalu positif akan mengarah pada tindakan yang baik dan bermanfaat.
6.      Mengembangkan Hubungan Antar Pribadi
Pemimpin harus berupaya menjalin hubungan baik dengan stakeholder organisasi seperti kalau di lembaga sekolah (guru, staf, orang tua siswa, pengurus komite, dunia usaha dan indistri, serta pihak yang mendukungnya). Inti dari globalisasi bahkan di tekankan  adanya Networking yang simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan. Jalinlah hubungan antara pribadi yang memberi  dampak terhadap kelancaran program-program kerja yang masih dicanangkan.
7.      Meditasi (berdoa)
Meditasi adalah pemusatan pikiran pada sesuatu yang diyakini. Olah raga misalnya salah satu gerakannya meditasi. Bagi penganut agama tertentu melalui peribatan: sembahyang bagi orang Nasrani dan pergi ke wihara bagi umat hindu. Meminta pertolongan kepada Allah subhanawataalla melalui sembahyang dan berdoa bagi umat muslim merupakan upaya yang melengkapi ikhtiar yang optimal memanfaatkan pertolongan Allah. Disamping itu perlu juga melakukan konemplasi (perenungan) terhadap apa yang kita lakukan yang berguna bagi upaya lainnya bila dirasa upaya yang telah dilakukan masih belum berhasil. Kontemplasi akan lebih baik dilakukan pada saat suasana sepi seperti tengah malam agar kita bisa melakukan perenungan dengan tenang dan lebih konsentrasi. Kegiatan pelatiohan ESQ (Emotional and Spiritual Quotient) yang sekarang sedang populer dan banyak diminati, sebenarnya diawali dengan kegiatan melakukan perenungan tentang hakekat dan makna sebagai manusia. Oranbg diingatkan baik melalui mendengarkan musik, atau dengan membaca butir-butir kata perenungan dibawah cahaya lilin pada waktu tengah malam yang sunyi dan sepi sehingga pikiran dan perasaan dibawa hanyut kepada suasana yang sengaja dibuat agar orang mengingat kelakuan-kelakuan atau dosa-dosa yang telah diperbuat , agar kesadarannya tumbuh untuk memperbaharui diri sehingga menjadi orang yang lebih baik.
8.      Jangan Menunda Pekerjaan dan Masalah
Tugas seorang pemimpin sangat banyak. Dari hari ke hari tugas-tugas terus bertanbah dab perlu segera untuk dilaksanakan. Masalah pun tiap hari terus bermunculan mulai dari masalah yang ringan sampai masalah yang berat. Untuk menghadapi berbagai tugas dan masalah tersebut diperlukan upaya dan tenaga yang tentunya akan sangat membutuhkan energi dan konsentrasi. Untuk menghindari dari tekanan yang menyebabkan stress cara yang paling tepat adalah sebagai berikut:
a.       Jadikan tugas-tugas yang harus dikerjakan menjadi lebih ringan dengan memakai gaya kepemimpinan delegating atau pelimpahan tugas tersebut kepada bawahan yang tepat dengan motto “the right man on the right job”.  Dengan ketepatan membagi tugas kepada orang atau bawahan yang tepat, tugas-tugas akan dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Selesainya tugas-tugas yang ringan maupun berat akan mengurangi beban pikiran sehingga tidak akan mengakibatkan stress.
b.      Jadikan masalah-masalah yang besar menjadi kecil dan masalah kecil dianggap tidak ada masalah adalah salah satu pepatah dari negri cina yaitu jadikan masalah besar menjadi kecil dan masalah kecil menjadi tidak ada masalah. Bagaimanapun berat dan rumitnya sesuatu masalah pasti ada jalan keluarnya asal kita mau perikhtiar untuk mencari jalan penyelesaian yang win-win solution.
       C. Motivasi
Motivasi akhir-akhir ini menjadi penting untuk dikaji. Perilaku para pemimpin baik dalam kemiliteran, pemerintahan, maupun organisasi perlu untuk di pelajari. Pemimpin sebagai pengelola tentu menghadapi banyak masalah-masalah yang harus dipecahkan yang erat kaitannya dengan motivasi. Untuk itu teori tentang motivasi perlu diketahui terlebih dahulu sebagai bahan kajian hubungan antara teori motivasi dengan perilaku pemimpin.
Teori motivasi yang sampai saat ini masih berlaku dan belum ada lagi teori yang lebih baru adalah seperti apa yang dikemukakan oleh ilmuwan Abraham Maslow. Maslow mengemukakan teori motivasi yang dapat digambarkan sebagai berikut:

                                                                       
                                                                                                SELF ACTUALIZATION

                                                          ESTEEM NEEDS
                                                            LOVE NEEDS
                                                            SAFETY NEEDS
                                                PHSYSIOLOGICAL NEEDS

Gambar:
Model Hierarki Kebutuhan Manusia
Model hierarki kebutuhan manusia menurut maslow terdiri dari (5) tingkatan. Tingkatan paling dasar adalah kebutuhan Physiological needs atau kebutuhan physiologi manusia seperti makan, minum, dan sex. Tingkatan kebutuhan kedua adalah keamanan seperti perlunya manusia punya tempat berlindung seperti rumah. Tingkatan ketiga adalah cinta atau kasih sayang. Tingkatan keempat adalah harga diri dan tingkatan kelima sebagai yang paling puncakadalah aktualisasi diri.
            Menurut maslow tingkatan-tingkatan ini ada kaitannya langsung dengan prilaku manusia dan juga pemimpin. Menurut teorinya manusia akan selalu beruypaya untuk memenuhi dulu kebutuhan (phisik) seperti makan, minum, dan sex, untuk selanjutnya baru secara bertahap memenuhi kebutuhan lainnya. Tingkatan kebutuhan tersebut secara bertahap dapat dilalui manusia dan tidak mungkin meloncat-loncat. Orang tidak akan teremotivasi untuk memenuhi tuntutan harga diri bila kebutuhan untuk makan,minum,sex, perumahan dan cinta belum terpenuhi.pemimpin sebagai pemimpin tentu harus tahu dan mengenal bawahannya apakah kebutuhan dasar dalam arti phisik tersebut tidak terganggu? Beberapa tahun yang lalu dalam sebuah surat kabar bahkan ditayangkan disalah satu stasion televisi salah seorang guru dasar yang menjadi tukang ojek untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbagai komentar timbul dari peristiwa tersebut yang antara lainmenyatakan bahwa guru tersebut tidak mempunyai harga diri (self esteem)dan sangat merusak citra seorang guru. Bila dihubungkan dengan teori motivasi dari maslow ini komentar tersebut tidak proporsional. Adalah sangat wajar seorang guru tidak punya motivasi untuk mempertaruhkan harga dirinya sebagai seorang guru yang punya citra sebagai orang yang kurang tepat menjadi tukang ojeg, karena motivasi yang utama yang ada pada dirinya adalah perlunya segera memenuhi kebutuhan dasar yaitu makan, minum, dan kebutuhan lainnya yang mendesak.
Bagai mana dengan seorang pemimpin  yang disamping dia sendiri harus memeriksa keadaan kesehatan keluarganya, disamping harus pula melihat dan mengetahui keadaan keseharian dari bawahannya yaitu guru-guru dan staf. Pemimpin harus mengadakan dialog baik secara langsung maupun secara tidak langsung menanyakan kepada bawahan atau pihak lainnya tentang bagai mana keadaan keseharian mereka. Seorang pemimpin ( kepala SMP Negri di Kabupaten Sukabumi Bapak Drs. Saepulah) bahkan pada awal dia bertugas ditempat tersebut tiap minggu mengunjungi guru dan staf tata usaha kerumah mereka dan berdialog dengan istri serta anak-anaknya sambil menanyakan masalah-masalah yang dihadapi. Dengan acara anjangsana ini pemimpin bisa mengetahui keadaan keseharian guru dan staf sehingga dalam memberikan tugas dapat lebih proporsional. Pemimpin memang berkewajiban untuk memotivasi bawahannya agar mereka bisa menjadi pegawai yang punya harga diri dan bisa mengaktualisasikan dirinya dimana hal ini penting dalam meningkatkan kinerja mereka. Adanya peningkatan kinerja akan berkorelasi positif dengan tercapainya suasana belajar dan bekerja yang menyenangkan, dan pada gilirannya akan menghasilkan produktivitas kerja yang tinggi.
Alat memotivasi bisa berupa materil dan non materil. Alat materil adalah berupa uang atau barang misalnya kendaraan, rumah, serta hadiah-hadiah. Alat motivasi yang berupa non materil adalah yang bukan berupa barang atau uang atau uang seperti misalnya piagam, medali, dan bintang jasa atas pengabdian yang telah diberikan. Alat motivasi juga diberikandua-duanya baik materil maupunn non materil dean tentunya bila dilakukan akan lebih merangsang orang kepuasan yang dia peroleh karena berupa uang dan barang yang bernilai ekonomis serta penghargaan berupa bintang jasa yang bernilai kepuasan atau kebanggaan.
Pemimpin harus berupaya agar bawahannya mendapatkan berbagai penghargaan baik melalui maupun mengusulkan kepada atasan yang lebih tinggi bagi bawahan yang berprestasi mendapat penghargaan baik materil maupun non materil. Penghargaan atas keberhasilan suatu pekerjaan yang ringan bisa saja dilakukan kepada karyawan dengan cara memberikan ucapan selamat dan terima kasih secara langsung atau dengan mengajak makan bersama di restoran biarpun sederhana.
1.      Perkembangan Teori Maslow
Perkembangan teori Maslow telah menimbulkanberbagai tanggapan dan kritik dari para ilmuwan akhir-akhir ini sebagai akibat dari makin sulitnya kehidupan terutama dalammemenuhi kebutuhan phisik, manusia cenderung untuk mendapatkan dengan jalan yang tidak wajar. Maraknya berbagai kejahatan baik yang dilakukan orang miskin maupun kejahatan yang dilakukan oleh pemimpin dengan melakukan korupsi (white color crime) adalah sebagai bukti bahwa manusia telah didorong untuk memenuhi kebutuhan phisik dan biologis tanpa mengenal dan memahami diri sendiri (self actualization) untuk apa sebenarnya mereka hidup. Maraknya berbagai kejahatan dengan demikian merupakan salah satu akibat dari kurangnya manusia menerapkan sikap dan cara kehidupan rohani yang tepat.
Memperhatikan sifat hedonisme (kebendaan) yang saat ini merupakan salah satu fenomena manusia zaman modern yang salah satunya ditandai dengan berlomba-lombanya manusia dalam memenuhi kebutuhan dunia ini, tumbuh berbagai pemikiran tentang perlunya membalik teori Maslow dari yang palin atas yaitu (self actualization) menuju yang palin bawah (physical needs). Manusia yang menyadari dirinya sendiri tentang hakikat dan makna suatu kehidupan cenderung untuk tidak akan gegabah melakukan suatu tindakan dalam memenuhi kebutuhan phisik dan biologis. Yang berorientasi pada implementasi dalam kehidupan sehari-hari merupakan salah satu alat dalam mengelolahidup baik dan benar menurut ajaran agama yang dianutnya. Pelatihan ESQ (Emotional and Spiritual Quatient) yang dirancang oleh Ary Ginanjar Agustin, serta diimplementasikan dengan lingkungan yang ditata dengan tepat, diharapkan dapat menyadarkan manusia melalui proses self actualizaton agar mereka sadar akan dosa serta perbuatan yang keliru dan mulai memperbaiki dirinya untuk bertindak dan berbuat lebih baik.


1 komentar:

  1. Terima kasih materinya gan aldi, mantap dan berguna tentang bagaimana seharusnya kita memimpin
    thanks bro
    admin
    Macam macam kepemimpinan dan fungsinya
    dan juga baca tulisan saya yang ini Pengertian kepemimpinan thanks for this

    BalasHapus